Mohon tunggu...
Ajeng Leodita Anggarani
Ajeng Leodita Anggarani Mohon Tunggu... Lainnya - Karyawan

Belajar untuk menulis. Menulis untuk belajar.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Rempah-Rempah Si Penggerak Hati

9 September 2023   17:11 Diperbarui: 9 September 2023   17:14 235
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Satu tahun berlalu...

Uang hasil jual tanah perkebunan itu dihabiskan Dudi dan istri untuk membeli beberapa tanah kosong lagi. Mereka bangga, bisnis jual beli tanah itu membuat mereka bisa jadi kaya raya. Mereka terus melakukan ekspansi untuk membeli tanah-tanah lain yang ada di desa dan menjualnya pada pihak luar untuk mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya.

Namun, ternyata semua tak sesuai rencana. Perekonomian tiba-tiba seakan mati. Banyak pekerja yang dirumahkan. Daya beli melemah sejurus dengan kesehatan masyarakat yang terganggu akibat datangnya virus mematikan. Corona, virus itu dianggap sebagai kiamat kecil bagi masyarakat dunia. Banyak yang jatuh miskin, tak sedikit pula yang kehilangan nyawa.

Pak Dudi dan istri, mereka adalah dua diantara puluhan korban yang terinfeksi. Mereka harus menjalani isolasi di rumah karena hampir seluruh rumah sakit dipenuhi pasien yang terkena wabah. Virus ini pun juga mempengaruhi bisnis jual beli tanah. Dalam kondisi seperti ini, tak ada yang berani membeli? Semua sibuk menjaga diri dari infeksi. Obat-obat yang dipesan melalui jasa pengiriman datangnya lambat karena banyaknya permintaan dari berbagai pihak. Banyak orang yang akhirnya mulai mencari cara pengobatan alternatif, termasuk Dudi dan istri. Fakta mengejutkan pun mereka dapatkan, ternyata rempah-rempah dianggap bisa menghambat penyebaran virus yang datang. Namun, permintaan untuk rempah-rempah yang melonjak drastis membuat harga jual menjadi tinggi karena langkanya barang di pasaran.

Penyesalan selalu datang terlambat, Dudi menyayangkan keegoisannya saat menjual perkebunan yang seharusnya bisa bermanfaat untuk banyak orang.

Tanpa disangka-sangka, sebuah panggilan masuk ke ponselnya.

"Asalamu'alaikum, Pak Dudi, apa kabar?" sapa seseorang melalui sambungan telepon.

"Wa'alaikumsalam, masih harus isolasi, Pak Wahyu. Saya masih belum bisa mencium apa-apa. Lidah juga masih hambar."

"Astaghfirulloh, yang sabar, ya, Pak. Oh iya, habis sholat Ashar nanti saya ke rumah, ya? Mau antar  kunyit, kebetulan baru panen."

"Loh, panen di mana, Pak?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun