Mohon tunggu...
Ajeng Leodita Anggarani
Ajeng Leodita Anggarani Mohon Tunggu... Lainnya - Karyawan

Belajar untuk menulis. Menulis untuk belajar.

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Mengunjungi 3 Rumah Ibadah Lintas Agama dalam Balutan Kebhinekaan

24 November 2023   17:28 Diperbarui: 24 November 2023   17:44 283
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di era modern yang hampir di berbagai sisi sudah serba digital ini, masih saja ditemukan isu-isu terkait Suku, Agama, Ras, dan Antar golongan (SARA) di Indonesia. Hal ini ini jelas berseberangan dengan semboyan nasional Bhineka Tunggal Ika yang diartikan, berbeda -beda tetapi tetap satu.

Tak perlu jauh-jauh, jika aroma pesta demokrasi semakin dekat bisa dikatakan hampir selalu memicu kelompok-kelompok tertentu untuk mengusung agama sebagai landasan calon pemimpin yang mereka pilih.

Sebenarnya hal itu akan terlihat wajar jika dilakukan secara sehat, namun apabila selanjutnya jadi mendiskreditkan kelompok lain yang berseberangan, itu yang akan memunculkan masalah selama proses pemilu berlangsung.

Pemerintah pun tak hanya diam melihat kondisi ini, berbagai upaya sudah dilakukan. Para pemuka agama juga sudah turun tangan. Masing-masing berusaha mengkampanyekan kebhinekaan yang menjadi semboyan negara Indonesia sejak Sidang Kabinet Republik Indonesia Serikat pada 11 Februari 1950.

Bhineka Tunggal Ika ini sangat erat kaitannya dengan sikap toleransi. Tak hanya di Indonesia, seluruh negara di dunia mengharapkan sikap toleransi itu ada di tiap-tiap warga negaranya.

Wujud dari keberhasilan sikap tolerasi adalah perdamaian dunia. Bahkan, Majelis Umum PBB menetapkan Hari Toleransi Internasional untuk diperingati tiap 16 November sejak tahun 1996.

Berkenaan dengan itu, Wisata Kreatif Jakarta (WKJ) yang diketuai oleh Mbak Ira Lathief mengadakan walking tour bertajuk "Wisata Bhineka Spesial Hari Toleransi Internasional". Lokasi yang dituju adalah 3 rumah ibadah. Yakni, Gereja Katholik Katedral, Masjid Istiqlal, dan Gereja Immanuel.

Tour guide yang menemani kami sepanjang tur berlangsung, yakni, Ai dan Meysa. Keduanya akan menjelaskan sejarah bangunan-bangunan yang megah dan menawan ini.

Kita mulai turnya, yuk.


Gereja Katedral Jakarta

Sumber: Grup WKJ
Sumber: Grup WKJ

Sabtu, (18/11/2023) para peserta diarahkan untuk menuju titik kumpul pertama yakni, Gereja Katedral. Gereja ini terletak Jl. Katedral No.7B, Pasar Baru, Kecamatan Sawah Besar, Kota Jakarta Pusat.

Bicara tentang sejarahnya, ternyata bangunan ini adalah bangunan kedua dari Gereja Katedral. Sebelumnya pernah dibangun Gereja Katedral pertama (yang dulunya rumah Jenderal De Kock) di area pojok lapangan Banteng. Umat katholik tidak mendapatkan bangunan tersebut secara cuma-cuma, mereka membelinya seharga 20.000 gulden dari pemerintah Hindia Belanda. Gereja tersebut diresmikan pada Februari 1810.

Sayangnya, kemudian gereja ini akhirnya mengalami kebakaran besar pada 27 Juli 1826  yang juga ikut menghabiskan lebih dari 100 rumah penduduk yang ada di sekitarnya. Tak hanya itu, pada tanggal 31 Mei 1890 bangunan gereja itu pun sempat roboh.

Setelah gereja Katedral pertama tak lagi bisa digunakan, maka lokasinya akhirnya berpindah ke Gereja Katedral kedua ini yang bernama resmi  Gereja Santa Maria Diangkat ke Surga. Gereja ini dibangun pada 1901 dan dirancang oleh seorang Pastor yang memang belajar ilmu arsitektur bernama Antonius Dijkmans. Rancangan bangunan ini bergaya neo-gotik (berasal dari kata Gothic) yang kala itu sedang menjadi trend di Eropa. Ciri khas bangunan neo-gotik berciri khas eksotis. Dengan kapasitas yang bisa menampung sekitar 2.500 orang.

Di Gereja ini juga tedapat museum. Pembuatan Museum Katedral diprakarsai oleh Pastor Kepala Katedral pada waktu itu, yaitu Pater Rudolf Kurris yang berasal dari Belanda. Museum ini diresmikan pada tanggal 14 November 2018 oleh Mgr. Ignatius Suharyo.

Di dalam museum ini terdapat kilasan diografi Pastor Kurris. Beliau seorang pecinta sejarah yang juga memiliki hobi menulis. Ada pula koleksi mesin tik yang pernah digunakan Pastor Kurris, pakaian dan kacamata yang biasa beliau pakai. Adapula diorama Patter Bonneke S.J yang tengah duduk di atas replika perahu belo. Patter Bonneke tenggelam di selat Lobetobi, Larantuka.

Dan masih banyak koleksi lainnya yang membuat museum ini sangat layak dikunjungi bahkan tak hanya bagi kaum Nasrani.

Masjid Istiqlal


Sumber: Grup WKJ
Sumber: Grup WKJ

Masjid Istiqlah dalam Bahasa Arab berarti Masjid Kemerdekaan. Pembangunan masjid ini diawali dengan ide pembentukan sebuah organisasi bernama yayasan Masjid Istiqlal pada tahun 1953. Ide itu diprakarsai KH. Wahid Hasyim selaku Mentri Agama RI, H.Agus Salim, Anwar Tjokroaminoto dan Ir. Sofwan dan sekitar 200 tokoh Islam pimpinan KH. Taufiqorrahman. Setahun kemudian akhirnya gagasan tersebut terealisasi pada 7 Desember 1954.

Penunjukkan lokasi pembangunan yang awalnya sempat menuai perdebatan di antara kedua pemimpin negara Indonesia yakni, Bung Karno dan Bung Hatta akhirnya mendapatkan kesepakatan bahwa Masjid Istiqlal ini akan dibangun berseberangan dengan Gereja Katedral yang berlokasi di Jl. Taman Wijaya Kusuma, Pasar Baru, Kecamatan Sawah Besar, Jakarta Pusat.

Hal itu bukan tanpa alasan memilih titik ini, Bung Karno memiliki tujuan agar kehidupan bertoleransi antar umat beragama bisa dilihat dari dua bangunan yang saling berhadapan ini.  

Sumber: Grup WKJ
Sumber: Grup WKJ

Proses pembangunan rumah ibadah umat muslim ini menghabiskan waktu yang cukup lama. Prosesnya sempat tersendat karena kondisi negara yang tidak kondusif. Ditambah lagi dengan peristiwa Gerakan 30 September yang membuat suasana kian memanas.

Sejak pemancangan tiang pertama, yang bertepatan dengan Maulid Nabi Muhammad SAW pada 24 Agustus 1961, Masjid Istiqlal ini pun akhirnya selesai dibangun 17 tahun setelahnya. Yakni, 22 Februari 1978.

Masjid Istiqlal berdiri di atas lahan seluas 95.000 meter persegi. Mampu menampung 120.000 jemaah. Contoh paling kentara adanya toleransi beragama dalam Pembangunan Masjid ini adalah arsitek yang mendesain bangunan Istiqlal adalah seorang penganut protestan bernama Frederich Silaban. Beliau juga sebagai salah satu arsitek yang mendesain Gelora Bung Karno (GBK) dan Monumen Nasional.

Masyarakat Indonesia pastilah berbangga hati memiliki Masjid ini, karena Istiqlah masuk dalam jajaran 6 masjid terbesar se-Asia Tenggara.

Mengingat waktu yang terbatas, dan masih ada 1 lokasi lagi yang akan dikunjungi, akhirnya kami harus mengakhiri kunjungan ke masjid yang megah ini.

Gereja Immanuel

Sumber: Grup WKJ
Sumber: Grup WKJ

Gereja ini dikenal dengan nama Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB) Immanuel. Peletakkan batu pertama dilakukan pada 24 Agustus tahun 1835 dan selesai empat tahun berselang yakni 24 Agustus 1839.

Gereja yang dibangun untuk menghormati Raja Belanda Willem I (masa jabatan 1813-1840). Gereja ini merupakan perwujudan mimpi Raja Willem I untuk mempersatukan umat Protestan Belanda dalam satu gereja.

Bangunan ini terletak di Jalan Medan Merdeka Timur No.10, Kecamatan Gambir, Jakarta Pusat. Asiteknya adalah J.H Horst. Gereja ini merupakan satu-satunya gereja di Jakarta yang memfasilitasi jemaat ibadah berbahasa Belanda selain Inggris dan Indonesia.

Bangunan GPIB Immanuel ini masuk dalam cagar budaya Indonesia, sehingga bentuk bangunannya tidak boleh diubah. Pilar-pilar penopangnya nampak sangat kokoh.

Sumber: Grup WKJ
Sumber: Grup WKJ

Beruntungnya kami saat itu, karena kami datang tepat dengan waktu latihan dari panduan suara gereja yang akan mengikuti sebuah event. Pihak jemaat GPIB Immanuel menyambut kami dengan hangat, kami diberi kesempatan untuk menyaksikan secara langsung dengan duduk di kursi-kursi yang biasa dipakai jemaat saat ibadah.

Koleksi pribadi
Koleksi pribadi

Di antara para peserta tur ini ada yang mengenakan hijab, namun hal itu tak menimbulkan adanya kesenjangan di sana, kami semua berbaur dalam keberagaman lintas agama yang hangat.

Akhirnya tur ini harus selesai karena keterbatasan waktu yang ada. Walau terbilang singkat, saya pribadi merasa senang dan lebih memahami indahnya toleransi beragama. Tidak ada yang mendominasi, perkara kehidupan selanjutnya masing-masing dari kita sudah punya catatannya.

Terima kasih kepada Wisata Kreatif Jakarta (WKJ), Mbak Ira Lathief, para tour guide, juga pihak rumah ibadah yang sudah menerima kami dengan sangat baik. Semoga hal kecil ini bisa memacu semangat untuk memperkuat nilai-nilai toleransi di dunia. 

Salam sayang,

Ajeng Leodita

Sumber: Grup WKJ
Sumber: Grup WKJ

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun