Libur panjang telah tiba. Wiyoko bersama anak dan istrinya akan menghabiskan liburan di rumah warisan mendiang mertuanya. Setelah kedua orang tua istrinya meninggal dunia, rumah itu dibiarkan kosong, hanya seorang tetangga yang diberdayakan untuk merawatnya.
Rumah itu lebih besar dari rumah pribadi mereka di Jakarta. Pekarangannya luas, ada pohon beringin di halaman samping yang akarnya sudah kemana-mana. Sesekali Gina bergidik melihatnya, teringat cerita-cerita horor khas anak sekolah tentang kuntilanak yang mendiami pohon besar dan akan tertawa kencang di tiap malam.
*
Suasana pedesaan memang terasa jauh lebih menenangkan, suara adzan Maghrib terdengar lebih syahdu dari pada di kota.
"Gina, sholat dulu, Nak?" ajak Wiyoko.
Remaja itu hanya menggeleng sambil terus menatap layar ponselnya.
"Sholat itu kewajiban, lho. Kamu sudah mau 17 tahun masa sholatnya masih bolong-bolong?"
Gina tetap cuek menanggapi titah Sang Ayah. Nuning yang melihat kondisi semacam ini berulang kali memberi kode pada suaminya untuk tidak terus memaksa.
*
Waktu menunjukkan setengah delapan malam, suasana sekitar sudah serupa kota mati, gelap dan sepi. Setelah makan malam, Nuning dan suaminya langsung masuk kamar, selain lelah, udara dingin membuat rasa kantuk makin tak tertahankan. Tinggallah Gina yang masih terjaga. Remaja itu tak bisa memejamkan mata karena suara jangkrik yang bersautan mengganggu indera pendengaran.