Lagi-lagi tempat sejarah.Â
Nggak bosen, Jeng?
Nggak, dong. Malah jadi makin cinta sama Indonesia. Ternyata masih banyak sejarah yang bisa digali dan masih banyak informasi yang ternyata tidak semua didapatkan di bangku pendidikan. Yang  pastinya makin sayang sama pemerintah Indonesia karena memfasilitasi generasi masa kini dengan melestarikan peninggalan-peninggalan sejarah dan menyimpannya dalam bangunan museum-museum yang tersebar di banyak daerah. Kunjungan kali ini luar biasa istimewa dan mungkin akan sulit mengalaminya lagi.
Apa sebab?
Wisata Kreatif Jakarta yang digawangi oleh Mba Ira Lathief mengadakan Night Museum Tour. Tujuan kunjungan malam ini adalah Menara miring Syahbandar. Â
Titik kumpul berada di pelataran yang berada dalam komplek Menara Syahbdandar. Walau kunjungan kali ini dilakukan pada malam hari, namun suasana di sana jauh dari kata creepy. Banyak pengunjung yang datang. Selain karena suasananya yang nyaman juga karena dijajakan pula kuliner yang dibandrol dengan harga cukup murah.
Mulanya, kami dijadwalkan akan mulai tur pada jam 18.30, namun karena macetnya Jakarta, maka  peserta baru bisa berkumpul dengan lengkap di jam 19.30. Lumayan, ya, pending 1 jam, hehe.
Untungnya, tour guide dari WKJ malam ini cukup sabar menunggu kedatangan kami semua. Namanya Shella Sagita Theo, sosok anak muda yang patut diacungi jempol karena mau mengabdikan diri mempelajari sejarah dan memutuskan untuk menjadi tour guide yang bisa membagikan ilmu pada para peminat wisata museum. Selain sabar menunggu kedatangan kami, Shella pun amat sangat ramah.
*
Memulai tur malam ini, Shella menceritakan histori bangunan ini. Menara miring Syahbandar, merupakan pembuktian bahwa bukan hanya Italia yang punya menara miring, Indonesia juga punya. Walau tak semewah Menara Pisa, namun Menara ini memiliki keistimewaannya sendiri. Sebelum berkisah kenapa disebut menara miring, baiknya saya ceritakan dulu sejarah dibangunnya menara ini, ya.
Menara dengan tinggi 12 meter ini dulunya adalah selekoh, atau sebuah sudut yang dibangun dengan posisi agak menjorok atau keluar dari benteng. Selekoh memang tidak setinggi menara dan bangunannya pun tidak melingkar melainkan berdinding datar. Selekoh yang menjadi titik awal Menara Syahbandar ini dulunya adalah bagian dari Bastion Cullemborg atau benteng pertahanan Cullemborg yang dibangun Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) pada 1645.Â
Setelah benteng tersebut tak lagi berfungsi, pada tahun 1839 bagunan ini dialihfungsikan menjadi menara yang dimanfaatkan untuk memantau ativitas keluar masuknya barang melalui jalur laut yang saat itu terjadi di Pelabuhan Sunda Kelapa. Menara ini kemudian diberi nama Menara Syahbandar. Syahbandar adalah pejabat yang ditunjuk oleh pemerintah untuk menjalankan pengawasan terhadap keselamatan dan keamanan pelayaran. Jadi bukan nama orang ya, Gaes.
Kesamaan dari Menara Syahbandar dan Menara Pisa jika dilihat dari kemiringannya adalah karena sama-sama berdiri dekat dengan perairan. Konstruksi tanah yang lama-lama terkikis oleh air membuat bangunan ini semakin miring tiap tahunnya. Oh, ya, ada sebuah monumen yang disahkan Bapak Ali Sadikin (Gubernur Jakarta saat itu) pada 7 Juli 1977, yang dibuat sebagai penanda lokasi ini adalah titik nol Batavia. Kami semua tak mau menyianyiakan momen ini, Shella mengajak kami berfoto di spot fenomenal itu.
Melihat waktu yang bergerak begitu cepat, Shella bergegas mengajak kami menaiki Menara Syahbandar. Kami langsung menuju pintu paling kiri dari bangunan. Tak cukup luas, namun ada beberapa banner yang berisikan informasi tentang sejarah Sunda Kelapa, termasuk peta Batavia pada awal abad 17. Sebenarnya benteng yang pernah terbangun di area ini ada 2. Yakni, Benteng Cullemborg dan Zeeburg. Hanya saja sisa benteng Zeeburg tidak diistimewakan seperti Benteng Cullemborg yang masih menyisakan Menara Syahbandar di sini. Di antara dua benteng tersebut dibangunlah Westzidjsche Pakhuizen yang sekarang kita kenal dengan Museum Bahari.
Lepas dari ruang itu, kami pun diajak menuju pintu di ujung kanan. Ada sebuah papan penanda bertuliskan Menara Pandang. Sebagai tour guide, Shella mengarahkan untuk menaiki tangga yang didominasi warna merah. Tiap anak tangga terasa masih cukup kokoh untuk menahan bobot orang dewasa yang menaikinya. Namun, tentunya kita juga harus sedikit antisipasi, mengingat anak tangga ini sudah berdiri ratusan tahun lamanya.
Perhentian pertama di lantai dua, ruangan ini pun berisi banner yang memberikan beberapa informasi. Antara lain: Peta topografi berdasarkan garis bujur Batavia, gambaran bentuk alat ukur posisi matahari dan bintang, serta triangulasi Pulau Jawa. Triangulasi ialah usaha mengecek kebenaran data atau informasi yang diperoleh peneliti dari berbagai sudut pandang yang berbeda dengan cara mengurangi sebanyak mungkin bias yang terjadi pada saat pengumpulan dan analisis data. (sumber Wikipedia)
Lepas dari lantai dua, kami pun langsung menuju lantai 4. Selain puncak dari menara, ini adalah puncak tour malam ini.
Kondisi menara yang miring benar-benar terasa di lantai ini. Kami seringkali merasakan getaran-getaran yang sesekali menimbulkan rasa khawatir. Getaran itu muncul dari mobi-mobil besar yang melintas di kawasan ini. Namun, semua kekhawatiran terbayar ketika kami bisa memandang area Jakarta Utara dari jendela yang selalu terbuka. Luar biasa Indah. Kami bisa melihat Museum Bahari dengan logo VOC yang masih ada. Kami juga bisa melihat lokasi Kampung Akuarium yang pernah digeser pada era kepemimpinan Pak Ahok. Kampung Akuarium ini dulunya adalah laboraratorium milik Belanda yang dibangun pada 1905. Setelah tak lagi difungsikan, lahan tersebut kemudian beralih menjadi pemukiman kumuh warga Penjaringan Jakarta Utara.
Belum lengkap rasanya jika sudah sampai di sini namun tak mendokumentasikan keberadaan batu prasasti bertuliskan aksara China. Terdapat dua buah batu, yang berdasarkan informasi dari Shella tidak boleh disentuh. Jika diterjemahkan pada prasasti pertama kurang lebih artinya, "Tempat ini merupakan kantor pengukuran dan penimbangan, dan inilah titik nol Batavia". Pada prasasti kedua menuliskan tentang kedatangan saudagar cina di abad 17. Lepas dari apapun arti dari tulisan yang tertulis pada prasasti tersebut, kita sebagai bangsa Indonesia tidak dapat memungkiri, negara-negara yang menduduki Indonesia atau sekadar mampir telah meninggalkan sejarah untuk kita.
Akhirnya, perjalanan kami menapaki Menara Syahbadar selesai sampai di sini. Walau singkat namun saya pribadi merasa puas karena akhirnya ada kisah baru untuk anak-anak di rumah. Bagi saya, cukup penting membekali diri dengan ilmu dari pada hanya menuntut anak-anak bisa pintar dengan sendirinya. Dan jauh dari kata creepy, acara malam ini begitu mengesankan.
Akhir kata, terima kasih untuk Mba Ira Lathief, Shellla as a Tour Guide dari Wisata Kreatif Jakarta.
Lagi dan lagi saya tanya, kapan teman-teman mau sowan ke museum?
Salam sayang,
Ajeng Leodita
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H