Berbicara tentang Kompasiana, rasanya sampai tak bisa berkata-kata. Semua campur aduk ada di sini. Mulai dari senang, sedih, bahagia, bangga, pokoknya banyak rasa yang muncul setelah mengenal blog keroyokan tercinta ini.
Sejak 2011 saya mengenal Kompasiana. Mengawali diri dengan menulis sejumlah fiksi di akun pertama. Headline bukan lagi barang baru bagi saya ketika itu. Sampai bisa menikmati bangganya tulisan saya bisa mejeng di lembar Freez sebanyak 3 kali.
Setelah itu saya menikah dengan Kompasianer Bandung di bulan Maret 2013. Sejak itu saya fokus pada rumah tangga juga menyibukkan diri dengan bekerja di sebuah perusahaan swasta. Kegemaran menulis tergerus waktu yang tak kunjung bisa disisihkan barang sebentar saja. Ditambah lagi teman-teman seangkatan saya juga sudah beranjak dari dunia kepenulisan dan menjalani hari-hari mereka tanpa Kompasiana. Â Â
Di tahun 2019 saya mulai kembali mengunjungi blog tercinta ini. Sayangnya saya melupa password untuk akun pertama, akhirnya saya registrasi ulang. Dan akun itu yang saya pakai hingga saat ini. Ketika itu saya belum kembali menulis, hanya membaca tulisan-tulisan terutama yang berhasil mendapatkan label Artikel Utama sebagai pengganti Headlines. Banyak nama-nama asing yang tidak saya kenal, mereka pun pasti tidak mengenal saya, hahaha.
Banyak sesuatu yang baru yang saya temukan saat itu, selain para pengguna baru juga kanal-kanal baru yang kian beragam pilihannya. Betapa luar biasanya Kompasiana yang memanjakan para blogger untuk menulis sesuai minat dan kemampuan masing-masing. Tak hanya itu, yang membuat saya takjub adalah Kompasiana semakin memberi ruang untuk komunitas-komunitas yang ada di dalamnya. Jika dulu saya hanya ada beberapa komunitas seperti Fiksiana Community, Desa Rangkat, Canting, Planet Kenthir, kini berpuluh-puluh mungkin ratusan komunitas yang tumbuh.
Kembali menulis di Kompasiana jujur rasanya kaku sekali. Dalam Pemilihan diksi harus berulang kali saya baca. Jika dulu saya merasa pintar berfiksi, sekarang saya merasa amat sangat awam untuk menuliskannya. Akhirnya, demi menjaga mental dan mata rekan-rekan yang membaca tulisan fiksi saya, saya mengurangi minat menulis fiksi, dan move on ke tulisan artikel. Setelah menjadi ibu, memang jiwa kepo dan ngomentari segala hal menjadi bakat baru. Dan akhirnya merasa "saya banget" ketika menuliskan opini tentang sesuatu.
Apa yang dikejar dari menjadi seorang Kompasianer?
Headlines/Artikel Utama
Awalnya saya masuk Kompasiana karena ada seorang teman yang menyarankan saya untuk mengalihkan tulisan-tulisan saya di platform milik Kangmas Mark Zuckerberg ke platform blog yang dibuat dan dioperasikan oleh KOMPAS.com ini. Setelah itu mulai tertarik mengejar Headlines / Artikel Utama, walaupun ketika itu banyak juga teman-teman seangkatan yang menyebut saya terlalu "ngoyo" mengejar label itu. Ya, suka-suka saya, dong. Kan itu kepuasan batin saya sendiri, hahhaa.
Freez
Setelah Headlines, saya mulai mengejar yang namanya Freez. Mungkin Kompasianer yang baru belum tahu keberadaan Freez di kala itu. Freez adalah lembar cetak yang secara khusus memuat tulisan terpilih dari para Kompasianer di jaman itu. Freez hanya muncul sekali seminggu. Dan Kompasianer yang tulisannya berhasil masuk cetak akan diberi fee yang nominalnya lumayan. Kalau tidak salah 150-300 ribu. Sayangnya, fasilitas itu tidak bertahan lama. Entah kapan tepatnya, Freez ditiadakan.
Bergabung dengan Komunitas
Setelah mendapatkan Freez beberapa kali, saya tak lantas menjadi puas. Saya bergabung ke sebuah komunitas bernama ID Kita Kompasiana gagasan Bapak Tovanno Valentino dan Ibu Christie Damayanti. ID KITA Kompasiana yakni sekumpulan kompasianer yang peduli tentang internet sehat. Para member di sana diharapkan rajin mengadakan agenda penyuluhan internet sehat ke lingkungan di sekitarnya. Mulai dari lingkungan rumah, sekolah, tempat kerja dan lainnya. Â ID Kita Kompasiana juga melibatkan anak-anak sekolah untuk mejadi Duta ID Kita. Di momen masuk dalam komunitas itulah saya mulai lebih mengenal dunia luar melalui Kompasiana. Di satu kesempatan, ID Kita Kompasiana bekerjasama dengan Kementrian Komunikasi dan Informasi yang kala itu dipimpin oleh Bapak Tifathul Sembiring juga Ibu Dewi Motik. Mimpi apa saya bisa berjabat tangan dengan dua orang hebat di Indonesia? Betapa kesempatan itu terbuka tanpa disangka. Tapi sayang sekali, Komunitas ID Kita Kompasiana saat ini sudah non aktif karena beberapa pengurusnya sudah berpencar entah kemana. Yang masih saya lihat ada di Kompasiana hanya Pak Dosen Armand yang selalu saya sapa dengan sebutan Om Armand.
Masih soal komunitas, walau saya tak lagi sering menulis fiksi, namun cinta saya pada fiksi tak pernah pudar. Saya bergabung dengan komunitas Pulpen Kompasiana yang diketuai oleh Bang Edward Horas. Komunitas Pulpen secara rutin membuat event kepenulisan yang memacu semangat para pegiat fiksi kompasiana untuk terus menulis. Alhamdulillah saya pernah merasakan menjadi juara 1 dalam salah satu event-nya. Tak hanya event menulis, sering juga Pulpen mengadakan pertemuan via zoom untuk memberikan materi tentang ilmu-ilmu menulis fiksi dengan mendatangkan narasumber yang mumpuni dan tak diragukan lagi kemampuannya. Member Pulpen ini sudah ribuan, lho. Yang belum bergabung wajib masuk, deh.
Komunitas lainnya yang membuat jalan hobi saya semakin terbentang adalah Komunitas Traveller Kompasiana atau Koteka yang digawangi oleh Mbak Gaganawati Stegmann dan Ibu Palupi. Koteka merupakan wadah untuk para kompasianer yang ingin berbagi kisah tentang aktivitas jalan-jalan baik dalam dan luar negeri. Komunitas ini juga kerap mengajak para membernya untuk tur ke tempat-tempat unik di Indonesia. Dari Koteka ini saya berkenalan dengan salah satu agen wisata yang ada di Jakarta pimpinan Kompasianer Mbak Ira Latief, yang saat ini sering mengajak saya untuk bergabung dalam kegiatan tur mereka. Dari agen wisata itu saya bisa kenal dengan banyak Tour Guide (TG). Saya tahu apa suka dukanya menjadi TG dan bagaimana agar bisa menjadi TG.
Setelah mengenal Koteka, saya bisa kenal dengan lebih banyak lagi kompasianer yang awalnya hanya saya tahu namanya saja. Seperti om Taufik Uieks, om Sutiono Gunadi, om Rahab Ganendra, Ibu Muthiah Alhasany, om Jay, Bunda Elisa Koraag, bahan tulisan saya jadi makin banyak. Sudah diajak jalan gratis, dikasih jajan, dapat bahan tulisan, kurang apa lagi coba?
Centang Biru
Momen bergabung dengan komunitas Koteka ini saya manfaatkan untuk mengejar centang biru. Hahhahaa. Jujur, saya pernah merasa kecil hati ketika salah seorang kompasianer yang menyindir saya, "Nulis dari 2011 kok nggak centang biru?" Duh, magdeg rasanya. Mungkin beliau sedang bercanda, hanya candaanya di forum sehingga saya merasa malu.
Dengan penuh tekad dalam hati, "saya harus bisa centang biru segera" maka saya makin rajin menulis. Alhamdulillah tidak ada yang sia-sia. Di bulan November 2023, ceklis biru itu muncul di sebelah nama saya. Bangga? Jelas! Artinya saya konsisten menulis, sesuatu yang awalnya sulit dilakukan karena saya juga bekerja lebih dari 8 jam sehari.
Program Infinite
Lanjut lagi ke pencarian selanjutnya. Setelah ID Kita, saya mulai mengikuti program infinite. Alhamdulillah sudah 4 tulisan saya tayang di Kompas.com. Belum seberapa memang dibanding kompasianer lain, tapi walau begitu saya sudah merasa bangga atas pembelajaran yang terus saya lakukan setiap harinya agar tulisan saya bisa mengalami perubahan ke arah yang lebih baik.
Dari sejumlah kebahagiaan yang diberikan oleh Kompasiana, saya merasa sangat berterima kasih atas munculnya platform blog yang sangat luar biasa ini. Kompasiana terbukti bisa mengubah ketidakmungkinan menjadi mungkin. Hanya melalui tulisan hasil buah pikiran sendiri, Kompasiana membuka jalan agar tulisan kita banyak dibaca orang. Oh, iya. Satu lagi yang buat saya agak merasa lucu, posisi baru saya di kantor saat ini adalah buah dari beberapa tulisan saya tentang dunia kerja. Ternyata diam-diam pimpinan saya cari tahu karena di laptop saya ada stiker Kompasiana. Â Nikmat mana lagi yang saya dustakan.
Jadi, teruslah menulis. Insya Allah keberkahan itu juga datang tanpa mengkhianati usahanya.
Â
Selamat ulang tahun Kompasiana ke 16 tahun. Semoga tak hanya sampai belasan, tapi bisa capai puluhan atau bahkan ratusan. Teruslah menjadi jembatan bagi kami untuk bisa mengepakkan sayap dalam dunia kepenulisan lebih tinggi dan lebih jauh lagi. Tetap memotivasi seluruh masyarakat Indonesia pentingnya dunia literasi.
Salam sayang,
Ajeng LeoditaÂ
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H