15 Desember 2009
Bibi Carleon, tetangga kami, sering berteriak dari jendela rumahnya.
"Sofiya, jangan biarkan anak perempuanmu keluar malam, Â ia sering membawa pulang laki-laki yang ia temui di jalan saat kau tertidur,"
Perempuan tua itu kerap berhalusinasi. Kalau dia normal, tak mungkin empat orang anaknya meninggalkannya sendiri dalam rumah besar yang tak terawat, juga dirinya sendiri.
Untung saja, ibuku berbeda. Jangankan kata-kata wanita gila itu, kata hatinya pun jika tak sesuai dengan logikanya -yang kadang tak masuk akal- tak akan ia dengar. Namun, sesaat bayangan tentang peristiwa kematian muncul dalam benakku tiba-tiba, tak lebih dari 5 menit. Pikiran itu begitu cepat berlalu, tapi potongan-potongan adegan itu sangat jelas terekam dalam ingatan.
 "Bibi, sampai lusa, jangan ke mana-mana. Tinggallah di rumah, buatlah kue atau apapun yang kau suka,"
Aku mendatanginya hanya untuk menyampaikan pesan itu, kemudian buru-buru pergi sebelum ibu menangkap pertemuan kami. Aku bisa melihat keheranan dalam mata Carleon saat itu. Jelas dia akan heran, sejak kami bertetangga hampir 20 tahun lamanya, mungkin itu kali ketiga aku mengajaknya bicara.
Sayangnya, dua hari setelah pertemuan itu, Charleon ditemukan tewas di danau dekat pemukiman. Hasil autopsi menunjukkan wanita itu terkena serangan jantung lalu tenggelam. Polisi hanya menginterogasi orang-orang yang tinggal dekat dengan danau. Tak ada saksi mata, tak ada yang benar-benar tahu dengan pasti kapan kejadian mengenaskan itu terjadi. Apa yang terjadi dengan Charleon benar-benar mirip dengan bayanganku beberapa hari sebelumnya.
Ibu terlalu dingin, ia bahkan tak datang melayat ke rumah Bibi Carleon. Jika bukan karena aku dan anaknya pernah sekolah di tempat yang sama mungkin aku pun akan dilarang ke sana.