Di era digitalisasi saat ini semua kejadian yang terjadi pada tiap-tiap orang bisa dengan mudah menjadi konsumsi publik. Baik hal itu dengan sengaja atau tanpa kesengajaan terunggah di media sosial.Â
Melihat kondisi ini tentunya masing-masing dari kita seharusnya bisa menyaring mana yang layak ditonton dan mana yang hanya sekadar tontonan sambil lalu atau perlu diabaikan kemunculannya.
Salah satu topik yang sedang hangat saat ini adalah pembahasan tentang anak yang dianggap sebagai salah satu bentuk investasi orangtua untuk masa tuanya. Hal ini dipicu dari munculnya unggahan video pendek di salah satu platform digital yang menunjukkan seorang anak yang merasa dimanfaatkan oleh orangtuanya untuk membalas budi atas apa yang sudah diberikan orangtuanya sejak sang anak masih kecil hingga dewasa.Â
Hal itu meliputi biaya hidup sampai dengan biaya pendidikan. Orangtua secara terang-terangan merinci apa saja biaya yang sudah digelontorkan untuk sang anak hingga bisa menjadi sesukses saat ini.
Alih-alih memberikan tanggapan netral, para netizen malah saling adu nasib dalam kolom komentar. Ada yang ikut-ikutan menceritakan pengalamannya yang hampir mirip dengan si pengunggah video, ada juga yang malah ikut bersumpah serapah pada orangtua si pengunggah video sebagai bentuk dukungan.
Melihat fenomena ini sejujurnya saya merasa kasihan pada kedua belah pihak; si anak juga sang orangtua. Hal yang seharusnya hanya menjadi permasalahan internal mereka kini harus menjadi konsumsi banyak orang.Â
Padahal orang-orang yang melihat kondisi itu hanya tahu dari sebelah pihak, dalam hal ini adalah si pengunggah video yang hanya bermodalkan isi chat antara anak dan orangtuanya lalu dibumbui dengan caption yang semakin mengaduk-aduk perasaan para netizen.Â
Kita tidak pernah benar-benar tahu kondisi yang sebenarnya dan mengapa sampai si orangtua berkata demikian. Kita juga tidak tahu mengapa sampai sang anak nekad mengunggah isi pesan singkatnya dan menggiring opini publik bahwa dirinya dijadikan investasi jangka panjang sang orangtua.
Tak akan ada asap jika tak ada api, sebuah pepatah lama yang masih dianggap valid hingga saat ini. Sejatinya hubungan cinta kasih anak dan orangtua itu tak bisa ternilai dengan apapun di dunia ini. Namun jika terjadi hubungan kekeluargaan yang berujung pada perhitungan perlu dicari tahu ujung pangkalnya.Â
Banyak kemungkinan yang bisa menjadi pemicunya. Mungkinkah dampak dari kegagalan bonding antara orangtua dan anak?
Bonding antara orangtua dan anak adalah ikatan emosional yang kuat dan mendalam yang terbentuk seiring berjalannya waktu. Ini adalah hubungan yang membangun dasar percaya diri, rasa aman, dan cinta antara kedua belah pihak. (berbagai sumber)
Membangun bonding antara orangtua dan anak itu dimulai sejak anak lahir. Masing-masing orangtua diberi nalurinya masing-masing untuk bisa membangun ikatan lahir dan batin dengan buah hatinya.Â
Naluri inilah yang membedakan bagaimana metode ini dilakukan oleh masing-masing keluarga. Ayah dan Ibu pun memiliki peran sendiri-sendiri dalam membangun kedekatan dengan anak. Hal itu juga harus disertai dengan tulus dan Ikhlas.
Salah satu cara membangun bonding antara orangtua dengan anak yakni dengan melakukan Deep Talk. Deep talk itu tidak melulu tentang sesuatu yang serius, sehingga terkesan mencekam. Deep talk antara orangtua dan anak bisa diistilahkan dengan curhat.Â
Tidak hanya untuk pembahasan yang berat, deep talk bisa dimulai dengan pembahasan tentang pertemanan sang anak di sekolah, atau tentang apa yang saat ini sedang digemari oleh anak-anak remaja, dan masih banyak lagi ide pembahasan ringan yang lain.
Kembali pada permasalahan bahwa banyak anak yang saat ini banyak menganggap dirinya dijadikan investasi oleh orang tunya, hal itu banyak juga terjadi di sekeliling kita. Di mana masih banyak orangtua yang kesulitan padahal anak-anak mereka bisa dibilang sukses. Mengapa hal itu bisa terjadi?
Banyak orangtua ketika anak mereka masih kecil tidak mencoba terbuka dengan kesulitan mereka. Terutama kesulitan finansial. Alasannya yang paling banyak terjadi adalah para orangtua tidak mau anaknya ikut-ikutan stres. Idealnya, orangtua menginginkan anaknya hanya tahu bahwa mereka tidak kekurangan, hanya fokus pada pelajaran dan berprestasi.
Apakah sikap orangtua tersebut salah? Tidak. Tapi, apakah sikap semacam itu mutlak benar? Tidak juga.
Bapak-Ibu, sangat wajar jika anak diperkenalkan dengan masalah. Sebagai manusia mereka akan menghadapi banyak masalah di kemudian hari. Membahas tentang masalah ekonomi keluarga pada anak sendiri bukan hal yang tabu, melainkan sebuah pembelajaran agar mereka tidak kaget jika menghadapi masalah yang sama suatu hari nanti.
Anak-anak perlu tahu apa yang kita upayakan untuk mereka, agar mereka mengerti apa itu berkorban. Ini bukan tentang pamrih atau mengharapkan balas budi dari anak, namun dengan kita terbiasa terbuka, mereka juga akan memahami bahwa untuk merawat mereka hingga besar bukan perkara sederhana.Â
Hal ini lebih baik dari pada ketika mereka besar, tiba-tiba orangtua malah merinci berapa besar dana yang sudah dikeluarkan untuk mereka. Jelas, hal itu membuat sang anak terkejut bahkan bisa memunculkan rasa sakit hati.
Cara-cara sederhana yang bisa dilakukan, sbb :
- Ajak anak ketika kita berbelanja kebutuhan peralatan sekolah. Ajak mereka berdiskusi tentang harga dan manfaat dari barang yang mereka pilih.
- Ajak anak ketika kita akan membayar segala bentuk kewajiban di sekolah, seperti SPP, biaya seragam, dll. Selain mereka bisa tahu berapa besar biaya yang harus dikeluarkan juga supaya mereka lebih menjaga dan menghargai semua yang sudah dibayar oleh orangtuanya.
- Libatkan anak dalam memilih menu makanan di rumah, ajak berdiskusi jika mereka memilih menu A, apa manfaatnya untuk kesehatan mereka. Beri tahu pada anak-anak bahwa makanan yang dikonsumsi tidak perlu mahal, yang penting bisa memenuhi kebutuhan gizi seluruh anggota keluarga.
- Lakukan studi kasus, ajak anak berdiskusi jika suatu saat nanti kita memiliki masalah finansial dalam keluarga, langkah apa yang sebaiknya dilakukan oleh seluruh anggota keluarga. Berikan contoh-contoh bentuk penghematan seperti apa yang bisa didukung oleh anak. Sebisa mungkin ini dilakukan sebelum masalahnya terlanjur datang. Â
Terbuka dalam soal pengeluaran keluarga pada anak-anak bisa menjadi salah satu metode bonding yang jitu. Hanya saja cara penyampaiannya perlu disesuaikan dengan usia mereka.
Namun, perlu dipahami juga, bahwa selayaknya kita sebagai orangtua, ketika mereka sudah dewasa, mereka pasti memiliki rencana untuk kebutuhan pribadinya. Entah untuk dirinya sendiri atau pun untuk keluarga kecilnya.Â
Jangan memberi mereka kewajiban untuk menafkahi kita. Karena memberikan nafkah memang sudah menjadi kewajiban orangtua untuk anaknya. Kelak anak-anak kita juga akan memiliki anak-anak yang harus mereka nafkahi. Sebagai orangtua kita juga perlu mempersiapkan masa tua kita. Banyak orangtua yang mengajarkan anaknya menabung tapi orangtuanya sendiri lupa merefleksikan ide itu untuk dirinya sendiri.
Tulisan ini hanya sekadar opini dari apa yang sudah saya alami dalam keluarga. Keterbukaan orangtua saya sejak kami kecil membuat saya dan adik-adik betapa upaya kedua orangtua kami untuk membesarkan kami dan memberikan kami pendidikan yang layak disertai dengan doa dan usaha yang besar. Sehingga di masa tua mereka, besarnya rasa untuk membalas budi walau tak akan pernah bisa membayar semua.
Namun semua kembali lagi pada kebijakan masing-masing keluarga. Pilih yang paling baik dan paling bijaksana. Bicara dari hati ke hati dan saling memahami adalah kunci.Â
Bekasi, 26 September 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H