Sejak duduk di bangku sekolah dasar kita sudah diberitahu definisi  sederhana dari pasar tradisional, yakni tempat bertemunya penjual dan pembeli untuk melakukan kegiatan jual beli atas barang-barang kebutuhan sehari-hari.
Pasar adalah surga bagi ibu-ibu yang senang melakukan aktivitas tawar menawar. Yang berakhir menjadi sebuah bahan obrolan kala berkumpul di acara arisan lingkungan. Kemampuan menawar sampai harga terendah layaknya sebuah prestasi yang membanggakan.
Selain tawar menawar harga, pembeli juga bebas membeli bahan sesuai dengan uang yang mereka bawa, tak wajib mengikuti pakem ukuran timbangan penjual seperti ons, gram, kilo, dan lainnya. Cukup mengatakan, saya mau bawang merah 5k atau saya mau beli cabe rawit 3k saja, maka pedagang akan langsung menimbang sesuai harga yang Anda sebutkan.
Pasar tradisional juga memanjakan kita dengan produk yang variatif. Jika di toko ini produk yang kita cari tidak ada, maka kita bisa langsung bergeser ke toko sebelahnya. Juga tingkat kualitas produk kita bisa pilih mana yang paling baik di antara yang terbaik. Jangan lupa, di pasar kita juga bisa sekalian wisata kuliner, ada banyak penjaja makanan yang tersedia. Soto, bakso dan mie ayam, bukan barang langka yang bisa kita temukan di area pasar tradisional.
Namun eksistensi pasar kini secara perlahan tergerus dengan masuknya budaya belanja online. Ya, tak hanya kebutuhan sandang dan papan saja yang bisa didapatkan via online. Pemenuhan kebutuhan pangan (kebutuhan dapur) pun tak pelak mengikuti perkembangan jaman. Pihak-pihak yang memilih pola jual beli semacam ini menitikberatkan pada efisiensi biaya, tenaga dan waktu. Para pengabdi pola belanja online semakin merasa terbantu dengan inovasi ini.
Kendati pun dianggap menguntungkan, fakta yang terjadi adalah, tidak semua  pengusaha UMKM mau memanfaatkan pola baru yang sudah mulai terbentuk ini, masih ada yang bertahan dengan gaya jualan konvensional di pasar-pasar tradisional.
Mengutip sebuah post dari akun Berita Online di aplikasi Instagram, "Kami terpukul oleh persaingan pedagang sayuran online yang semakin banyak," kata Mariam (45) pedagang sayuran di pasar tradisional Pasar Rebo, Purwakarta, Jawa Barat, Jumat (6/10/2023). https://www.instagram.com/p/CyFH28Kolvh/
Melihat mulai meradangnya penjual sayur di pasar tradisional tak lepas dari banyak orang yang mulai terbiasa dan menikmati budaya quick commerce ini. Mereka jadi enggan berkunjung ke pasar tradisional dengan alasan walaupun tetap berada di rumah toh masih bisa mendapat barang-barang kebutuhan sehari-hari. Apalagi hanya bermodalkan gawai dan kuota. Ditambah faktor cuaca extreme yang cukup mengganggu beberapa bulan terakhir ini, membuat aktivitas belanja dari rumah menjadi pilihan yang terbaik.
Melihat berubahnya pola belanja kebutuhan isian dapur, banyak pihak yang pastinya melirik peluang besar ini. Ada yang bergabung dengan marketplace ada pula yang berdiri sendiri sebagai platform online. Sebut saja sayurbox, happyfresh, kecipir, tukangsayur.id, dan titipku yang barbasis di Jogja. Hanya bermodalkan aplikasi yang bisa diunduh secara gratis kita sudah bisa memanfaatkan keberadaan mereka.
Saya pribadi pun pernah juga melakukan aktivitas belanja kebutuhan dapur via marketplace. Bukan sekadar ikut-ikutan, tapi sebagai IRT yang juga bekerja, saya merasa terbantu dengan adanya inovasi ini.
Keuntungan yang saya rasakan, antara lain:
- Efisiensi Waktu
Senin s/d Jumat saya menghabiskan waktu kurang lebih 9 jam di luar rumah. Sementara Sabtu dan Minggu adalah waktu untuk keluarga. Rasanya tubuh ini sudah lelah sekali jika saya harus mengunjungi pasar. Jika saya belanja secara online, saya bisa sambil main dengan anak-anak atau sambil mengerjakan pekerjaan rumah yang lain.
- Banyak harga promo dan diskon
Semakin banyak item yang kita pilih maka kemungkinan mendapatkan diskon pun akan semakin besar. Ditambah lagi banyak yang menyediakan bebas ongkos kirim dengan syarat tentunya.
- Memanfaatkan fasilitas paylater dari marketplace
Inilah yang terfavorit. Di marketplace yang saya gunakan, akun saya mendapatkan fasilitas itu. Sebagai ibu-ibu tentunya hal ini tak boleh dibiarkan begitu saja, donk.Â
Â
- Pola Pembayaran
Kita bisa memilih pola pembayaran yang kita mau, bisa Cash on Delivery yakni dibayarkan setelah barang sampai, bisa juga menggunakan sistem pembayaran online yang sudah beragam jenisnya.
- Menjaga diri dari cuaca ekstrim dan virus yang banyak bermunculan
Hal ini menjadi concern paling penting. Kita sedang berada di era semua virus bebas keluar masuk tanpa permisi. Sebagai ibu, menjaga kesehatan itu sangat penting. Ada suami dan anak-anak yang membutuhkan kita. Saya kutip sebuah kata bijak "Ibuku adalah akarku, pondasiku. Dia menanam benih yang mendasari hidup saya, dan itu adalah keyakinan bahwa kemampuan untuk mencapai dimulai dari pikiran Anda." -Michael Jordan
Namun, tak ada yang sempurna dalam hidup, termasuk pola belanja sayur mayur secara online ini. Beberapa kekurangan yang mungkin terjadi antara lain :
- Jenis, kualitas dan kuantitas barang tidak sesuai
- Waktu pengiriman yang terlambat
- Complaint yang tidak diselesaikan dengan baik oleh pihak penjual
Melihat dari pengalaman penutupan Tiktok Shop (sebelum akhirnya dikabarkan banyak hal lain yang jadi alasan fasilitas itu ditutup) terlihat ada dua kubu yang tengah berseteru. Satu pihak merasa keberadaan transaksi jual beli online yang notabene lebih modern dianggap mematikan pasaran pengusaha yang tetap kekeuh pada bisnis konvensional. Sementara ada pihak yang dengan pikiran yang terbuka pada akhirnya harus merugi karena pemerintah yang terkesan berat sebelah dalam mengambil keputusan.
Seharusnya pemerintah bukan hanya mencari kekurangan pihak yang dituding merugikan. Namun lihatlah system yang mereka gunakan dan kenapa cukup dinikmati?Â
Mungkin salah satu alasan yang melatarbelakangi kesenjangan ini adalah minimnya informasi tentang Literasi Finansial yang sampai saat ini masih jarang disosialisasikan.Â
Literasi finansial adalah pengetahuan dan kecakapan untuk mengaplikasikan pemahaman tentang konsep, risiko, dan keterampilan konteks finansial. (sumber: https://ditpsd.kemdikbud.go.id/)
Aspek-aspek yang bisa dipelajari dari literasi jenis ini salah satunya adalah mengenalkan literasi digital online yang berkenaan dengan manfaat berbisnis online dalam upaya efisiensi sebagai jantung ekonomi. Di sini para pengusaha baik mikro besar maupun kecil akan diberikan pemahaman mendasar bagaimana cara mengelola bisnis online dengan benar. Mulai dari mengenalkan atau mengajarkan bagaimana bertransaksi online yang aman, penggunaan sistem pembayaran online, cara memasarkan produk secara online, dan lain sebagainya.
Pemerintah pun tidak bisa bekerja sendiri. Dibutuhkan adanya pihak yang bisa diberdayakan sebagai penyuluh untuk kegiatan literasi finansial ini. Manfaatkan keberadaan Gen Z dan Generasi milenial yang dianggap lebih mudah menerima perkembangan teknologi. Didik mereka sebagai agen literasi yang bisa memberikan informasi yang harus disesuaikan dengan kebudayaan masyarakat yang menempati masing-masing daerah agar maksud dan tujuan yang diharapkan bisa dipahami secara menyeluruh. Jangan lupa, libatkan pihak bank atau pemodal lain untuk mendukung bisnis UMKM ini. Mungkin, dengan adanya sinergi semacam ini, bisa terealisasi peningkatan taraf ekonomi yang sesuai harapan bersama.
Karena, Memaksa orang untuk menerima perubahan tanpa memberikan pemahaman yang matang sama halnya dengan memerintahkan orang berperang tanpa melengkapinya dengan senjata.Â
-Ajeng Leodita-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H