Mohon tunggu...
Ajeng Leodita Anggarani
Ajeng Leodita Anggarani Mohon Tunggu... Lainnya - Karyawan

Belajar untuk menulis. Menulis untuk belajar.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Perundungan di Sekolah Bukan Hanya Antar Siswa, Lho?

29 Oktober 2023   14:54 Diperbarui: 1 November 2023   17:05 734
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : https://umsu.ac.id/

Sekolah merupakan lembaga mengajar dan belajar. Di dalamnya tentunya berisi guru dan murid juga sejumlah staff yang juga memiliki kontribusi atas keberlangsungan aktivitas belajar mengajar agar berjalan lancar. Namun, jangan lupakan keberadaan para wali murid yang kerap hadir di sekolah. Baik untuk memantau perkembangan pelajaran anak-anaknya juga memantau interaksi yang terjadi di sekolah. Idealnya begitu.

Kemudian seiring dengan berjalannya waktu, lembaga ini mulai dicemarkan dengan kasus-kasus yang terjadi di dalamnya. Baik itu tindak kekerasan antara guru dengan murid pun sebaliknya, antara murid dan murid, juga beberapa aksi lain yang sampai masuk ke ranah kriminal. Salah satunya tindakan bullying yang kini kian meresahkan yang dampaknya berpengaruh pada mental anak-anak yang mendapati perundungan tersebut.

Akan tetapi ternyata bullying di lingkungan sekolah tidak hanya terjadi di antara mereka yang terdaftar sebagai guru, siswa/i, maupun staff yang bekerja saja, melainkan ada pula kasus perundungan yang terjadi antara orang tua murid. Dan ini terjadi di lingkungan sekolah anak saya.

Kondisi ekonomi masing-masing orang tua murid dalam satu sekolah pastinya tidak sama. Mayoritas orang tua murid yang memiliki ekonomi dari level medium to low akan memilih sekolah pemerintah yang menawarkan pendidikan gratis, termasuk saya. Namun, saya pun tidak begitu saja menyerahkan proses belajar mengajar itu pada pihak sekolah, tentunya saya sebagai orang tua juga memberi dukungan dengan melanjutkan apa yang sudah didapatkan anak saya dari gurunya. 

Bahkan dari sebelum dia terdaftar di sekolah, anak saya sudah saya bekali pelajaran-pelajaran dasar yang sekiranya mudah untuk ia pahami agar saat awal masuk sekolah dia tidak mengalami stress.

Sumber : https://umsu.ac.id/
Sumber : https://umsu.ac.id/

Loh, bukannya sudah diatur kurikulum sesuai dengan tingkatan sekolah? Kenapa sampai stress?

Begini, anak saya ini mengalami bullying sampai di dua tingkatan sekolahnya. Pertama saat masuk di tingkat Taman Kanak-kanak (TK) yang kedua di tingkat SD.

Usianya saat itu 5 tahun. Di rumah, ayahnya memang membiasakan anak saya bicara dalam Bahasa Inggris. Hal itu bukan sekadar sok-sokan. Tapi mengingat biaya les inggris yang tidak murah, kenapa tidak mulai diajarkan sejak dini?

Masuklah anak saya ke salah satu TK yang ada di lingkungan dekat rumah. Di sana diberi aturan, orang tua hanya boleh antar-jemput. Jika mau menunggu, jangan di dalam sekolah. Walau berat tapi melihat kemampuan orang tua yang lain, saya pun coba untuk menjalankan aturan yang sudah ada.

Seminggu pertama anak saya masih belum bisa berinteraksi dengan teman-temannya. Mulanya saya pikir karena masih awal tahun ajaran, dan dia masih mempelajari dan mengenal teman-temannya. 

Masuk di minggu ke dua masih sama, bahkan ia hanya mengenal 1 nama temannya dari 15 siswa dalam kelas. Saya ingat betul nama anak itu Rizki.

Di minggu ketiga, muncul perubahan sikap dari anak saya, yakni ia jadi malas ke sekolah. Tiap kali dibangunkan pasti nangis. Nangis yang terkesan sangat sedih. Saya tanyakan langsung pada anak saya, Toby namanya. Apa ada yang membuatnya tidak nyaman? Atau dia sudah melakukan kesalahan? Dia hanya menjawab jika dia tidak mau sekolah lagi. Dia mau di rumah saja.

Saya mulai cari tahu ke gurunya, apa yang yang salah, anak saya atau bagaimana? Gurunya hanya menjawab "Masih tahap adaptasi, Bu. Wajar saja kalau Toby begini." Mungkin karena perasaan orang tua, rasanya saya nggak cukup percaya dengan alasan sesederhana itu.

Saya coba ajak anak saya nonton film anak-anak. Di mana ada adegan siswa dan siswi dalam sebuah sekolah bermain dengan sangat akrab. Saya tanyakan lagi, apa dia melakukan hal yang sama seperti kondisi di dalam film? Dengan tegas dia bilang, "tidak".

Pelan-pelan saya coba pancing agar semua yang ia pendam bisa tersampaikan. Ternyata, selama ini dia tidak cukup percaya diri untuk menggunakan Bahasa Indonesia di luar rumah. Sehingga jika ada temannya yang ngobrol dia hanya mendengarkan. Dia paham apa yang sedang dibicarakan tapi sulit untuk menjawab dengan Bahasa Indonesia jika mendapatkan pertanyaan dari temannya.

Sejak itu, teman-temannya mulai melakukan perundungan. Saat Toby sudah mulai berani untuk bicara mereka malah meledek dengan ucapan-ucapan yang tidak saya kira bisa dilakukan anak seusia itu.

"Toby kamu nggak bisa ngomong? Kamu gagu, ya? Ngomong kamu kok nggak jelas, sih? Aaaa..ee...aa...ee ngomong apa, sih?"

Berulang-ulang tiap kali anak saya mulai buka suara, tanggapan demikian yang terlontar dari teman-temannya. Jujur, sedihnya luar biasa ketika tahu anak saya mendapatkan perlakuan demikian. Pastinya semua orang tua akan merasakan perasaan yang sama jika mengalami hal ini. 

Saya tidak menyalahkan anak-anak itu, karena umurnya juga bisa dikatakan belum paham kalimat apa yang sekiranya bisa menyakiti orang lain. Saya juga tidak menyalahkan orang tua mereka. Karena hal itu terjadi di luar rumah, saya dan mereka sama-sama mempercayakan interaksi mereka di sekolah pada gurunya.

Lantas 'bagaimana sikap gurumu saat kamu diperlakukan begitu?' pun tak luput saya tanyakan pada anak saya. Ia hanya menjawab, 'gurunya nggak lihat'. Baiklah, pada akhirnya saya tidak bisa menyalahkan siapa-siapa selain diri sendiri.

Setelah itu anak saya jadi benar-benar tidak mau sekolah. Saya coba ajak ke sekolah lain, tetap membuatnya tidak tertarik. Akhirnya saya skip tingkat TK, untungnya di sini pendidikan TK tidak wajib. Tanpa ijazah TK, anak-anak tetap bisa melanjutkan ke Sekolah Dasar.

Trauma itu berjalan sampai hampir 2 tahun, di mana seharusnya dia sudah masuk SD pada usia 7 tahun tapi malah baru dilakukan saat dia usia 8 tahun. 

Saya masih mencoba terus untuk membuatnya punya semangat untuk sekolah lagi. Untungnya rumah kami yang sekarang posisinya dekat dengan salah satu SD Negeri. Kebetulan juga ada keponakan saya yang juga bersekolah di sana. Mantap sudah saya menyekolahkan Toby di sana, hal itu pun didukung dengan pendekatan yang dilakukan sepupunya agar dia mau mulai sekolah lagi.

Dan berhasil. Toby mulai mau sekolah, bahkan bangun pagi pun tak menunggu ada yang membangunkan. 

Di masa awal tahun saya masih ketar ketir hal yang sama terjadi lagi, saya takut anak saya kembali trauma, namun ternyata tidak, karena wali kelasnya ternyata memang guru Bahasa Inggris, sehingga apa yang sekiranya Toby tidak mengerti atau tidak paham, wali kelasnya bisa menjelaskan dalam Bahasa Inggris, yang menurut anak saya lebih mudah. 

Wali kelasnya pun setiap hari memberikan laporan melalui pesan singkat, mengabarkan perkembangan Toby dan juga mengingatkan saya dan papanya untuk lebih sering membiasakannya berbahasa. Memang dalam berkomunikasi Toby masih sulit, masih pasif di kelas, lebih banyak diam dan menyendiri, walaupun dalam menangkap pelajaran ia bisa dikatakan cukup baik, bahkan di atas rata-rata. Hal ini sebenarnya belum cukup membuat saya lega, karena yang lebih saya harapkan adalah dia bisa berkomunikasi dengan teman-temannya.

Kabar tentang Toby yang tidak punya ijazah TK, masuk sekolah di usia yang terlambat, dan bisa berbahasa Inggris itu sampai pula ke kumpulan wali murid di kelas. Ternyata anak mereka kerap bercerita pada orang tuanya perihal Toby yang terkesan pendiam di kelas karena Toby nggak bisa Bahasa Indonesia. 

Istilah "nggak bisa" dan "belum bisa" tentunya berbeda makna, tapi berhubung yang menyampaikan adalah anak SD kelas 1 jadi ya saya wajarkan. Alih-alih mendapat dukungan dari wali murid lain, berganti saya yang mendapatkan perundungan itu.

"Harusnya Toby nggak sekolah di sini, di sekolah internasional sana."

"Makanya jangan sok pake anak dibiasain Bahasa Inggris, sekarang susah sendiri,"

"Cari duit lebih rajin lagi, kasian tuh anak kena imbasnya,"

Lagi-lagi saya cuma bisa mengelus dada mendapati kalimat-kalimat itu tertuju pada saya. Ya, kalimat-kalimat pedas itu memang ada benarnya. Seharusnya saya begini, seharusnya saya begitu, tapi ternyata kondisinya kan begini, nggak begitu. Ya, nggak? Hehehe.

Jawaban spontan saya saat itu, "Doakan ya saya banyak rejeki, jadi saya bisa pindahkan dia ke sekolah lain yang lebih cocok,"

Apakah saya sudah merasa puas hanya dengan membalas demikian? Tidak!

Mulanya saya panas hati dengar kalimat-kalimat perundungan itu. Sempat sampai menangis. Setengah mati saya menahan diri untuk tidak mengomentari opini mereka dengan level kepedasan yang sama. 

Kemudian, saya coba ambil waktu untuk menangkan diri. Saya coba tulis di kertas, ucapan-ucapan menyakitkan yang saya dengar atau saya baca. 

Saya tarik napas berulang kali, saya baca lagi tulisan itu berulang sampai hati saya tenang. Sampai akhirnya saya mendapatkan esensi dari yang mereka sampaikan. Berusaha berpikir positif bahwa saya punya alasan yang baik mengapa memutuskan ini dan itu untuk keluarga terutama anak-anak saya.

Lantas apa lagi yang saya lakukan selanjutnya? Ya, saya abaikan saja. Toh, alasan utama kami mengajarkan anak Bahasa Inggris sejak dini hanya supaya nggak perlu les, karena biayanya bisa dialokasi ke hal-hal lain. Dan itu terbukti, saat teman-temannya harus les Inggris, mereka harus extra biaya lagi, waktu istirahat anak-anak juga berkurang. Sementara Toby, bisa istirahat di rumah atau mengulang pelajaran yang lain, uangnya bisa untuk keperluannya yang lain atau yang mau dia beli.    

Pada akhirnya saya tahu, kekuatan menghadapi masalah itu muncul dari diri sendiri. Keputusan kita mengambil langkah dalam hidup itu bukan hal yang perlu dijelaskan pada pihak luar. Kita yang paling tahu kemampuan kita, kita paling tahu apa mimpi kita, kita yang mengelola hidup kita. Dan kita tidak bisa mengatur apa yang keluar dari mulut orang lain tentang kita, yang perlu kita kelola adalah pola pikir kita untuk bisa menyaring mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang perlu dijadikan pembelajaran, dan mana yang cukup diabaikan.

Yakinlah, tidak semua perundungan muncul karena kesalahan kita, keburukan kita, hal dari diri kita yang terbaca negatif di mata orang lain. Perundungan itu bisa jadi bentuk rasa iri dan ketidakmampuan mereka untuk melakukan hal yang sama.

Bekasi,

29 Oktober 2023

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun