Mohon tunggu...
Ajeng Leodita Anggarani
Ajeng Leodita Anggarani Mohon Tunggu... Lainnya - Karyawan

Belajar untuk menulis. Menulis untuk belajar.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Marak Aksi Remaja Bunuh Diri, Kurangnya Self Love pada Anak?

22 Oktober 2023   23:55 Diperbarui: 23 Oktober 2023   13:35 1402
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejumlah kasus remaja melakukan aksi bunuh diri (bundir) semakin sering memenuhi portal berita. Mulai dari siswa SD hingga yang duduk di bangku perkuliahan. Hal ini cukup menjadi perhatian banyak pihak.

Banyak alasan yang melatarbelakangi aksi ini. Masalah keluarga, masalah di lingkungan pertemanan, rasa tidak puas pada diri sendiri, tekanan dari orangtua. 

Beberapa di antara pelaku aksi bundir meninggalkan surat wasiat berupa permintaan maaf kepada orang-orang terdekat, terutama orangtua. Hal ini menyiratkan bahwa mereka sudah mempersiapkan aksinya dengan matang.

Tak sekadar menyoroti masalah, sejumlah pihak mempertanyakan:

  • Bagaimana pola asuh remaja tersebut di rumah?
  • Bagaimana pola didik guru/dosen di kelas?
  • Apakah anak tersebut mendapatkan pendidikan agama yang cukup?
  • Bagaimana lingkungan pergaulannya?

Empat hal ini seakan menjadi senjata untuk mempertanyakan kualitas guru, orangtua, dan lingkungan dari si pelaku bunuh diri. Pun itu adalah hal yang wajar, namun alangkah bijaknya kita lihat dari kondisi mental anak itu sendiri. 

Masing-masing dari kita memiliki pola pikir yang berbeda, batas kesabaran yang berbeda, ketahanan mental yang berbeda, juga cara pandang yang berbeda terhadap suatu masalah. Bahkan terlahir dari dalam satu kandungan pun tidak bisa memastikan berwatak sama.

Jika kembali lagi pada 4 pertanyaan di atas, pihak-pihak yang dipersalahkan atau dipertanyakan kinerjanya bisa saja menjawab "Anak kami di rumah baik-baik saja, nurut sama orangtua. Kami sudah cukup maksimal membimbing anak tersebut, anak-anak sudah diajari tentang agama, anak-anak bergaul di lingkungan yang baik dan tepat, dan sejumlah jawaban yang justru hanya ditanggapi oleh si pemberi pertanyaan dengan kata "halahhh".

Sore tadi, saya melihat beberapa short video di TikTok yang membahas tentang aksi bunuh diri dari seorang mahasiswi berinisial NJW dari lantai 4 Mall Paragon Semarang. Yang mengejutkan saya adalah sejumlah komentar yang berbunyi, "Tunggu aku ya, Kak. Kenapa nggak ajak aku? Apa aku harus kayak dia?" 

Melihat fenomena ini ada kemungkinan berita-berita aksi bundir ini bukan justru membuat orang berpikir ratusan kali untuk melakukannya. Malah jadi tolok ukur bahwa bundir itu bisa dilakukan dengan amat sangat mudah. 

Mirisnya, komentar yang berisi "ingin ikut" itu malah menjadi bahan olokkan komentator lain. Ada kemungkinan yang bisa muncul dari kejadian ini. Jika orang yang berniat melakukan hal sama itu memang benar-benar serius ingin mengikuti jejak NJW dan setelah membaca tanggapan atas komentarnya, dia justru merasa tertantang, karena jelas kita tidak pernah benar-benar paham kondisi mental seseorang. Alih-alih mendapat dukungan malah justru mendapat perundungan semacam itu.

https://www.health.harvard.edu/
https://www.health.harvard.edu/

Lantas langkah apa yang sebaiknya dilakukan oleh orangtua maupun guru untuk mengantisipasi kejadian yang marak ini?

Takut pada Tuhan

Banyak yang bilang aksi bundir bukan hanya tidak takut pada Tuhan tapi ada kondisi yang lebih parah dari itu, ini soal mental. Memang ada benarnya, tapi hal ini pun masuk dalam kategori penting. Dalam agama apapun, bundir adalah perbuatan yang diharamkan. 

Coba ceritakan pada anak-anak bahwa Tuhan mengirim mereka ke dunia bukan tanpa alasan. Munculnya mereka di tengah keluarga adalah bentuk jawaban Tuhan atas doa-doa kedua orangtua. 

Selalu ingatkan bundir adalah salah satu hal yang membuat Tuhan kecewa. Apa mereka tega membalas kebaikan Tuhan dengan hal yang justru membuatNya kecewa? Tanamkan pemahaman ini secara berkala.

Belajar menghadapi kegagalan

Tidak semua orang siap dengan sebuah kegagalan. Apalagi di usia remaja. Di saat baru mengenal arti persaingan. Persaingan dalam nilai pelajaran, persaingan mengambil hati guru, persaingan menarik perhatian lawan jenis, persaingan penampilan, dan lain sebagainya. 

Sejumlah anak bisa saja cuek dengan itu semua, namun bagaimana yang masuk dalam tipe "sedikit-sedikit kepikiran"?

Mungkin, sudah saatnya anak-anak dihadapkan dengan sebuah kegagalan sejak dini. Bisa dari orangtua di rumah atau guru di sekolah. Buatlah semacam skenario agar anak tersebut tidak mendapatkan hal yang ingin dicapai. 

Setelah terlaksana, dekati anak tersebut katakan "Ini biasa, sering terjadi, kamu bukan yang satu-satunya gagal, kita coba lagi nanti."

Hal ini bisa melatih mentalnya agar tidak mudah down saat mendapati sesuatu yang tidak sesuai dengan ekpektasinya.

Mengenalkan personal boundaries

Masing-masing orang punya batasan atas dirinya. Cara paling ampuh adalah saat kita merasa sudah tidak nyaman atas apa yang sedang kita jalani atau lakukan. Misal anak-anak terlihat stres dengan pelajaran, jangan terus dipaksa untuk menyelesaikan pelajaran saat itu juga. 

Ajak mereka ngobrol atau biarkan mereka mengambil waktu untuk hal-hal yang ia sukai, jangan lupa beri batasan waktu, agar ia tahu kapan saatnya kembali fokus pada apa yang harus diselesaikan.

Mencintai diri sendiri

Sebelum mencintai orang lain, cintai dulu dirimu sendiri. Pernah dengan istilah tersebut? Itu benar adanya. Refleksikan hal itu pada anak. 

Tumbuhkan rasa mencintai diri mereka sendiri. Beri tahu kenapa orangtua sangat mengharapkan kehadiran mereka di tengah-tengah keluarga. 

Ceritakan bagaimana kita mencintai mereka dan menerima mereka dengan apa adanya. Buat mereka merasa istimewa berada di antara semua personil keluarga.

Mencintai orangtua

Tak banyak orangtua yang mau berbagi cerita dengan anak-anak. Masih banyak para orangtua yang bekerja merasa uang mereka cukup untuk menggantikan posisi di samping anak-anaknya. 

Menurut orangtua, uang adalah bentuk rasa sayang. Padahal tidak semua anak hanya menginginkan kebutuhan jasmaninya terpenuhi. Berkumpul, saling berbagi cerita, membuat guyonan di tengah keluarga bisa memunculkan rasa cinta anak pada orangtua. 

Pun memahami kondisi anak dan menerima kekurangannya membuat anak merasa nyaman. Dekat dan bersedia akrab dengan teman-teman sekumpulannya pun membuat anak-anak bisa mencintai orangtuanya, lho.

Merencanakan masa depan

Selama ini yang terjadi adalah hanya orangtua yang membuat perencanaan masa depan pada anak-anaknya. Mengapa tak coba melibatkan anak-anak dalam mencapai itu? Tanyakan apa yang menjadi minat mereka? Apa hal tersebut selanjutnya bisa menjadi cita-cita? Apa cita-cita itu kemudian bisa menjadi bekal masa depan mereka? Buatlah coret-coretan iseng tahap-tahap yang harus dilewati jika anak ingin menggapai cita-citanya. Mungkin dengan menabung, mengikuti les atau kursus, mengurangi waktu bermain, menerapkan ini dan itu. Bangun keyakinan dan kepercayaan diri anak-anak untuk mencapainya.

Menemukan circle yang tepat

Tak banyak orangtua yang kenal baik dengan teman-teman anaknya. Mungkin sibuk, mungkin sungkan, mungkin juga anaknya yang melarang. Sebagai orangtua, kita pasti tahu celah untuk bisa masuk dalam circle anak-anak kita. 

Buat sebuah pendekatan yang terlihat normal. Jangan secara terang-terangan ingin tahu apa yang circle anak kita biasa lakukan. Bukannya menunjukkan mereka malah ketakutan pastinya. Buat acara kumpul-kumpul di rumah bisa sebulan 2-3x. 

Ikut ngobrol, jadi orangtua yang bisa dicurhati teman-teman anak juga. Bangun kenyamanan di antara kita dan mereka, sehingga jika ada hal ganjil yang terjadi pada anak kita, inner circle-nya langsung peka.

Metode-metode di atas bukan tanpa alasan yang melatarbelakangi. Saya bukan orang yang hidup tanpa masalah, tapi orangtua saya sudah menerapkan poin-poin tersebut sejak saya kecil.

Saya diberi kesempatan belajar dengan pola saya sendiri. Tak ada tekanan. Paling jika nilai rapor saya jelek, mama cuma bilang, "Ini pola belajar kamu ada yang salah nggak kira-kira?" sepotong kalimat itu cukup rasanya sebagai warning buat saya.

Jika saya ada masalah di sekolah, mungkin ribut dengan teman, mama nggak langsung tembak "Kamu kenapa?". Tapi mama coba membuka obrolan dengan, "Waktu mama kecil, di umur segini, pernah loh mama berantem sama teman sekelas. Tapi ya terus baikkan lagi, masa sekolah itu cuma sebentar, masa mau dipakai berantem, sih?"

Mama dan papa saya juga nggak melarang saya pacaran dulu. Menurut mereka punya pacar di sekolah itu jadi bikin semangat. Kalau nilai kita jelek pastinya malu. Walau nggak dilarang, tapi tetap diingatkan batasan-batasan yang harus saya jaga. Makanya saya selalu kenalkan pacar saya ke orangtua, jadi nasihatnya bisa didengar bareng-bareng, hehhee.

Hal-hal sederhana itu yang membuat ikatan saya dan orangtua sangat dekat. Walau terlihat kondisi saya dan orangtua terkesan ideal, tapi saya pernah juga lho punya niat mengakhiri hidup, ada satu masalah yang saya rasa ngga ada jalan keluarnya. Tapi saya urungkan, karena tiba-tiba saya malah kepikiran, bagaimana kedua orangtua saya kalau saya nggak ada? Siapa yang urus masa tua mereka? Dan semacamnya.   

Saya ingat kata-kata papa saya waktu saya pernah menyalahkan Tuhan, kenapa harus saya yang mengalami ini?

Jawaban papa saya, "Manusia nggak perlu tahu apa alasan Tuhan menciptakan ini dan itu. Tapi Tuhan tahu kenapa harus kamu yang mengalami ini. Tuhan juga bukan manusia yang bisa menciptakan masalah kemudian pergi. Tuhan itu menciptakan masalah lengkap dengan jalan keluarnya."

Semoga tulisan ini bermanfaat.

Salam sayang,

Ajeng Leodita

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun