*
Perayaan itu pun tiba. Vila kami yang letaknya di dekat pegunungan Hoverberget ini sudah dihias dengan ornamen khas ulang tahun. Beberapa makanan ringan dan seloyang pie apel kesukaan Eve sudah tertata di meja. Botol-botol minuman kaleng bersoda pun disusun membentuk piramida. Aku dan ibu memang sudah sampai lebih dulu, sementara ayah dimintanya untuk menjemput Eve ke asrama. Gaun biru yang kemarin dibeli sudah membentang di atas ranjang, kamar yang kerap kami tempati jika menginap di sini.
Pukul 6 sore ayah sampai di vila dan jelas Eve tak bersamanya. Wajah ibu yang semula sumringah seketika berubah.
"Di mana Eve, Ed? Di mana anakku?"
Ayah merangkul ibu yang mulai menangis, kemudian memapahnya ke ruang tengah. Jujur, aku tak berani mendekat. Ayah bergegas mengeluarkan laptop dari dalam tasnya, menyambungkan ke layer proyektor yang dulu sering kami pakai nonton bersama.
Kulihat ayah menarik napas panjang, yang diiringi dengan munculnya sebuah video. Video yang merekam acara pemakaman Eve 3 tahun lalu saat usianya 14 tahun. Eve tewas dalam sebuah kebakaran di salah satu bangunan asrama. Fakta pahit yang tak pernah bisa ibu terima.
"Ini tahun terakhir kita merayakan ulang tahunnya dengan cara ini, Liv. Eve sudah tak bersama kita. Ia sudah di surga."
Ya, selama 2 tahun aku dan ayah menahan tangis melihat ibu yang selalu menganggap Eve masih bersama kami. Selama 2 tahun selalu ada piring di meja yang disiapkan seakan Eve juga ikut makan malam, selama 2 tahun kami selalu mendatangi departemen store yang sama untuk membelikan gaun biru seakan Eve akan memakainya, selama 2 tahun kami meniupkan lilin untuk Eve.
Seiring dengan tangis ibu yang pecah, kutiupkan lilin terakhir untuk Eve berangka 17 yang menyala di atas pie apel, "Selamat ulang tahun, adikku sayang,"
Selesai
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H