Walau lahir dan besar di Hindia Belanda, namun O.G Khouw sering pula tinggal di Eropa. Sampai akhirnya dirinya meninggal dunia pada tahun 1927. O.G Khouw kemudian dikremasi di Belanda dan abu kremasinya dibawa dengan kapal SS Prins Der Nederlander ke Indonesia dengan mengarungi lautan selama 3 bulan. Dengan iring-iringan mobil, abu mendiang O.G Khouw dibawa ke Laanhof (sekarang TPU Petamburan). Karena sifatnya yang dermawan dan sangat peduli pada kemanusiaan, banyak sekali yang ingin memberikan penghormatan terakhir padanya.Â
Melihat kenyataan bahwa suaminya dicintai oleh banyak orang karena jasa-jasanya, itu pula yang menjadi alasan lain Lim Sha Nio membangun Mausoleum itu. Agar banyak orang yang bisa terus mengenang sang filantropi di tempat yang sangat indah. Setelah 30 tahun menjanda, akhirnya, Lim Sha Nio menyusul suaminya ke surga. Di tahun 1957 wanita itu meninggal dunia.
Sebelum resmi ditetapkan sebagai Bangunan Cagar Budaya, Mausoleum ini mengalami sejarah yang juga cukup panjang dan menyedihkan. Ada sumber yang menyatakan Mausoleum ini tak terurus karena pasangan suami istri ini tak memiliki keturunan.Â
Bunker tempat menyimpan abu pasangan suami istri itu yang ada di bawah Mausoleum kondisinya sangat memprihatinkan. Tak hanya kotor, namun tempat itu kadang dijadikan lokasi untuk melakukan tindakan asusila.
Seperti yang kita ketahui bersama, zaman dulu makam warga keturunan Tionghoa itu biasanya berukuran besar dan terdapat mausoleum di atasnya. Hal itu terkait dengan kepercayaan masyarakat Tionghoa akan adanya kehidupan setelah kematian. Sehingga di dalam makam tersebut juga ikut dikubur barang-barang yang sekiranya menjadi kebutuhan para mendiang.
Sayangnya, kondisi tersebut dimanfaatkan oleh sejumlah orang yang tidak memiliki tempat tinggal alias homeless. Mereka memanfaatkan makam tersebut untuk dijadikan tempat tinggal.Â