Baru kemarin ayah saya tetap merasa lemas luar biasa. Saya sudah menduga ada masalah (lagi) dengan kadar gulanya. Setelah mendatangi klinik terdekat dan melakukan pemeriksaan, ternyata gula darahnya naik menjadi 228 mg/dL, yang semula hanya 130 -- 150 mg/dl saja.
Kami sekeluarga cukup memantau makanan yang dikonsumsi ayah saya, karena beliau sudah beberapa kali keluar-masuk RS karena masalah gula darahnya yang selalu tinggi dan akhirnya mendapat diagnosa bahwa ayah saya mengidap Diabetes Melitus.
Walaupun demikian, Ayah tetap saya biarkan makan nasi putih, namun harus dengan takaran khusus. Ayah adalah tim pengabdi nasi. Ada statement-nya yang tidak berubah hingga kini, "lauk boleh apa saja, kerupuk dan garam pun jadi, asal harus ada nasi putih".
Saya sudah coba mensosialisasikan nasi merah sebagai pengganti, nahasnya ayah saya malah tidak mau makan sama sekali. Berujung lemas kemudian asam lambung. Padahal sejak menderita diabetes, ayah saya jauh lebih sering merasa lapar. Akhirnya saya berdamai dengan kemauan ayah saya, tapi harus sesuai aturan setelah konsultasi dengan dokter.
Namun, kejadian kemarin ini membuat saya bingung apa yang hilang dari pantauan saya?
Usut punya usut ternyata ayah saya mengkonsumsi bubur ayam selepas saya berangkat kerja. Beliau paham tidak ada "satpam" di rumah dan itu hampir setiap hari selama 1 minggu belakangan. Ayah saya mengira bubur ayam (yang menurutnya porsinya tidak lebih berat dari nasi) jauh lebih aman. Ternyata, TIDAK.
Setelah kembali konsultasi dengan dokter, akhirnya ayah saya mengerti kenapa bubur sama bahayanya dengan nasi untuk penderita diabetes melitus, jika dikonsumsi terlalu sering.
Apa sebab?
Sama halnya dengan nasi, bubur ayam pun asalnya dari beras. Bubur ayam memiliki indeks glikemik tinggi yang bisa menyebabkan gula darah melonjak secara cepat melebihi nasi. Juga karena bentuknya yang lebih cair sehingga semakin cepat dicerna dalam tubuh.Â