Mohon tunggu...
Ajeng Leodita Anggarani
Ajeng Leodita Anggarani Mohon Tunggu... Lainnya - Karyawan

Belajar untuk menulis. Menulis untuk belajar.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Fenomena Pak Ogah Jalanan Penyandang Disabilitas, Pahlawan atau Mengkhawatirkan?

10 November 2023   17:25 Diperbarui: 11 November 2023   04:42 475
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kemacetan di Jakarta bukan lagi perkara aneh untuk kita. Bahkan terjadinya bukan hanya di jalan-jalan utama. Kian banyaknya masyarakat yang lebih suka menggunakan kendaraan pribadi, membuat ibukota semakin mustahil berkembang tanpa polusi.

Saya sebagai salah satu pengguna kendaraan roda dua lebih suka mencari jalan-jalan alternatif untuk menuju ke lokasi-lokasi yang dituju, walaupun tetap sama---ada saja macetnya. Tapi paling tidak, jika bukan lewat jalan protokol, saya masih bisa melipir ke warung makan atau minum jika nampak ada kemacetan.

Di sela-sela kemacetan, untuk para pengguna kendaraan roda empat mungkin bisa melakukan aktivitas lain, semisal main gadget atau bahkan nonton tv di dalam mobilnya. Tapi bagi pengendara roda dua, aktivitas yang bisa dilakukan saat terdampak macet paling menikmati panas jalan polusi, sambil melihat orang-orang baik yang membantu alur lalu lintas yang kadang jika sial terpaksa diamankan pihak kepolisian karena dianggap meresahkan. Siapa lagi kalau bukan "Pak Ogah".

Sebutan Pak Ogah ini disematkan karena kebiasaan mereka menengadahkan tangan untuk meminta uang seperti salah satu peran di tayangan film jadul anak-anak "Si Unyil". Bedanya, karakter Pak Ogah dalam serial anak-anak itu meminta uang tanpa melakukan sebuah pekerjaan lebih dulu.

Sementara Pak Ogah jalanan ini biasanya meminta imbalan atas jasanya membantu atau mengatur kendaraan yang ingin berbelok atau putar balik arah yang biasanya menyebabkan kemacetan.

Sebagai manusia pada umumnya, pasti ada saja oknum yang menyebalkan, termasuk profesi Pak Ogah ini. Ada Pak Ogah yang kadang memaksa untuk diberi bayaran. Hal itu yang akhirnya membuat resah para pengguna jalan kemudian melaporkan hal itu pada pihak kepolisian. 

Melihat banyaknya laporan masyarakat, membuat pihak kepolisian akhirnya menindak keberadaan mereka atas pelanggaran aturan pidana karena mengarah pada pemalakan dan pemerasan.

Keberadaan Pak Ogah ini hingga sekarang masih menjadi perdebatan. Ada yang merasa kemunculan mereka mengganggu. Namun banyak pula yang menganggap Pak Ogah ini sangat membantu.

Mirisnya, di beberapa ruas jalan yang pernah saya lewati, mereka yang berprofesi sebagai Pak Ogah jalanan bisa dikatakan kondisinya jauh dari kata layak. 

Seperti di area jalan inspeksi Kalimalang, dekat putaran Kapin seberang AL Fresh, Pak Ogah yang berjaga di sana saya taksir usianya sekitar 70 tahun. Beliau seorang difabel yang dengan susah payah mengatur kendaraan. Salah satu kakinya tidak berfungsi secara normal. 

Lokasi lain di perempatan lampu lalu lintas Mc.Donalds Buaran, juga adalah seorang kakek dengan tinggi kurang dari 150cm dengan jalan yang sudah tergopoh-gopoh berdiri di tengah persimpangan dengan membawa bendera yang digunakan sebagai alat bantu untuk mengatur laju lalu lintas.

Logikanya, di usia setua itu dan keterbatasan fungsi salah satu anggota tubuh, mereka harus berada di antara kendaraan yang simpang siur melintas. Belum lagi jika ada kendaraan yang melaju dengan kecepatan tinggi. Bahkan polusi kendaraan itu bisa dengan cepat menganggu kondisi kesehatan mereka.

Sumber: suara.com
Sumber: suara.com

Kondisi lainnya saya temukan di salah satu ruas jalan area Tebet. Area yang macetnya tidak main-main. Waktu itu saat masih bekerja di area sana, saya selalu melihatnya di jam berangkat kerja, sekitar pukul 8-9 pagi. Ada seorang Pak Ogah yang mengatur lalu lintas di sana. 

Jelas, secara kasat mata beliau adalah seorang penyandang disabilitas mental. Entah siapa yang memberikannya pakaian, namun ia tampak dengan percaya diri menggunakan seragam satpam.

Beberapa orang terlihat memberinya uang, sementara ada yang hanya sambil lalu melintas tanpa memberikannya apa-apa. Tapi pria itu terlihat tidak menunjukkan rasa kesal.

Terkait dengan Pak Ogah penyandang disabilitas mental, saya punya pengalaman kenal langsung dengan yang bersangkutan.

Namanya Muhammad Ridwan, saat ini usianya genap 30 tahun. Dia tetangga saya. Sejak lahir, Amat (nama panggilannya) memang sudah mendapat diagnosis mengalami retardasi mental (maaf jika salah istilah). 

Walau secara penampilan, ia terlihat normal, namun saat sudah mulai bicara, orang akan tahu bahwa Amat ini anak luar biasa. Amat bisa bicara hanya 1-2 patah kata dan tidak cukup jelas. Tapi untuk logikanya bisa dikatakan hampir sama dengan orang normal pada umumnya. Saat itu, ibunya jadi satu-satunya orang yang benar-benar memahami Amat.

Di usianya yang ke 21 tahun, ibunya berpulang. Saya melihat Amat menangis, entah dia paham bahwa ibunya benar-benar meninggalkan dia untuk selamanya atau karena ia melihat banyak orang yang juga menangis di peristiwa itu. Walaupun tidak benar-benar sebatang kara karena ia masih punya ayah dan kakak perempuan tapi sayangnya tidak ada yang bisa memahami Amat sebaik ibunya.  

Amat melanjutkan hidup dengan keterbatasan yang ia miliki. Mirisnya, ia masih bertingkah seperti anak-anak. Ia kerap menangis jika tidak dibelikan mainan. Kadang, ada tetangga yang baik yang menghibahkan mainan anaknya untuk Amat.

Amat kerap tantrum jika ada keinginannya yang tidak terpenuhi. Ia suka membanting barang-barang yang ada di dekatnya. Kondisi keluarganya bisa dikatakan masuk dalam ekonomi menengah ke bawah, hal itu juga yang membuat Amat tidak mendapatkan pengobatan apapun sejak kecil. Bahkan Amat tidak pernah mengenyam Pendidikan formal apapun.

Setelah keluarga kami pindah rumah, saya tidak lagi mendengar kabarnya untuk 2-3 tahun. Namun, saya terkejut saat tanpa sengaja melihat Amat sedang memarkir kendaraan di area Jalan Rawamangun Muka Selatan, Jakarta Timur. Tepatnya di depan pertigaan TPU Utan Kayu, dekat kampus Universitas Negeri Jakarta (UNJ).

Walau Amat memiliki keterbelakangan mental, ia ingat orang-orang yang pernah ia kenal. Sejak dulu ia memanggil saya dengan sebutan Mbak Adeng. Mungkin susah menyebut huruf J. Sore itu dia memanggil saya, minta saya melipir dulu.

Saya yang melintas akhirnya mampir sebentar untuk mengajaknya ngobrol. Karena kami bertumbuh bersama sejak kecil jadi sedikit banyak saya paham apa yang Amat sampaikan.

Amat cerita, sekarang cari uang sendiri, karena kakaknya sudah menikah dan tinggal dengan suaminya. Dia beli jajan dari uang hasil parkir. Kadang Amat tidak pulang ke rumah, lebih senang tidur di musholla atau pos satpam dekat rumah.

Saya juga sempat berbincang dengan teman-temannya yang nongkrong bersama Amat. Menurut mereka memang sekarang Amat hidup di jalan. Ia jadi Pak Ogah walau seadanya, tapi disebut cukup membantu.

Mayoritas orang memberikannya uang karena kasihan, namun sebagian lagi memang benar-benar memberi karena merasa terbantu dengan keberadaan Amat.

Karena lokasi kerjanya jadi Pak Ogah dekat dengan Tempat Pemakaman Umum (TPU), memang sering terjadi kemacetan di sana, apalagi areanya masuk ke wilayah jalan kecil, terutama jika traffic sedang tinggi saat ada pemakaman atau ketika banyak orang berziarah.

Untungnya, Amat memiliki teman-teman yang memahami kondisinya. Ia juga memiliki tetangga yang peduli jika ada bantuan dari pemerintah, Amat selalu didahulukan.

Kembali lagi ke soal profesi Pak Ogah, entah apa yang bisa dilakukan pemerintah untuk membantu mereka yang masuk kategori difabel tapi terpaksa melakukannya karena himpitan ekonomi.

Hanya berharap semoga mereka selalu diberikan kesehatan dan dijauhkan dari segala kemungkinan buruk yang bisa terjadi terutama saat melakukan pekerjaannya yang memiliki tingkat konsekuensi tinggi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun