Mohon tunggu...
Ajeng Leodita Anggarani
Ajeng Leodita Anggarani Mohon Tunggu... Lainnya - Karyawan

Belajar untuk menulis. Menulis untuk belajar.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Waspada, Ada Toxic Teriak Toxic!

21 Juni 2023   16:56 Diperbarui: 21 Juni 2023   17:06 811
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.socialanagram.com/

Belakangan ini makin marak trend pembahasan tentang segala sesuatu yang menggunakan embel-embel Toxic. Baik itu lingkungan pertemanan toxic, lingkungan pekerjaan toxic, pasangan toxic, juga masih banyak lagi. Banyak teman-teman saya di media sosial membubuhkan kata toxic pada posted status yang mereka buat.

"Capek kerja begini, kantor toxic!" atau "Setelah 5 tahun, baru tahu ternyata dia toxic, tapi mau gimana lagi?" 

Dan sederet status-status lain yang mengungkapkan kekecewaan pada hal yang membuat mereka seakan kecewa dengan hidup namun tetap harus terbelenggu di dalamnya. Kemudian muncul sejumlah orang-orang yang langsung berpersepsi dan memberi cap tanda tedeng aling-aling "Kamu sedang berada di lingkungan yang toxic, tinggalin aja." Selesai.

Psikolog dari Universitas Indonesia Rose Mini Agoes Salim menyebut istilah toxic sebenarnya belum masuk sebagai istilah psikologi. Namun, ini menjadi populer karena kerap digunakan atau dilabelkan oleh orang awam atas hubungan tidak sehat yang mereka jalani. (sumber : https://www.cnnindonesia.com/)

Atmosfer toxic adalah sesuatu yang beracun atau memberikan dampak buruk terhadap seseorang, terutama terhadap fisik maupun emosional.

Banyak ciri yang menunjukkan bahwa kita sedang berada di tengah-tengah lingkungan toxic. Tapi apakah semua itu valid jika kita langsung berpendapat bahwa kita/mereka benar-benar ada dalam lingkungan toxic? Atau valid-kah jika kita sepakat dengan orang yang merasa dirinya tengah terjebak dalam lingkungan toxic padahal kita hanya tahu dari satu sisi saja?

Kebanyakan orang yang sedang berada di lingkungan toxic akan menceritakan keresahannya pada orang lain yang ia percaya. Tak sedikit pula dari mereka akan menggunakan media sosial sebagai bentuk demonstrasi terselubung karena tidak bisa menyampaikan langsung pada si pelaku. Mereka akan mengeluarkan "uneg-uneg" yang (menurutnya) jika dibiarkan mengendap maka output-nya akan cukup berbahaya. Mereka yakin dengan menceritakan isi hati maka beban akan sedikit berkurang.

Sebelumnya saya mau mengangkat beberapa kasus yang berhubungan dengan ciri toxic di lingkungan saya.

Saya tipe orang yang jarang berkumpul di jam istirahat kantor bersama rekan-rekan kerja yang mayoritas perempuan. Selama sebulan paling hanya 3-5 kali saya gabung bersama mereka. Rumornya, jika perempuan berkumpul isinya hanya gosip dan gosip saja. Tapi alasan saya agak malas berkumpul di jam istirahat karena saya lebih memilih menonton film streaming atau mendengarkan lagu di ruangan kerja.

Lalu, apakah fair jika mungkin benar mereka bergosip, lantas saya menyebut bahwa teman-teman kantor saya toxic? Tentu tidak. Tapi akan menjadi toxic jika apa yang mereka bicarakan akan memberikan dampak buruk bagi saya. Namun, sejauh saya bisa menahan diri untuk hanya jadi pendengar tanpa banyak berkomentar atau lebih memilih tak mau tahu sama sekali, pastinya tidak akan berdampak apapun.

Ada teman yang bekerja di sebuah perusahaan yang memberikan gaji di bawah ekspektasinya, sementara (katanya) pressure dari atasannya luar biasa. Teman saya itu mengumbar rasa tidak nyamannya itu kepada sesama rekan kerja ke media sosial. Setelah saya coba menganalisa sendiri, muncul pertanyaan, apakah yang dianggap pressure itu benar-benar tekanan yang membuatnya kewalahan karena quantity pekerjaanya? Atau karena memang kapasitas dirinya yang tidak memenuhi kriteria untuk bekerja di tempat itu? 

Jika memang sudah tidak ada kenyamanan, resign mungkin adalah jalan terbaik dari pada kita bekerja tapi penuh dengan sentuhan-sentuhan caci maki dalam hati yang malah menggiring opini orang yang tidak berkepentingan ikut menganggap lingkungan kerjamu toxic.

Ada beberapa orang yang tertekan karena pasangannya banyak menuntutnya untuk menjadi sosok yang berbeda. Berbeda seperti apa? Misalkan selama ini pasangannya menuntutnya untuk tidak jadi seseorang yang posesif, karena ia merasa sangat tertekan. Namun tanpa ia sadari (atau tidak peduli) pasangannya menjadi posesif karena ulah sebelumnya, ia pernah melakukan perselingkuhan dengan salah satu teman media sosial sehingga pasangannya menjadi kerap curiga. Lantas pasangannya minta untuk mengurangi aktivitas di media sosial. Lantas di mana letak toxic-nya? Tapi ini kalau ybs mungkin tidak mau menjelaskan secara detil alasan pasangannya memintanya berubah. Jangan cepat-cepat sepakat dengan asumsi bahwa pasangannya masuk dalam kategori toxic.

Seseorang memberi kritik tentang hal-hal yang mereka anggap sebagai suatu kesalahan, mereka sebutkan pula apa yang melatarbelakangi kritikannya. Lantas yang dikritik berusaha melakukan serangan balik dengan mengemukakan kritikannya juga, namun tidak memiliki alasan yang kuat. Lantas, apakah layak jika kita menganggap orang yang memberi kritikan adalah teman yang toxic?

Kemudian muncul pertanyaan :

  • Apakah kita/mereka, benar-benar sedang berada dalam lingkungan yang toxic?
  • Apakah mungkin justru kita/mereka yang toxic karena selalu menyalahkan lingkungan karena tidak sesuai dengan harapan?
  • Mungkinkah kita/mereka yang justru masuk dalam kategori  toxic person karena menggiring opini orang lain yang tidak tahu apa-apa agar sepakat dalam menganggap sesuatu itu toxic?

Ingat salah satu ciri toxic people, yaitu manipulatif. Sifat ini yang berujung pada playing victim. Orang yang playing victim percaya bahwa semua nasib buruk dalam hidup mereka disebabkan oleh orang lain.

Maka, lebih bijaklah dalam melempar dan menanggapi opini. Jangan sampai malah kita menggiring opini yang salah padahal itu hanya pendapat kita pribadi. Jangan pula sampai terjebak dalam persepsi sendiri atas keluhan hidup seseorang.  

Bisa jadi yang salah adalah pola pikir kita dalam menghadapi atau menangkap sesuatu, tapi yang dipersalahkan justru orang lain. Seperti ungkapan maling teriak maling, kan?

Salam sayang,

Ajeng Leodita

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun