Mohon tunggu...
Ajeng Leodita Anggarani
Ajeng Leodita Anggarani Mohon Tunggu... Lainnya - Karyawan

Belajar untuk menulis. Menulis untuk belajar.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Suara Hati Elaeis Guineensis

20 September 2023   18:42 Diperbarui: 20 September 2023   18:52 263
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://handokoaji.wordpress.com/

Hai, salam kenal. Aku adalah anak asuh Pak Selong dan Bu Tindoh, sepasang suami istri asli Kalimantan yang mengabdikan diri sebagai petani. Terhitung kebersamaan kami sudah 3,5 tahun. Keduanya merawatku dengan sepenuh hati. Setiap pagi dan sore mereka mengunjungiku. Memastikan aku tidak kekurangan cairan. Mereka juga memeriksa kemungkinan adanya pengganggu di sekitarku. Mereka selalu menyiapkan senjata untuk menjagaku.

Aku adalah generasi termuda kelapa sawit di lahan perkebunan yang diolah oleh Pak Selong dan Bu Tindoh. Nama latin spesiesku, Elaeis Guineensis. Kami adalah keturunan genus Elaeis. Seseorang bernama Nicholas Jacquin yang pertama kali menemukan nenek moyangku di Nigeria, Afrika Barat pada tahun 1763.

Keluarga kami adalah tumbuhan monokotil. Sama seperti tumbuhan lain, kami pun memiliki akar, batang, daun, bunga, buah dan biji. 85 tahun sejak nenek moyangku ditemukan di Afrika, ada seorang keturunan Belanda membawa keturunan nenek moyangku ke negara kalian. Ya, Tuan Mauritus Amsterdam namanya. Beliau yang membawa kami akhirnya kenal dengan tanah Indonesia. Iklim kalian yang tropis membuat kami tumbuh dengan subur. 

Pepatah lama bilang, "Kalau jodoh itu nggak akan kemana." sepertinya cocok menggambarkan perkenalan ini. Spesies kami dan Indonesia sangat cocok, saking cocoknya, negara kalian menjadi penghasil kelapa sawit terbesar di dunia. Hebat, kan?

Biarpun hanya sekelas tumbuhan tapi keturunan Elaeis Guineensis termasuk saksi sejarah bangsa kalian juga, lho. Karena kami ada sejak jaman penjajahan Jepang dan Belanda. Tapi sayangnya, saat mereka menduduki Indonesia keberadaan spesies kami mengalami penyusutan sehingga tak bisa berproduksi secara maksimal. Entah, mungkin mereka tak peduli akan keberadaan kami yang sebenarnya sangat penting ini.

Tetapi aku senang, setelah kemerdekaan bangsa kalian, perlahan tapi pasti keberadaan keluargaku diperhatikan lagi. Keluargaku dan bangsamu rasanya seperti orang pacaran yang CLBK. Cinta Lama Berkebun Kembali, he...he...he.

Berhubung ceritaku akan cukup panjang, ada baiknya kalian sediakan camilan atau kopi untuk menyimak ini.

Sebenarnya aku memiliki 2 saudara dari genus yang sama. Mereka bernama Elaeis Oleifera dan Elaeis Odora. Di antara kami bertiga, hanya Guineensis dan Oleifera yang dibudidayakan. Layaknya manusia, walaupun bersaudara, namun kami memiliki karakter yang berbeda satu dengan yang lain. Keunggulan spesiesku, kami memiliki tingkat produktivitas lebih tinggi, sehingga masyarakat kalian lebih suka membudidayakan kami. Namun bukan berarti Oleifera tidak punya keunggulan, kandungan asam lemak oleat dan linoleat lebih tinggi dari pada yang kami miliki.

Spesies Elaeis Guineensis memiliki 3 jenis cangkang. Dura, Pisifera, dan Tenera. Diantara 2 yang lain, Tenera bisa dikatakan paling hits di bumi Indonesia, karena Tenera adalah buah hasil persilangan dari buah sawit betina dura dan buah jantan. Cangkangnya tipis tapi buahnya besar. Walaupun bercangkang tipis tapi Tenera mudah memiliki keturunan alias fertil. Kayak manusia yang lupa program KB aja, ya? Ha...ha...ha.

Saat ini spesies kami tersebar di beberapa wilayah Indonesia. Riau, Kalimantan Barat, Sumatera Utara, Jambi, Aceh dan yang lainnya. Aku sendiri tumbuh di perkebunan kelapa sawit area Kalimantan. Sebagai makhluk Tuhan juga yang sama seperti kalian, aku pun tak bisa hidup sendiri. Aku tetap membutuhkan bantuan. 

Selain pada kebaikan alam, seperti suhu udara, curah hujan, dan cahaya matahari, aku juga mengharap bantuan manusia untuk keberlangsungan hidupku dan keluargaku. Beruntung, saat ini aku menjadi anak asuh dari Pak Selong  dan Bu Tindoh. Mereka berdua adalah petani kelapa sawit yang sangat giat bekerja. Sebagai tumbuhan, aku merasa seperti anak kandung mereka. Mereka sangat khawatir jika banyak hama yang mengganggu keselamatanku.

Ya, sekalipun aku merepotkan banyak pihak agar bisa panen maksimal, tapi hasil panen tubuhku banyak manfaatnya. Ibu kalian di rumah pasti sangat suka dengan keberadaanku, apalagi jika mereka hobi masak. Minyak nabati yang dihasilkan oleh buahku bisa untuk menggoreng, namun rendah kolesterol dan tinggi kandungan karotenoidnya. Aku juga bisa dimanfaatkan sebagai bahan dasar pembuatan biodiesel karena sifatku yang ramah lingkungan. Industri kosmetik juga menggunakan spesiesku dalam produk-produk mereka.

Banyak negara-negara yang mengimpor kami dari Indonesia. Akhirnya banyak keluargaku yang bisa jalan-jalan keliling dunia, deh. Dengan diimpornya mereka ke banyak negara, maka nama Indonesia makin tersohor di sebagai negara nomor satu di dunia penghasil Crude Palm Oil (CPO) atau minyak kelapa sawit atau spesiesku sendiri, he... he... he...

Keberadaan kami juga menjadi lahan rejeki bagi manusia. Banyak yang ingin bekerja di perkebunan kelapa sawit. Bahkan mereka rela jauh dari keluarga jika pun harus bekerja sampai menyeberang pulau. Pesona kelapa sawit memang menggoda sekali, ya?

Tapi hampir sebulan belakangan, aku sering kehausan. Persediaan air terbatas. Hal yang paling ditakutkan jika kami kekurangan air adalah akar kami akan cepat membusuk. Bagaimana rasanya dibuat mati secara perlahan?

"Apa kita bisa gagal panen, Pak?" sore itu kudengar Bu Tindoh bertanya pada Pak Selong saat keduanya menyemprotkan akarisida pada benih-benih calon keluargaku. Tungau Merah sudah membidik mereka, terutama karena kemarau panjang ini.

"Kemarau kali ini berbeda, Bu. El Nino menyerang semua daerah. Nggak cuma di Indonesia. Banyak petani yang harus bersiap dengan kemungkinan gagal panen. Termasuk kita."

Wajah Bu Tindoh terlihat kecewa. Namun sepertinya ia tak mau suaminya mengetahui kesedihan itu.

Terdengar pelan suara Bu Tindoh menyenandungkan lagu berjudul Bebilin.

Inindang..... inindang

Inindang..... inindang

i yadu yaki bebilin yadu yaki

bebilin yadu yaki

Suboi no labu bedilit

Biasanya, para petani Kalimantan menyanyikan lagu itu untuk menambah semangat. Pasti Bu Tindoh sedang berupaya keras agar semangat mereka berdua tak padam dalam merawat kami dalam kondisi yang menyeramkan ini.

Omong-omong, El Nino? Siapa sih dia?

Apakah dia jahat?

Aku bisa merasakan orang tua angkatku sedih melihat kemarau ini.

Kalimantan mulai kekeringan. Para petani mulai kesulitan mencari air untuk memberi kami minum. Bibit-bibit baru yang ditanam Pak Selong dan Bu Tindoh juga mendapat gangguan Tungau Merah. Calon keluarga baruku terancam mati.

Curah hujan yang kurang dari 2.500mm/tahun dan dan suhu udara di atas 32 derajat celcius bisa memicu terjadinya gagal panen itu. Padahal enam bulan lagi aku akan dipanen. Walau merasa sedih karena harus berpisah dengan sepasang orang tua angkatku, namun Tuhan menciptakanku kan untuk misi itu.

Jujur aku sangat sedih jika sampai tak bisa dipanen. Batal niatku untuk menjadi tumbuhan yang berguna.

Tapi, ini bukan akhir dari segalanya. Masih ada bibit-bibit yang nanti akan tumbuh subur menggantikan kami. Yang pasti, masih akan ada harapan dan senyum para petani untuk terus mengolah perkebunan ini.

-Selesai-

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun