Mohon tunggu...
Ajeng Leodita Anggarani
Ajeng Leodita Anggarani Mohon Tunggu... Lainnya - Karyawan

Belajar untuk menulis. Menulis untuk belajar.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mengunjungi Museum Modalnya Cuma Jaringan Internet?

24 Agustus 2023   20:45 Diperbarui: 24 Agustus 2023   21:00 221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokpri//Paket Murmer bahagia

Kemerdekaan adalah hak segala bangsa. Hal itu tertuang pada Pembukaan UUD 1945. Sejak duduk di bangku sekolah dasar, kita sudah diperkenalkan dengan sepotong kalimat itu. Kenapa? Agar kita tahu bahwa bangsa ini sudah lepas dari penjajahan. Agar kita memahami bahwa bangsa ini sudah diberi kebebasan menentukan arahnya sendiri. Agar kita juga memahami ada yang perlu diisi dari kemerdekaan itu sendiri.

Kata Merdeka menurut  Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti bebas, berdiri sendiri, tidak terkena atau lepas dari tuntutan, tidak terikat, dan tidak bergantung kepada pihak tertentu.

Itu yang diharapkan oleh kita semua sebagai Rakyat Indonesia. Sejak proklamasi diucapkan oleh Bapak Soekarno, kita bebas melakukan hal yang mampu memberikan kontribusi guna membangun negeri ini dari kemerdekaan yang kita dapatkan.

Namun, ternyata masih banyak yang belum memahami cara memaknai kemerdekaan di era reformasi seperti sekarang ini, termasuk para pelajar. Banyak dari mereka yang tidak mengerti bahwa belajar atau mendapatkan pelajaran adalah salah satu cara memaknai kemerdekaan. Jika kembali ke era sebelum merdeka, betapa sulitnya para pelajar Indonesia mendapatkan pelajaran. Hambatan muncul di sana dan sini. Minimnya sarana dan prasarana untuk belajar. Kendala yang muncul disebabkan karena kita belum menjadi bangsa yang merdeka. Rasa takut muncul dimana-mana. Penjajah tidak membiarkan bangsa ini menjadi pintar. Karena mereka takut, kepintaran itu akan menimbulkan penolakan dan perlawanan atas keberadaan mereka di bumi nusantara ini.

Namun, saat ini, semua berangsur lebih baik. Bahkan pemerintah membebaskan biaya pendidikan untuk sekolah negeri. Walaupun berdasarkan survey dari Situs worldtop20.org pada tahun 2023, Indonesia hanya menduduki peringkat ke 67 dari 203 peserta. Tapi hal itu pastinya akan menjadi cambuk agar pemerintah kita semakin memajukan pendidikan para anak bangsa.

Hal lain dalam memaknai kemerdekaan yakni mengunjungi museum bersejarah. Tercatat 439 museum tersebar di seluruh Indonesia. Museum-museum itu tak hanya dikelola oleh pemerintah, namun ada pula keterlibatan pihak swasta. Akan tetapi tujuannya tetap sama. Sama-sama ingin mengembalikan ingatan kita para penerus bangsa tentang sejarah yang pernah terjadi pada bangsa ini. Memunculkan rasa bangga pada perjuangan pahlawan dan orang-orang terdahulu.

Saya termasuk orang yang senang sekali berkunjung ke museum. Beberapa museum yang sudah saya kunjungi antara lain Museum Negeri Sulawesi Utara, Museum Perumusah Naskah Proklamasi, dan Museum Keraton Sumenep.

Saat masuk ke dalam museum, entah kenapa rasa haru muncul secara tiba-tiba. Setiap mata saya melihat satu per satu peninggalan yang tersimpan di sana seakan membawa saya ke masa lalu saat barang-barang itu masih dipergunakan.

Seperti mesin jahit yang dipakai ibu Walanda Maramis yang masih tersimpan dengan baik di Museum Negeri Sulawesi Utara. Saya membayangkan beliau duduk dan menjahit menggunakan mesin itu. Oh, ya, karena pendaiannya menjahit dan sejumlah pekerjaan rumah tangga lainnya, Bu Walanda Maramis ingin membangun sekolah yang mengajarkan para perempuan di Manado agar bisa mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Hal itu beliau sampaikan pada pemerintah Belanda dan disetujui. Akhirnya pada 8 Juli 1917 sekolah Percintaan Ibu Kepada Anak Temurunnya (PIKAT) diresmikan.

Dokpri // Patung Ibu Walanda Maramis di Museum Negeri Sumatera Utara
Dokpri // Patung Ibu Walanda Maramis di Museum Negeri Sumatera Utara

Dokpri// Mesin jahit Ibu walanda Maramis
Dokpri// Mesin jahit Ibu walanda Maramis

Loh, kan Belanda itu penjajah? Kok mereka setuju dengan ide dari Bu Walanda Maramis? Ya, kala itu mereka punya alasan khusus. Kepintaran yang didapatkan para perempuan-perempuan muda itu setelah bersekolah nantinya akan dimanfaatkan untuk kebutuhan para penjajah Belanda juga. Selain karena bisa dibayar murah juga Belanda bisa dengan mudah menyebarluaskan kebudayaan barat.

Kembali lagi ke soal kunjungan museum, saya yang dari Jakarta bisa sampai menjejakkan kaki di museum-museum luar daerah karena kebetulan pekerjaan saya mendukung hobi ini. Jadi, di sela-sela kunjungan kerja, saya bisa mampir di museum-museum yang entah kapan lagi bisa saya kunjungi. Jadi bisa dibilang aji mumpung, hehehe.

Jika kita melihat kendala, dalam segala hal kendala itu pun ada. Termasuk harapan untuk bisa keliling Indonesia untuk mengunjungi museum. Biaya dan waktu biasanya berada di posisi teratas. Walaupun sebenarnya kepuasan saat bisa mendatangi museum itu tak bisa dibayar dengan apapun.

Tapi kembali lagi, saat ini kita sudah merdeka, bangsa ini sudah maju. Teknologi berkembang pesat. Berkembangnya teknologi ini pun sedikit banyak mengubah pola pikir kita dalam memandang dunia. Semua menjadi bisa dijangkau dengan mudah, kecuali, hati si dia, uhuk.

Bulan lalu saya ikut dalam sebuah event museum tour yang diadakan salah satu komunitas di Kompasiana yang bekerjasama dengan sebuah EO yang berfokus pada kunjungan ke tempat wisata. Tujuan kunjungannya yaitu Museum Perumusan Naskah Proklamasi.

Event ini digelar dalam 2 pilihan. Walking tour dan tour virtual live via IG & Youtube. Hal ini tentunya menguntungkan untuk mereka yang tidak tinggal di Jakarta. Pengunjung  bisa menonton secara langsung tanpa harus jauh-jauh berkunjung. Hanya bermodalkan internet, baik paket data atau sambungan Wifi kita bisa berkunjung ke museum sekalipun jauh dari lokasi kita saat ini.

Lantas apa hubungannya antara cara memaknai kemerdekaan, museum dan teknologi internet?

Jelas ada, dong. 

Dari event museum tour yang saya ikuti kemarin, internet memudahkan segalanya. Kami bisa berkunjung secara virtual. Bisa berjelajah sambil ngopi, rebahan, nggak usah mandi pula. Yang terpenting koneksi internet harus paten. Kebetulan saya pakai First Media paket murah meriah cuma 274.725/bulan. First Media juga nggak menerapkan FUP (Fair Usage Policy) atau batasan jumlah tertentu pada pengguna kuota bandwidth. Jadi First Media ini unlimited, Gaes. 

Dokpri//Paket Murmer bahagia
Dokpri//Paket Murmer bahagia

Apalagi kelebihan First Media? Kalau ada perbaikan jaringan yang akan menimbulkan koneksi terputus beberapa saat, pengguna akan dikirimi informasi melalui email. Asik, kan?

Nah, harapan saya, First Media bisa bekerjasama dengan museum-museum di Indonesia untuk mengadakan Tour Virtual gitu, loh. Pasti asik, kan? Bisa melalui Youtube, IG, bahkan zoom sekalipun. Dijamin peminatnya, buanyakkk sekali. Hehhe.

Lepas dari itu, saya mengajak para pembaca tulisan ini untuk rajin mengunjungi museum-museum bersejarah di Indonesia. Pemerintah sudah mengalokasikan banyak dana untuk perawatan. Karcisnya pun tidak lebih dari 10 ribu rupiah. Oh, iya, sebagai tambahan, museum di Indonesia punya hari libur, ya. Yaitu setiap hari Senin. Jadi berkunjunglah di hari selain itu.

Ingat kata-kata Bung Karno, "Jas Merah, Jangan sekali-kali melupakan sejarah."

Salam sayang,

Ajeng Leodita

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun