Kerap dituju mereka yang kelelahan; rumah.
Mungkin selama ini, hal itulah yang tertanam dalam kepala adik saya. Karena tiap sosok yang pulang ke rumah untuk memeluknya pasti sedang berwajah masam dan berkeringat hebat. Lelah.
Karenanya, saya pun kerap bertanya-tanya. Apa sebenarnya arti dari rumah?
Apakah ia disebut 'rumah' karena ada keluarga yang menetap tinggal di dalamnya?
Atau keluarga menetap tinggal di dalamnya karena ia adalah 'rumah'?
Untuk catatan, rumah sering digambarkan dengan wujud bangunan. Ah, ralat sedikit. Tidak mesti bangunan. Namun bagian atap di atas kepala mereka tidak akan pernah dihilangkan. Mungkin, itu arti rumah. A roof over your head.Â
Namun sebagian dari diri saya menolak pernyataan tersebut. Sebuah ruangan dengan atap saja tak semestinya disebut dengan rumah. Saya pun memiringkan kepala saya, bingung. Lalu apa arti rumah?
Apakah yang mereka singgah di dalamnya? Sang orangtua, sang saudara, bahkan sang teman yang senantiasa memberi kabar. Apakah mereka yang disebut rumah? Seperempat dari diri saya mengangguk setuju. Mungkin, yang disebut rumah adalah mereka yang bersama kita.
Tapi seperempat dari diri saya yang lain masih tidak puas.Â
Ah, banyak mau!
Kalau menurutnya, rumah bukan bangunan, pun bukan orang yang tinggal. Rumah adalah memori dan perasaan. Segala yang membuat hatimu dipeluk hangat, dan membuatmu merasa dicinta. Perasaan hangat itu disebut; rumah.
Hangat kuah mie instan kesukaanmu. Wangi tubuh sahabatmu. Tenang, peluk orangtuamu. Usil, tingkah laku saudaramu. Pahit kopi ayahmu. Sejuk nasihat ibumu. Manis kenanganmu. Lembut bulu kucingmu. Merdu suara kesayanganmu. Asyik momen bersama temanmu.Â
Itu.
Semua itulah, yang dikemukakan
Yang digemakan
Sebagai 'rumah'