"Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah" sebuah kalimat penutup yang diucapkan Koesno Sosrodihardjo atau yang kita kenal sebagai Bung Karno, Bapak Proklamator Republik Indonesia.Â
Ucapan itu muncul tepat saat perayaan hari ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia 57 tahun silam. Sedikit pesan yang mengandung banyak makna, pesan yang sepatutnya disampaikan terus pada anak dan cucu kita.
Hal itu pula yang menjadi trigger untuk Komunitas Traveler Kompasiana (Koteka) bekerja sama dengan Mba Ira Latief dari Wisata Kreatif Jakarta mengadakan "Walking Tour Napak Tilas Kemerdekaan" untuk trip Agustus ini dengan tujuan Museum Perumusan Naskah Proklamasi (Munasprok) dan Monumen Pancasila Jakarta.  Event ini juga bekerjasama dengan Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Disparekraf) Provinsi DKI Jakarta yang menyediakan semua suvenir untuk para peserta.Â
Tur ini diadakan dalam 2 pilihan. Virtual Live dan Walking Tour.
Berhubung saya hanya punya waktu libur di hari Sabtu, maka saya memilih untuk bergabung dengan walking tour. Kunjungan museum kali ini terasa sangat berbeda. karena para peserta diajak berjalan kaki kurang lebih 3 kilometer. Mulai dari pukul 09.00 hingga 12.00 WIB.
Mau tahu bagaimana keseruan kami hari ini? Let's check it out!
Jadi, begini ceritanya ....
Pukul 8.30 pagi saya berangkat dari kediaman di Bekasi menuju titik kumpul di Museum Perumusan Naskah Proklamasi (Munasprok) yang terletak di Jl. Imam Bonjol No.1, RT.9/RW.4, Kecamatan Menteng, Jakarta Pusat. Jarak tempuh kurang lebih 1 jam.
Sampai di lokasi, suasana belum terbilang ramai, karena berdasarkan informasi, peserta hampir mencapai 110 orang. Namun, walaupun belum banyak yang datang, tapi dress code bernuansa merah sudah menciptakan euforia meriah.Â
Kami diminta datang sebelum jam 09.00 karena diwajibkan untuk melakukan daftar ulang di depan pintu masuk.
Sebelum mulai tur, saya bertemu dulu dengan mba Ira Latief (sesuai permintaan beliau dalam pesan WhatsApp) karena untuk blogger mendapat souvenir tanpa syarat. Eaakk, itulah enaknya jadi blogger, yagesyaaa... :D
Dari sekian banyak peserta yang hadir, kami dibagi menjadi beberapa kelompok. FYI, tidak semua peserta yang hadir di sana adalah member Koteka.
Ada pula dari komunitas lain, anak sekolah, juga keluarga. Kebetulan karena saya datang sendiri, dan nggak tahu di mana member Koteka lain yang datang. Saya diarahkan oleh Mbak Ira untuk bergabung dengan kelompok 4 yang hampir seluruhnya adalah member dari komunitas Ayo Motret Jakarta (AMJ).
Tiap kelompok ditemani oleh 1 orang Tour Guide (TG). TG kelompok 4 hari ini adalah Mas Rizky.
Mas Rizky mengumpulkan kami di sudut kanan sebelah pintu masuk. Setalah menyapa dan sedikit melempar canda agar suasana menjadi hangat, saatnya beliau masuk ke ranah yang lebih serius, yaitu menjelaskan sejarah bangunan ini hingga kemudian menjadi Munasprok.
Gedung yang memiliki luas lahan 3.914 m2 ini telah mengalami beberapa kali perubahan fungsi. Pertama kali dibangun pada tahun 1910 oleh Belanda untuk dijadikan sebagai kantor asuransi pertama (PT. Asuransi Jiwasraya) di Indonesia yang saat itu masih bernama Hindia Belanda.Â
Arsiteknya bernama Johan Frederik Lodewijk Blankenberg. Kemudian bangunan ini diambil alih pihak Inggris sekitar tahun 1927 sebelum pecahnya Perang Pacific dan difungsikan sebagai rumah dinas Konsulat Kerajaan Inggris.
Namun, setelah Perang Pacific terjadi, Jepang menguasai Indonesia dan mengambil alih gedung ini yang kemudian dijadikan sebagai rumah kediaman Laksamana Tadashi Maeda.Â
Sekalipun Maeda adalah perwira tinggi Angkatan Laut Jepang, namun ia menaruh simpati pada rakyat Indonesia. Sehingga ia ingin membantu Indonesia untuk mempersiapkan kemerdekaannya.
Setelah penjelasan singkat di bagian depan museum, Mas Rizky mengajak kami memulai tur ke bagian dalam gedung. Ada beberapa ruang di dalamnya, yaitu:
Ruang Pertemuan (Onvangkamer)
Ada 4 sofa kursi tamu dan sebuah meja. Juga meja dan kursi kerja yang menghadap ke jendela. Ruangan ini dipakai oleh Maeda untuk menerima kedatangan Ahmad Subarjo, Soekarno dan Hatta pada 16 Agustus 1945 pukul 22.00 WIB.
Ketiga tokoh Indonesia ini meminta bantuan pada Maeda agar mereka diberikan tempat untuk mempersiapkan kemerdekaan Indonesia, dalam hal ini adalah merancang teks proklamasi yang niatnya akan mereka bacakan segera di depan seluruh rakyat Indonesia.
Namun, niat tulus tidak selalu mulus. Saat tiga tokoh Indonesia dan Maeda menemui Mayor Jenderal Nishimura Otoshi yang kala itu menjabat sebagai Direktur Urusan Umum Pemerintahan Militer Jepang, ada penolakan yang muncul.
Otoshi mengatakan bahwa Jepang tidak bisa membantu karena adanya kesepakatan dengan pihak Sekutu dan ia juga melarang rapat malam itu di rumah dinas Maeda dilanjutkan.Â
Maeda berusaha tetap berdiri dalam posisi tengah di antara kedua kubu. Beliau memutuskan untuk tidak lagi ikut campur atas keduanya. Ia memilih untuk meninggalkan tiga tokoh Indonesia ini dan masuk ke tempat istirahatnya.
Ruang Makan (Eetzaal)
Terdapat sebuah meja makan panjang dan 12 kursi berbahan kayu. Juga meja makan yang berukuran lebih kecil dengan 4 kursi dan 2 lemari kayu berukuran sedang.
Melihat Maeda masuk ke kamarnya (kurang lebih pukul 02.00 WIB, 17 Agustus 1945) ketiga tokoh ini bergegas ke ruang makan untuk mengadakan rapat perumusan naskah proklamasi.Â
Di malam itu, tak hanya tiga tokoh besar ini yang ada di dalam ruang makan ini, melainkan ada 3 pemuda Indonesia yakni: Sukarni, B.M Diah, dan Sudiro. Hanya saja mereka tidak dilibatkan dalam rapat. Ruangan ini menjadi saksi kali pertama Bung Karno merumuskan naskah yang beliau beri judul "Proklamasi"
Ruang Besar (Hal)
Terdapat sebuah meja makan panjang dan 12 kursi berbahan kayu, mirip dengan ruang makan. Ada pula puluhan foto golongan muda dan tua yang malam itu hadir dalam perumusan naskah proklamasi.
Di ruangan ini, tiga tokoh Indonesia itu sudah ditunggu oleh puluhan orang yang terdiri dari golongan muda dan golongan tua yang sudah tidak sabar menunggu hasil rapat. Banyak diskusi yang terjadi di sini. Salah satunya adalah siapa yang akan menandatangani naskah tersebut.
Mulanya, Bung Hatta ingin semua yang hadir di rumah Maeda itu menandatanganinya, namun atas saran dari beberapa pihak termasuk Sukarni dari golongan muda, diputuskan agar naskah proklamasi hanya ditandatangani oleh Bung Karno dan Bung Hatta sebagai perwakilan rakyat Indonesia.
Ruang Ketik Naskah
Terdapat sebuah piano di depan ruang ketik naskah. Di atas piano ini, Bung Karno menandatangani naskah proklamasi sebelum diketik oleh Sayuti Melik dan diubah beberapa kalimatnya berdasarkan kesepakatan bersama.
Setelah naskah asli ditandatangani, Bung Karno menyerahkannya pada Sayuti Melik. Bukan tanpa sebab mengapa Sayuti Melik yang dipilih untuk mengetik naskah tersebut, melainkan karena beliau mahir dalam dunia tulis menulis dan juga berprofesi sebagai jurnalis kala itu.
Namun, ada yang menggelitik di sini, yaitu keberadaan naskah asli tulisan tangan Bung Karno yang sempat dinyatakan hilang. Ternyata, kertas itu disimpan dengan baik oleh B.M Diah dan baru dikembalikan pada pemerintah era Soeharto pada 1993. Saat ini naskah tersebut ada di Museum Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI).
Banyak foto lain yang saya abadikan selama berada di sana selain ruangan-ruangan penting dalam proses perumusan naskah proklamasi ini.
Monggo check
Lepas dari ruangan-ruangan itu, seharusnya kami bisa menuju lantai 1, yang katanya kamar tidur dari Laksamana Meda.
Akan tetapi, sehubungan dengan adanya informasi bahwa ruangan tersebut masih diperbaiki, maka kami langsung dialihkan ke bunker yang posisinya ada di halaman belakang museum.
Berdasarkan informasi dari tour guide kami, dahulu, bunker tersebut hanya menyimpan dokumen-dokumen penting milik Laksamana Maeda.
Namun, dari sumber-sumber yang saya dapat dari internet, bunker tersebut dulunya punya jalan tembus menuju Istana Negara. Tapi, itu dulu. Banyak perubahan terjadi seiring berkembangnya zaman, kan?
Oh, ya, berhubung bunker ini dekat dengan lokasi parkir motor, jadi jangan khawatir jika kalian mau datang ke sini, tersedia space yang terbilang lumayan untuk memarkir 10-18 unit motor. Dan, free.
Selesai dari Museum Perumusan Naskah Proklamasi ini, kami pun bergerak menuju lokasi selanjutnya. Acara jalan kaki pun dimulai. :D (jangan lupa foto dulu)
Sekitar pukul 10.20, kami bergerak ke arah Taman Suropati dengan berjalan kaki, yaitu kurang lebih 3 menit atau kira-kira 190 meter dari Musaprok. Alhamdulillah, cuaca masih cukup mendukung. Dulu, saat saya SMA, sekitar tahun 2002, Taman Suropati yang dikenal dengan TamSur adalah kawasan tujuan pacaran.Â
Sepulang sekolah kami sering menghabiskan waktu di sana. Apa sebab?Â
Jajanannya melimpah. Yang saya masih selalu ingat adalah sate padang. Namun, jangan harap menemukan jajanan semacam itu sekarang. Sudah ada aturan dari pemda DKI untuk larang berjualan di sekitar Taman Suropati.Â
Anyways, jangan dikira TamSur tidak punya kisah Sejarah, lho. Awalnya, taman ini diberi nama Burgemeester Bisschopplein. Nama itu diberikan oleh pemerintah Belanda pada seorang walikota berkebangsaan Belanda juga bernama G.J Bisschop, karena ia mempelopori banyak pembangunan di Hindia Belanda.
Kami pun terus berjalan, sampai akhirnya tiba di jalan Surabaya. Area ini dulu terkenal menjual barang-barang antik. Tapi, setelah covid 3 tahun lalu, banyak pedagang yang gulung tikar. Banyak ruko yang terpaksa tutup. Sayang banget, ya.
Rumah Bung Hatta
Kami tidak lama-lama di jalan Surabaya, kemudian bergerak lagi ke arah Jalan Diponegoro No.57. Ada rumah yang menyimpan banyak kisah di sana. Rumah yang pernah tak sanggup membayar pajak negara.
Ya, rumah Bung Hatta. Salah satu perumus proklamasi kita bahkan merasakan juga sulitnya membayar pajak rumah. Namun, di tahun 2019, keluarga mendiang Bung Hatta mendapatkan pembebasan biaya Pajak Bumi dan Bangunan.
Bioskop Megaria
Lepas dari rumah mendiang Bung Hatta, kami bergerak lagi menuju bioskop lawas yang kini sudah berganti nama menjadi Metropole. Sebelum menjadi metropole namanya adalah Megaria.
Dibangun pada 11 Agustus 1949 sampai dengan 1951. Premier film pertama yang tayang di sana adalah Annie Get Your Gun. Berbeda dengan saat ini di mana premier film mendatangkan banyak artis. Di masa itu yang hadir adalah istri wakil presiden, yaitu Ibu Rahmi Rachim.
Monumen Proklamasi
Lepas dari berfoto di pelataran Metropole (dulu Megaria), kami pun berpindah ke tujuan akhir, yaitu Monumen Proklamasi.
Di lokasi ini terdapat 3 tugu. tugu petir, tugu peringatan ulang tahun proklamasi, dan tugu proklamator yang masing-masing memiliki makanya sendiri.
Sayangnya, kami nggak bisa foto dekat dengan monumen tokoh-tokoh itu. Dikarenakan ada keluarga beliau yang hari ini sedang berkunjung.Â
Jadi foto sedanya aja, ya.Â
Dan, akhirnya, saya pun sampai di akhir tulisan ini. Semoga teman-teman nggak bosan bacanya.
Ini totebag yang diberikan pihak Disparekraf sebagai suvenir untuk para peserta yang berpartisipasi dalam rangakaian tur ini.
Bergabung di Kompasiana sejak 2011 tidak pernah merasa rugi. Karena saya selalu mendapat kesempatan meng-upgrade diri. Event Koteka yang bekerja sama dengan Mbak Ira dari Wisata Kreatif Jakarta dan Disparekraf ini semakin menambah semangat saya untuk terus menulis dan memberikan informasi pada banyak orang melalu tulisan.
Terima kasih Kompasiana, terima kasih Koteka, terima kasih Wisata Kreatif dan Disparekraf. Juga terima kasih juga untuk teman-teman AMJ. Â Dan, saya pribadi sangat menunggu event-event serupa diadakan lagi.Â
Salam sayang,
Ajeng Leodita
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H