Mohon tunggu...
Ajeng Leodita Anggarani
Ajeng Leodita Anggarani Mohon Tunggu... Lainnya - Karyawan

Belajar untuk menulis. Menulis untuk belajar.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Gloria Elsa: Menjadi Perias Jenazah Juga Sebuah Cita-cita

16 September 2023   01:55 Diperbarui: 16 September 2023   02:40 792
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : https://www.instagram.com/p/CjhBUEfPGL_/

Sebutan Make Up Artist (MUA) sudah bukan lagi barang asing di industri kecantikan Indonesia. MUA sendiri yakni pekerjaan yang berhubungan dengan seni merias. 10 tahun belakangan profesi ini kian digemari banyak orang dari bermacam kalangan. Tak hanya perempuan, laki-laki pun ikut meramaikan euphoria ini. Ada yang melakukan pekerjaan ini secara profesional, ada pula yang sekadar jika punya waktu luang saja, mungkin karena sudah memiliki pekerjaan utama.

Lumrahnya orang belajar MUA untuk merias manusia yang masih hidup, namun ternyata ada yang berpikir belajar MUA untuk merias jenazah. 

Eits, tapi jangan berharap menemukan kisah-kisah mistis dalam tulisan ini. Big No! 

Sejak jaman mesir kuno, ada kebiasaan dalam mempersiapkan jenazah sebelum dikebumikan. Hal ini dikarenakan ada kepercayaan yang menganggap riasan itu akan menangkal roh jahat atas tubuh jenazah itu sendiri.

Di Indonesia ada beberapa suku yang mengamini adanya budaya merias jenazah. Seperti pada masyarakat Toraja, Batak, dan beberapa daerah lain. Tak hanya wajah, pakaian hingga alas kaki pun dipersiapkan yang terbaik. Adapula agama yang mengijinkan orang yang meninggal dunia dirias dulu baru dikebumikan.

Hal ini terjadi di keluarga besar Ibu saya yang mayoritas beragama Nasrani. Oktober tahun lalu, Budhe (kakak ibu) saya berpulang. Sebelum dikebumikan, beliau disemayamkan lebih dahulu di salah satu rumah duka di wilayah Jakarta Timur.

Menyewa rumah duka tersebut sudah sepaket dengan peti dan rias wajah jenazah. Sayangnya, pihak keluarga merasa tidak cukup puas dengan hasil riasan yang diberikan. Jujur, dengan biaya puluhan juta itu kami cukup kecewa dengan hasilnya, karena terkesan asal-asalan.

Setelah berdiskusi beberapa waktu, keluarga besar memutuskan untuk menghubungi perias yang memang mengkhususkan diri dalam merias jenazah. Tak perlu waktu lama, karena kebetulan ybs adalah teman sekolah sepupu saya. Perias jenazah itu adalah Gloria Elsa.

Hal pertama yang paling jelas membedakan antara perias wajah utuk manusia hidup dan perias jenazah adalah tampilan mereka saat datang ke lokasi acara. Selayaknya mendatangi acara kedukaan, Elsa mengenakan pakaian sederhana dan sopan. Walau saat itu pandemi covid sudah berlalu, namun Elsa tetap mengenakan masker sebagai pelindung diri.

Elsa langsung menuju ke peti mati dan menyapa Budhe saya, karena semasa hidup keduanya memang saling kenal. Ia juga sempat mengelus tangan Budhe beberapa kali sambil mengucapkan kalimat "Tante, saya ijin perbaiki make up-nya, ya?"

Dokpri // Budhe sy dgn hasil rias pihak rumah duka 
Dokpri // Budhe sy dgn hasil rias pihak rumah duka 

Setelah itu Elsa langsung membersihkan riasan wajah Budhe yang sebelumnya. Kemudian mengaplikasikan satu per satu kosmetik sesuai fungsinya. Saya melihat bagaimana Elsa begitu teliti mengerjakannya, seakan riasan ini bukan untuk orang yang sudah meninggal. Hasil akhirnya sungguh di luar dugaan. Budhe saya jauh lebih cantik dari sebelumnya. Bahkan Elsa sukses membuatnya nampak seperti saat Budhe mau menghadiri pesta. Kami dari pihak keluarga merasa puas dengan hasil karyanya.

Sumber : Elsa Gloria // Saat proses merias Budhe by Elsa
Sumber : Elsa Gloria // Saat proses merias Budhe by Elsa

Sumber : Elsa Gloria // Saat proses merias Budhe by Elsa
Sumber : Elsa Gloria // Saat proses merias Budhe by Elsa

Setelah selesai merias wajah Budhe, kami pun punya kesempatan untuk sejenak berbincang dengan Elsa. Saya pribadi sangat antusias ingin tahu kenapa Elsa memutuskan untuk menjadi seorang perias jenazah.

Elsa memang cukup familiar dengan jenazah. Ibunya adalah seorang perawat RS. Saat ibunya memandikan jenazah, Elsa kerap membantu. Hal itu yang membuat Elsa merasa jenazah bukan sesuatu yang harus ditakutkan melainkan harus dibantu. Ada sebuah pengalaman iman yang membuat Elsa pada akhirnya memutuskan dan yakin untuk mengambil profesi ini. Saat suaminya meninggal dunia, kondisi keuangan mereka ketika itu bisa dikatakan kurang baik. Pikiran yang pertama muncul adalah biaya untuk proses pemakaman. Namun, saat itu tanpa Elsa bayangkan tiba-tiba semua sudah tersedia. 

Peti mati dan segala kebutuhan dalam masa menjelang pemakaman semua ada tanpa disangka dari mana datangnya. Di saat itu Elsa berpikir betapa kebaikan Tuhan tak pernah berhenti untuk Elsa dan keluarganya, dan akhirnya pengalaman tersebut yang menggandeng Elsa untuk mengabdikan diri menjalani profesi sebagai MUA Jenazah yang kemudian dianggapnya sebagai sebuah pelayanan untuk Tuhan. Bermodalkan niat melayani itu, Elsa menjadikan profesi perias jenazah ini tanpa tarif alias gratis. Dengan alasan, mungkin sudah banyak biaya yang keluarga besar kliennya keluarkan semasa sakit sampai akhirnya wafat. Sehingga Elsa tak mau menambah beban mereka. 

Muncul pertanyaan dari saya, jika gratis lantas bagaimana Elsa membeli alat kosmetik untuk merias para jenazah? 

Elsa mengakui ia mengumpulkan alat make up yang sudah kadaluwarsa yang ia dapatkan dari para donatur. Saat ini Elsa pun mengajar MUA untuk perias jenazah se-Indonesia.

Elsa sudah menangani banyak jenazah dengan penyebab kematian yang berbeda-beda. Mulai dari kematian karena sakit, kecelakaan, sampai (maaf) bundir. Sebab - sebab kematian itu akan mempengaruhi konstruksi wajah. Hal itu membutuhkan effort lebih dari seorang Elsa untuk menyempurnakan kliennya. Ia benar-benar mempelajari teknik merias hingga wajah jenazah tersebut terlihat tidak terlalu jauh tampilannya dari saat masih hidup.

Dilihat dari kondisi kulit jenazah yang sudah keras dan dingin, tak tanggung-tanggung, Elsa bisa menggunakan lem latex untuk mendukung alat kosmetik itu teraplikasi dengan sempurna di wajah si jenazah. Ada pula penggunaan tang untuk membenarkan kondisi bibir jenazah yang rahangnya tidak bisa menutup. Dan masih banyak lagi alat yang digunakan yang mungkin tak pernah kita bayangkan sebelumnya. Tetapi hal tersebut sudah mendapatkan ijin dari pihak keluarga.

Elsa punya mimpi besar, ia ingin punya salon khusus jenazah yang buka 24 jam. Ia juga ingin punya sebuah brand make up sendiri yang formulanya khusus untuk kulit jenazah. Elsa juga berharap banyak yang mau mengabdikan diri sebagai perias jenazah, karena tidak banyak orang yang punya cita-cita bisa melayani orang mati.

 

Sayangnya perbincangan kami dibatasi waktu.  Saya pribadi mendapatkan banyak sekali ilmu berharga dari obrolan yang singkat itu. Sebagai manusia biasa, saya tidak menyangka masih ada sosok Elsa yang hatinya begitu tulus membantu sesama.

Sumber : Elsa Gloria // Kami sekeluarga dengan Elsa
Sumber : Elsa Gloria // Kami sekeluarga dengan Elsa

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun