Mohon tunggu...
Ajeng Leodita Anggarani
Ajeng Leodita Anggarani Mohon Tunggu... Lainnya - Karyawan

Belajar untuk menulis. Menulis untuk belajar.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Fenomena Pak Ogah Jalanan Penyandang Disabilitas, Pahlawan atau Mengkhawatirkan?

10 November 2023   17:25 Diperbarui: 11 November 2023   04:42 475
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Logikanya, di usia setua itu dan keterbatasan fungsi salah satu anggota tubuh, mereka harus berada di antara kendaraan yang simpang siur melintas. Belum lagi jika ada kendaraan yang melaju dengan kecepatan tinggi. Bahkan polusi kendaraan itu bisa dengan cepat menganggu kondisi kesehatan mereka.

Sumber: suara.com
Sumber: suara.com

Kondisi lainnya saya temukan di salah satu ruas jalan area Tebet. Area yang macetnya tidak main-main. Waktu itu saat masih bekerja di area sana, saya selalu melihatnya di jam berangkat kerja, sekitar pukul 8-9 pagi. Ada seorang Pak Ogah yang mengatur lalu lintas di sana. 

Jelas, secara kasat mata beliau adalah seorang penyandang disabilitas mental. Entah siapa yang memberikannya pakaian, namun ia tampak dengan percaya diri menggunakan seragam satpam.

Beberapa orang terlihat memberinya uang, sementara ada yang hanya sambil lalu melintas tanpa memberikannya apa-apa. Tapi pria itu terlihat tidak menunjukkan rasa kesal.

Terkait dengan Pak Ogah penyandang disabilitas mental, saya punya pengalaman kenal langsung dengan yang bersangkutan.

Namanya Muhammad Ridwan, saat ini usianya genap 30 tahun. Dia tetangga saya. Sejak lahir, Amat (nama panggilannya) memang sudah mendapat diagnosis mengalami retardasi mental (maaf jika salah istilah). 

Walau secara penampilan, ia terlihat normal, namun saat sudah mulai bicara, orang akan tahu bahwa Amat ini anak luar biasa. Amat bisa bicara hanya 1-2 patah kata dan tidak cukup jelas. Tapi untuk logikanya bisa dikatakan hampir sama dengan orang normal pada umumnya. Saat itu, ibunya jadi satu-satunya orang yang benar-benar memahami Amat.

Di usianya yang ke 21 tahun, ibunya berpulang. Saya melihat Amat menangis, entah dia paham bahwa ibunya benar-benar meninggalkan dia untuk selamanya atau karena ia melihat banyak orang yang juga menangis di peristiwa itu. Walaupun tidak benar-benar sebatang kara karena ia masih punya ayah dan kakak perempuan tapi sayangnya tidak ada yang bisa memahami Amat sebaik ibunya.  

Amat melanjutkan hidup dengan keterbatasan yang ia miliki. Mirisnya, ia masih bertingkah seperti anak-anak. Ia kerap menangis jika tidak dibelikan mainan. Kadang, ada tetangga yang baik yang menghibahkan mainan anaknya untuk Amat.

Amat kerap tantrum jika ada keinginannya yang tidak terpenuhi. Ia suka membanting barang-barang yang ada di dekatnya. Kondisi keluarganya bisa dikatakan masuk dalam ekonomi menengah ke bawah, hal itu juga yang membuat Amat tidak mendapatkan pengobatan apapun sejak kecil. Bahkan Amat tidak pernah mengenyam Pendidikan formal apapun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun