Bulan Juli 2023 lalu, saya mendapat tugas dari kantor untuk mengunjungi area Jawa Timur. Pulau Madura pun masuk dalam daftar kunjungan. Saya begitu bersemangat bisa sampai di pulau ini. Rasa lelah selama 1 minggu berpindah dari satu kota ke kota lain rasanya hilang saat mobil dinas yang membawa saya dan team melintas di Jembatan Nasional Suramadu. Jembatan megah yang menghubungkan Pulau Jawa dan Pulau Madura ini memiliki panjang 5.438 meter. Jembatan ini nampak mewah jika dilihat pada malam hari karena ada Art Lighting yang katanya mirip dengan tata cahaya gedung pencakar langit Empire State Building di Amerika Serikat.
Selain penghasil garam, apa lagi yang kita kenal dari Madura? Sate, soto, petis, terasi, karapan sapi, nasi bebek sinjay? Apa ada yang tahu bahwa di Madura ada salah satu obyek wisata sejarah yang sangat menarik untuk didatangi?
Yuk, saya ajak jalan-jalan, ya.
Sumenep adalah salah satu kabupaten di Pulau Madura. Sebutan lain untuk Sumenep adalah Kota Keris di Tanah Garam, mengingat Sumenep adalah penghasil keris terbesar di Indonesia.
Beberapa objek wisata yang ada di Sumenep, antara lain : Asta Tinggi (Makam raja-raja Sumenep), Kota Tua Kalianget (simbol kejayaan Madura sebagai salah satu penghasil garam terbesar di Indonesia), Pulau Gili Iyang (dikenal juga sebagai Pulau Awet Muda karena memiliki kadar oksigen tertinggi nomor 2 di dunia) dan Museum Kraton Sumenep.
Dengan alasan waktu yang sempit, saya memilih untuk datang ke Museum Sumenep yang hanya berjarak kurang lebih 1Km dari lokasi kunjungan kerja saya.
Museum Kraton Sumenep ini terletak di Jalan DR.Soetomo no.6. Kami tiba di lokasi kurang lebih pukul 2 siang. Pertama kali saya sempat bingung di mana loket masuknya. Karena ada bangunan lain yang kelihatannya jauh lebih besar dari museum itu sendiri dan lebih cepat menarik perhatian. Bangunan itu ternyata tempat menjual cinderamata khas Sumenep.
Loket berada di sisi kanan. Saat itu kami masuk berempat karena saya juga mengajak 3 orang teman kantor. Tarif yang dikenakan cukup murah, hanya 20.000. Jadi terhitung hanya 5.000/orang. Dan tarif itu diperuntukkan untuk kunjungan ke 2 lokasi yaitu, Museum Kraton dan Keraton Sumenep.
Kami ditemani tour guide yang saya lupa siapa namanya (maaf ya pak) usianya saya taksir sekitar 65-70 tahun. Sebut saja namanya Pak Ahmad, ya.
Pak Ahmad mengarahkan kami ke bangunan Museum Sumenep lebih dulu karena lokasinya bersisian dengan bagunan loket. Museum ini hanya ada 1 lantai. Ukurannya pun tidak terlalu besar.
Pemandangan pertama kami disuguhi sederet foto tokoh-tokoh yang pernah menjabat sebagai Bupati dan Sekretaris Daerah Sumenep, antara lain :
- Raden Adipati Aryo Samadikoen
- R.P Amidjoyo
- R.P Moch Ali P.Koesumo
- R. Moch Roeslan W.Koesumo
- R. Moch Roeslan Tjakraningrat
- Achjak Sosro Soegondo
- Drs. Abdoerrachman
- dll
(Mohon maaf jika ada kesalahan penulisan nama dan gelar, hanya menyadur tulisan yang menempel di foto para tokoh tersebut)
Replika Cellong Pajenangger
Alat transportasi laut ini pernah digunakan pada tahun 1912 oleh orang-orang suku Bugis untuk berlayar ke wilayah Sumenep. Ada hal unik juga lho, karena dalam sejarahnya orang-orang dari Bugis sering datang ke Sumenep, di Kecamatan Sapeken masyarakatnya mayoritas berbahasa Sulawesi (termasuk bahasa Bugis), yang menemukan wilayah Sapeken ini juga justru orang-orang Bugis. Unik, ya. :D
Kereta Kencana / Kereta Mellor (My Lord)
Sultan Pakunataningrat / Sultan Abd.Rachman adalah sosok pemimpin Kerajaan Sumenep periode ke-32. Â Beliau mendapatkan gelar doktor dari Ratu Inggris karena berhasil menerjemahkan bahasa sansekerta pada sebuah prasasti ke dalam bahasa Inggris dan diberi hadiah kereta melor (aslinya My Lord) yang saat itu diserahkan oleh Gubernur Raffles.
Namun, menurut beberapa sumber, kereta yang terpajang di museum itu bukanlah kereta asli, melainkan replika. Karena yang tersisa dari kereta melor itu hanya roda dan pirnya saja.Â
Namun, proses pembuatan replika itu pun tidak asal-asalan. Sekitar tahun 90an salah satu pejabat teras Sumenep bernama Haji Kurniadi meminta bantuan kepada pihak Keraton Yogyakarta. Akhirnya, dikirimlah 7 orang yang ahli dalam pembuatan kereta ke Sumenep untuk melakukan tirakat di Asta Tinggi, yaitu makam raja-raja Sumenep. Setelah 7 hari 7 malam bertirakat. Ketujuh ahli pembuat kereta itu mendapatkan petunjuk secara batin yaitu rupa kereta yang akan dibuat replikanya.
Pengadilan / Tempat Sidang Keraton Sumenep
Kala itu jika ada yang berbuat kejahatan maka akan diadili oleh raja. Ada 1 buah kursi untuk raja, 1 tempat berbentuk keranjang persegi panjang dari bahan rotan untuk meletakkan berkas-berkas, 2 buah kursi saksi, dan tempat duduk terdakwa yang bentuknya serupa piring besar. Saya nggak bisa membayangkan seramnya jika ada yang diadili saat itu.
Kursi Santai
Lambang Kerajaan Sumenep
Mahkota melambangkan kekuasaan.
Kuda terbang melambangkan Kuda Panule, kuda ini adalah kendaraan yang dipakai Joko Tole untuk berperang. Joko Tole merupakan salah satu raja Sumenep yang konon katanya hasil dari pernikahan bathin sehingga banyak yang tidak percaya. Oleh karena itu, saat Joko Tole lahir, ia dianggap sebagai anak dari hasil hubungan di luar nikah, lalu ia dibuang di hutan.Â
Sejak kecil Joko Thole sudah memiliki keahlian membuat perkakas tanpa alat bantu. Kemudian ia dimintai bantuan untuk membangun pintu raksasa Kerajaan Majapahit yang akhirnya membuatnya bisa menikah dengan Dewi Ratnadi (putri dari Patih Majapahit). Hal itu pula yang membawanya bisa kembali bertemu dengan R.A Potre Koneng, ibu kandungnya. Setelah itu Joko Thole dilatik menjadi Raja Sumenep. Â
Naga terbang melambangkan belati milik Bindhara Saut saat bertapa. Bindhara Saut adalah putera dari Kyai Abdullah. Kyai Abdullah sendiri merupakan putra dari Kyai Abdul Qidam atau Raden Pandiyan, putra dari Raden Rajasa (Pangeran Lor II) salah satu raja kerajaan Sumenep.
Bindhara Saut memiliki keistimewaan yaitu saat masih berada dalam kandungan ibunya (Nyai Nurima) ia bisa menjawab salam dari ayahnya. Bindhara Saut ini adalah kakek dari Sultan Pakunataningrat / Sultan Abd.Rachman yang menerima hadiah kereta melor yang saya jelaskan di atas.
Mawar melambangkan sebagai pemimpin haruslah memiliki sifat baik dan mulia terhadap rakyatnya. Indah dilihat dari jauh dan harum dari dekat.
Ranjang Panembahan Sumolo
Panembahan Sumolo (Pangeran Natakusuma I) adalah putra kedua Bindhara Saut dari istri pertamanya, Nyai Izzah. Beliau memiliki sifat yang alim yang diturunkan oleh keluarga besarnya yang merupakan trah kyai. Panembahan Sumolo mewakafkan tanah untuk kepentingan fakir miskin termasuk membangun sebuah masjid yang dinyatakan dalam wasiat khusus. Kemudian diberi nama Masjid Jamik Penembahan Somala. Beliau juga yang membangun Keraton Sumenep
Al Quran Raksasa
Al Quran ini ditulis pada tahun 2005 saat Sumenep menjadi tuan rumah MTQ - Jawa Timur. Memiliki panjang 4 meter, lebar 3 meter dengan berat 500kg. Penulisnya adalah Ibu Yanti warga Bluto, Sumenep.
------------------------- |||-----------------------------
Saya pribadi berharap adanya sedikit perbaikan dari pemerintah Sumenep untuk Museum Kraton ini. Saat ini kondisinya tidak bisa dikatakan sangat baik. Pencahayaan ruangan yang seadanya juga sedikit mengganggu. Suasana dalam museum menjadi terasa agak creepy. Ditambah lagi dengan promosi yang seharusnya lebih gencar sehingga pengunjung yang datang jauh lebih banyak. Museum adalah asset. Oleh karena itu sebaiknya terus dirawat sehingga siapapun yang berkunjung akan merasa terkesan.
Oh, ya, sekadar saran. Untuk yang ingin datang berkunjung jangan lupa nanti beri tips kepada tour guide-nya, ya. Karena tanpa mereka mungkin kita akan bingung jika hanya melihat benda-benda peninggalan Kerajaan Sumenep ini tanpa mengetahui sejarahnya yang ternyata cukup panjang.
Oke sampai di sini dulu ceritanya,
Terima kasih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H