Mohon tunggu...
Ajeng Leodita Anggarani
Ajeng Leodita Anggarani Mohon Tunggu... Lainnya - Karyawan

Belajar untuk menulis. Menulis untuk belajar.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Dialog Rahasia

8 November 2022   13:17 Diperbarui: 8 November 2022   13:27 221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pertama kali aku berjumpa dengannya adalah saat mewawancarainya lima tahun yang lalu sebagai calon guru. Indri, penampilannya sederhana, manis, namun tatapannya kosong. Sebagai kepala sekolah, aku perlu tahu latar belakang calon guru-guru yang akan bersama denganku membuat perubahan di sekolah yang kini kupimpin.

Aku menunjuknya sebagai guru bimbingan dan konseling, sekalipun itu sangat berbeda dengan gelar yang tertera dalam ijazahnya. Hak prerogatifku benar-benar kumanfaatkan.

Hanya butuh waktu setengah jam, aku bisa mengorek semua cerita masa lalu gadis itu. Masa lalu kami hampir sama, terbuang dan disia-siakan.

Indri terlalu kecewa dengan hidupnya. Perlakuan kasar ayahnya membuat trauma berkepanjangan. Hal itu pula yang membuat Indri memilih meninggalkan kota kelahirannya, Surabaya.

*

Setelah diterima menjadi guru, aku dan Indri seringkali berbincang, hanya berdua. Kadang suamiku, Anton, merasa waktuku lebih banyak untuk Indri dari pada bersamanya. Aku tak sedikit pun merasa kesal dengan keluhannya. Sudah kusampaikan padanya bagaimana masa lalu Indri sehingga aku harus selalu ada untuk menguatkan. Kurasa suamiku hanya merasa kesepian. Sebelas tahun kami menikah tanpa ada suara tangisan bayi dalam rumah. Kami tidak memiliki masalah dengan kesuburan, tapi terus terang, aku yang belum menginginkan.

*

Sekolah yang kupimpin ini cukup terkenal. Bukan karena prestasinya, melainkan murid-murid yang berada di bawah pengawasan kami adalah anak-anak bermasalah. Orang tua mereka berani membayar mahal agar buah hatinya bisa tumbuh menjadi harapan keluarga.

Setiap Sabtu selalu ada sesi dialog rahasia, Indri yang kini kupercaya melakukannya. Selain karena dia adalah guru yang membidangi bimbingan dan konseling, juga karena kini Indri lebih percaya diri. Murid-murid diberi kesempatan untuk mengungkapkan isi hati mereka tanpa harus merasa takut Indri akan membeberkan rahasia.

Semua murid sangat antusias dengan rutinitas ini. Anak-anak yang sudah berhasil dibina, sebaiknya dipindahkan ke sekolah lain, itu saranku pada pihak orang tua, agar mereka tidak bercampur dengan anak-anak yang masih butuh bimbingan.

Tiap akhir sesi, Indri selalu memberikan laporan padaku, tentang apa saja yang anak-anak ceritakan. Ada yang sering dimaki di rumah, dibedakan dengan kakak atau adik mereka, hingga diperlakukan tidak senonoh oleh orang tuanya. Rasanya seperti bercermin pada kepahitan masa lalu, mengapa anak-anak itu harus mengalami hal yang dulu pernah juga terjadi padaku.

Satu tahun berjalan, banyak perubahan yang signifikan. Sekolah kembali menjadi sorotan. Banyak anak-anak didik yang ditemukan mati bunuh diri. Kami dianggap gagal membina mereka, sekolah yang kupimpin terancam ditutup paksa.

Pihak kepolisian memeriksa semua guru di sekolah ini, termasuk aku dan Indri. Beberapa minggu kemudian hasil investigasi diumumkan. Status kami semua tetap hanya sebagai saksi, tapi tidak dengan Indri. Gadis polos itu akhirnya dinyatakan bersalah karena terbukti kerap memberikan saran pada murid-murid yang merasa tidak mendapat kasih sayang orang tua agar lebih baik mengakhiri hidup mereka.

Aku tidak bisa memberikan pembelaan untuknya, sebuah rekaman di ponsel salah satu murid yang meninggal dunia adalah bukti konkrit ucapan demi ucapan Indri saat sesi dialog rahasia. Pintu sel penjara benar-benar terbuka lebar, hukuman 20 tahun harus dinikmati dengan besar hati.

*

Aku lupa kapan terakhir Indri mau menemuiku saat aku menjenguknya. hingga aku hanya mengetahui perkembangannya hari ke hari dari pihak penjara. Mereka bilang Indri sibuk meracau, mengatakan bahwa semua yang ia lakukan pada anak-anak itu adalah sebuah perintah. Tiap kali ditanya siapa yang memerintahkannya, Indri hanya bisa bungkam. Ia tak punya bukti apa pun yang bisa mengirimku untuk tinggal satu sel dengannya.

Aku, Candrawati, kepala sekolah yang meminta Indri memberikan saran-saran pada murid kami untuk bunuh diri. Niatku sederhana, aku hanya tak ingin anak-anak malang itu merasakan kepahitan seperti yang kami rasakan. Keluarga bukan tempat mereka, karena ada surga yang menunggu mereka pulang.

Jika ada yang ingin menjadi guru, jangan lupa segera hubungi aku. Aku kembali dipercaya memimpin sekolah baru, aku butuh orang-orang seperti Indri lagi, yang bisa membantuku mengirimkan anak-anak malang ke tempat yang lebih tenang.

-Selesai-

Bekasi,

08 Nov 2022

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun