Belakangan ini makin marak trend pembahasan tentang segala sesuatu yang menggunakan embel-embel Toxic. Baik itu lingkungan pertemanan toxic, lingkungan pekerjaan toxic, pasangan toxic, juga masih banyak lagi. Banyak teman-teman saya di media sosial membubuhkan kata toxic pada posted status yang mereka buat.
"Capek kerja begini, kantor toxic!"Â atau "Setelah 5 tahun, baru tahu ternyata dia toxic, tapi mau gimana lagi?"Â
Dan sederet status-status lain yang mengungkapkan kekecewaan pada hal yang membuat mereka seakan kecewa dengan hidup namun tetap harus terbelenggu di dalamnya. Kemudian muncul sejumlah orang-orang yang langsung berpersepsi dan memberi cap tanda tedeng aling-aling "Kamu sedang berada di lingkungan yang toxic, tinggalin aja." Selesai.
Psikolog dari Universitas Indonesia Rose Mini Agoes Salim menyebut istilah toxic sebenarnya belum masuk sebagai istilah psikologi. Namun, ini menjadi populer karena kerap digunakan atau dilabelkan oleh orang awam atas hubungan tidak sehat yang mereka jalani. (sumber : https://www.cnnindonesia.com/)
Atmosfer toxic adalah sesuatu yang beracun atau memberikan dampak buruk terhadap seseorang, terutama terhadap fisik maupun emosional.
Banyak ciri yang menunjukkan bahwa kita sedang berada di tengah-tengah lingkungan toxic. Tapi apakah semua itu valid jika kita langsung berpendapat bahwa kita/mereka benar-benar ada dalam lingkungan toxic? Atau valid-kah jika kita sepakat dengan orang yang merasa dirinya tengah terjebak dalam lingkungan toxic padahal kita hanya tahu dari satu sisi saja?
Kebanyakan orang yang sedang berada di lingkungan toxic akan menceritakan keresahannya pada orang lain yang ia percaya. Tak sedikit pula dari mereka akan menggunakan media sosial sebagai bentuk demonstrasi terselubung karena tidak bisa menyampaikan langsung pada si pelaku. Mereka akan mengeluarkan "uneg-uneg" yang (menurutnya) jika dibiarkan mengendap maka output-nya akan cukup berbahaya. Mereka yakin dengan menceritakan isi hati maka beban akan sedikit berkurang.
Sebelumnya saya mau mengangkat beberapa kasus yang berhubungan dengan ciri toxic di lingkungan saya.
Saya tipe orang yang jarang berkumpul di jam istirahat kantor bersama rekan-rekan kerja yang mayoritas perempuan. Selama sebulan paling hanya 3-5 kali saya gabung bersama mereka. Rumornya, jika perempuan berkumpul isinya hanya gosip dan gosip saja. Tapi alasan saya agak malas berkumpul di jam istirahat karena saya lebih memilih menonton film streaming atau mendengarkan lagu di ruangan kerja.
Lalu, apakah fair jika mungkin benar mereka bergosip, lantas saya menyebut bahwa teman-teman kantor saya toxic? Tentu tidak. Tapi akan menjadi toxic jika apa yang mereka bicarakan akan memberikan dampak buruk bagi saya. Namun, sejauh saya bisa menahan diri untuk hanya jadi pendengar tanpa banyak berkomentar atau lebih memilih tak mau tahu sama sekali, pastinya tidak akan berdampak apapun.