Mohon tunggu...
Ajeng Leodita Anggarani
Ajeng Leodita Anggarani Mohon Tunggu... Lainnya - Karyawan

Belajar untuk menulis. Menulis untuk belajar.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Perempuan Dalam Kereta

20 Oktober 2022   09:01 Diperbarui: 4 November 2022   21:35 1305
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://id.aliexpress.com/

Tiga bulan belakangan, aku sudah memandangi wajah bermasker itu dalam diam. Ia selalu memilih duduk di gerbong paling akhir, kursi paling pojok dan sendirian. Di antara orang-orang yang sibuk dengan gadget saat berada di dalam kereta karena larangan berinteraksi dengan sesama penumpang pasca pandemi, ia justru tak terlihat menggenggamnya dan memilih melemparkan pikiran entah ke mana.

Aku tak tahu ia turun di stasiun mana. Yang aku tahu, matanya cantik, tatapannya teduh walau aku tak menemukan arti di dalamnya. Aku selalu turun lebih dulu, membiarkannya berlalu bersama suara peluit petugas yang menggerakan kembali roda kereta di jalur listriknya.

Sebagai seorang lelaki, aku memang payah, tak punya keberanian untuk mengajaknya berkenalan. Ada sesuatu yang mengganjal selain rasa malu. Trauma. Kejadian tiga tahun lalu membuatku sulit untuk kembali mencairkan suasana bila bertemu dengan wanita. 

Rasa kehilangan itu masih jelas terasa dan itu tidak sederhana. Karena itu pula kini aku memilih naik kereta dari pada menyetir sendiri. Untung saja aku tidak gila, walaupun aku sadar sikapku aneh sejak peristiwa itu. Aku lebih suka menyendiri.

Ini bulan ke empat aku menemukannya di gerbong yang sama, mulanya tanpa sengaja aku memilih gerbong paling akhir, namun setelah melihatnya, aku jadi terus-terusan memilih gerbong itu dan berusaha konsisten di jadwal kereta pukul 8 malam. Rasanya seperti membuat janji dengannya dan ia selalu berada di sana menunggu kedatanganku. Malam ini aku bertekad ingin tahu wanita itu turun di stasiun mana, kemudian menanyakan nama, mengajaknya minum kopi di caf terdekat atau hal-hal yang sekiranya bisa membuat akrab.

Kebetulan, rasanya semesta mendukung niatku. Biasanya gerbong terakhir sudah penuh penumpang dari stasiun sebelumnya, bahkan demi untuk bisa melihatnya, aku rela berdiri walau gerbong lain masih ada kursi untuk diduduki. Namun malam ini deretan bangku di depan wanita itu masih tersisa 3 yang kosong, aku memilih posisi yang langsung berhadapan dengannya, agar bisa melihatnya, pun sebaliknya.

Dua puluh lima menit perjalanan, ia masih belum juga menyadari keberadaanku. Ia memilih melihat ke jendela yang ada di belakangku. Aku terus menatapnya, mana tahu ada beberapa detik tadi yang terlewat sehingga aku tak tahu bahwa sebenarnya ia sudah menyadari aku dengan sengaja memperhatikan.

Stasiun tujuanku yang biasa sudah lewat, aku tak peduli ada yang akan meneleponku berkali-kali menanyakan keberadaanku yang pulang tak tepat waktu. Ah, tidak, siapa yang akan menelepon? Sudah lama aku sendirian.

Dua stasiun selanjutnya pun terlewat dengan sempurna. Para penumpang gerbong ini satu per satu sudah turun, tersisa hanya satu pria yang duduknya sejajar denganku. Masih ada satu stasiun lagi, dan itu adalah tujuan paling akhir kereta listrik ini dan itu artinya aku harus melancarkan aksiku sebentar lagi.

Seorang petugas berjalan pelan menuju arahku, aku tahu ia akan mengingatkanku bahwa sebentar lagi kereta ini akan sampai di stasiun terakhir. Memang sudah tugasnya selain mengingatkan tidak boleh ada interaksi antar penumpang di dalam sini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun