Gue nggak tahu kenapa hati gue pengen banget nulis di Blog ini. Blog impian gue, dimana gue banyak banget baca artikel-artikel yang memuat banyak hal penting yang ditulis sama mereka-mereka yang otaknya pinter. Untuk satu alasan sedehana. B-E-R-B-A-G-I.Â
Mereka itu ada yang anak kuliahan, guru, gurunya anak kuliahan, gurunya guru, polisi, menteri, sampe koruptor juga nulis di sini. Nah, gue? Gue pelayan resto doang, yang Cuma punya seragam hitam-hitam, pakai topi, bawa kertas sama pulpen buat nulis orderan tamu. Â Apa yang mau gue bagi? Uang tip? Dih, sorry, ya! Usaha!!! Kwkwkwk
Tapi, kalau kalian mau sedikit tahu rasanya jadi kayak gue, yang tiap hari kerjanya cuma ketemu piring, sendok, garpu, dari bersih sampe kotor bekas tamu makan, gue ucapkan terima kasih banyak, gaesss.
Saat ini gue kerja di salah satu restoran Manado di bilangan Menteng Jakarta Pusat. Tahu donk Menteng? Yang ada taman mentengnya (ya, iyalah). Di restoran tempat gue kerja ini rata-rata tamunya itu orang-orang kementerian, artis, asistennya artis, orang-orang dari perwakilan daerah-daerah di Indonesia yang dinas di Jakarta, yang LGBT juga ada, *eh.Â
Dan gue seneng banget bisa ketemu sama mereka. Gue jadi tahu keseharian mereka, cara makan, dan seroyal apa mereka sama yang namanya pelayan restoran (ini poin paling penting).
Beberapa poin yang akhirnya gue tahu adalah, sbb :
- Mayoritas orang Papua yang jadi tamu resto gue, 90% lebih pilih ikan mas, daripada ikan-ikan laut. Dan mereka suka makanan dengan citarasa asam,
- Orang Manado, makannya cepet dan banyak (kecuali dia lagi ikut DEBM)
- Yang berhijab selalu nanya dulu di pintu masuk, "Halal, kan?"
- Artis, makannya sedikit. Sisanya yang makan asistennya,
- Kalau yang datang grup, biasanya yang paling banyak omong itu yang bayar, tapi yang milihnya paling ribet dan mahal itu justru tim horenya,
- Kalo yang dateng dua cowok, manggilnya saling aku-kamu, duduknya kaki kanan di atas kaki kiri atau sebaliknya, ngelapin keringat ke salah satunya, ok.... Fix mereka gitu deh...
Rata-rata tamu yang reguler sudah punya "pegangan" waiter/waitress sendiri. Jadi mereka nggak bisa dilayani sama pelayan yang lain. Kecuali kalo yang dia mau lagi libur, nggak mungkin cuma gara-gara yang biasanya ngelayanin dia nggak ada terus dia nggak jadi makan.Â
Karena masing-masing dari kami punya tamu langganan sendiri, di situ kami benar-benar ngasih service terbaik. Gelas minumnya kosong, kita refill atau kita tawarkan menu minuman lain. Atau mungkin dia mau dessert.Â
Pokoknya sebisa mungkin kami kasih pelayanan paling memuaskan. Dengan harapan ada selembar atau dua lembar uang tip yang sampai di tangan. Harapannya kan begitu.Â
Tapi kadang ada juga sih yang waktu  pertama kali datang dia kasih uang tip, kedua kalinya datang kita service habis-habisan, berharap dia kasih lagi. Ternyata ZONK. Adaaaaaa,,, adaaaa banget. PHP yang paling nyakitin tuh itu, beb. Â
Tapi apa terus kami bisa milih tamu mana yang harus dilayani, mana yang nggak perlu, kan nggak gitu. Kami harus tetap senyum, tetap rajin mondar-mandir kalau mereka butuh bantuan. Jadi pelayan restoran itu kadang dianggap sepele.Â
Dimarahin kalau makanan lama. Dimaki-maki kalau pesanan nggak sesuai. Mereka kepedesan kita yang dipelototin. Salahin lidahnya, masakan Manado kan emang pedes. Sana ke tukang es dawet, nggak ada yang pedes.Â
Bisa dibayangin 8 jam kami ngurus 300 tamu dengan perilaku yang berbeda-beda? Banyak yang menyepelekan pekerjaan kami. Terutama orang Indo sendiri. Tamu mancanegara justru dari cara ngomongnya sangat menghargai kami. Nggak ada pasang tampang jutek, mrengut, apalagi ngomong kasar, sekalipun pesanannya ada yang salah.Â
Hellowww... untuk jadi Pelayan restoran, gue nggak sekolah di SMA biasa, gue Sekolah Perhotelan. Kalau dulu, di jaman gue sekolah, sekolah perhotelan itu lebih mahal. seragam kami bagus-bagus. study tour juga keluar negeri. Untuk apa?Â
Untuk tahu standard melayani secara internasional itu gimana. Kadang suka sedih kalau ilmu yang dulu gue pelajarin, menjadi terlihat nggak berguna karena gue berada di tempat yang salah.Â
Kami di sekolah perhotelan itu diajarin Sequence of service, lho. Serving makanan dari sebelah kanan bukan karena kami orang Indonesia aja tapi memang standar ilmu perhotelan begitu. Dahulukan tamu perempuan, dan tidak menimbulkan bunyi saat meletakkan alat makan di meja tamu. Itu kami pelajari di sekolah. Jadi pelayan resto itu bukan kaleng-kaleng, vroh. (tsahhhhh). Ya, biarpun ada yang lulusan SMA juga jadi pelayan, sih. Belagu kan gue? Emang! wkkwkwkkwkw
Dan sebenarnya itu yang mau gue terapkan di tempat kerja gue sekarang. Biarpun restoran ini standard nasional, tapi usahakan pelayanan internasional. jadi tamu-tamu itu ngerti kalau kita punya nilai lebih. begonooooo.Â
Ah udah dulu, jadi kebablasan, deh. kwkwkwkw
Banyak banget pokoknya keluh kesah, kesan yang mendalam selama 16 tahun gue jadi pelayan. Dan gue akan posting satu per satu pengalaman gue selama kerja di bidang ini. Tapi kalau laptopnya nggak rebutan sama anak gue. Hahahah.
Thank you, sudah mau baca. Kembali lagi ya di postingan selanjutnya. tataaaawwwwww
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H