Suasana di Ruang Rapat
“Tono dan Tony di kelas XI IPS1 begitu bodoh. Setiap apa yang dijelaskan tidak ada satu pun yang membekas. Saat diskusi, keduanya benar-benar hanya penghangat tempat duduk. Bila ditanya ‘apa yang kalian pahami dari diskusi tadi?’, hanya bola mata saja yang bereaksi dalam kebingungan hampa. Saya sungguh-sungguh malas mengajar di kelasnya mereka,” gerutu kecut dari guru ekonomi.
“Setiap pembelajaran saya di kelas yang disentil tadi, suasananya kok berbeda. Kedua siswa yang disebutkan cukup aktif. Bila saya mengajukan pertanyaan, mereka bisa menjawabnya meskipun kadang melambat. Hal yang mirip ketika berdiskusi. Mereka cukup responsif dan menyampaikan perpektifnya dengan percaya diri. Meskipun ritme pembelajaran di kelas tersebut sedikit tertinggal dari kelas lainnya, namun saya terus berupaya agar melakukan pola pembelajaran seturut karakteristik mereka,” timpal guru seni dan budaya dengan anggun.
Perdebatan kedua guru tersebut ternyata menyeruak aneka cerita sisi buram dan terang atas kelas XI IPS1 dari guru lain yang mengajar di kelas tersebut. Di mana ada guru yang mengafirmasi pernyataan dari guru ekonomi dan ada pula yang menegasi pernyataan dari guru seni dan budaya. Dan itulah secuil kondisi yang kerap menghiasi ruang guru kami, SMAN 3 Poco Ranaka, setiap Sabtu dalam pekan. Waktu yang kami khususkan untuk merefleksikan aktivitas pembelajaran dan potret keseharian perkembangan belajar dari peserta didik.
Saya, selaku Kepala Sekolah, menilai adanya pro kontra saat rapat berlangsung sebagai dialektika akademik untuk mendapatkan titik simpul yang paling pas saat menilai kemampuan guru dalam mengatasi masalah pembelajaran dan mengelola konflik di kelas dan/atau antarteman sejawatnya. Oleh karena itu, dengan model deskripsi kualitatif, saya coba menelaah kedua masalah tersebut dalam bingkai satuan pendidikan kami.
Pertama: Guru Hendaklah Memiliki Resiliensi Tinggi
Kernyitan dahi, suara sedikit melengkling, dan muka memerah yang menghiasi guru kala menyampaikan refleksi di akhir pekan –sebagaimana dideskripiskan di atas– sungguh menggurati perasaan dan menggugat nalar untuk tidak menerima suasana yang dirasakan sebagai yang lumrah saja. Di sisi lain, tingginya rasa percaya diri saat mengajar, memiliki hubungan emosional yang baik dengan peserta didik, dan lahirnya aneka solusi dalam himpitan masalah pembelajaran adalah percikan harapan bahwa guru yang memiliki kompetensi pedagogik menjadi corong utama untuk mewujudkan pendidikan berkualitas.
Suasana yang berwajah ganda tersebut adalah polarisasi jamak terjadi di hampir semua satuan pendidikan di bumi pertiwi ini. Sebuah kondisi yang, satu sisi, sungguh menggembirakan karena ada hal baik yang perlu dipertahankan dan dioptimalkan, namun, di sisi lain, membutuhkan solusi terbaik agar hal yang mengecewakan segera diatasi. Kedua-duanya berujung pada jalan menuju Indonesia emas di 2045, yaitu tersedianya sumber daya manusia yang berkualitas tinggi.
Lalu, apa yang seharusnya guru miliki sebagai tanda dia adalah seorang guru yang memiliki kemampuan pedagogik dan profesional yang baik? Dari semua persyarat yang diinternalisasikan dan dikerjanyatakan oleh seorang guru, saya lebih mendukung adanya keharusan baginya untuk memiliki resiliensi.
Secara etimologis, kata resiliensi berakar kata Latin, resilire yang berarti memantul atau melompat kembali. Kata ini adalah paduan dari kata re yang berarti kembali dan salire yang berarti melompat. Term resiliensi sendiri kerap dipakai dalam ilmu fisika yang berarti elastisitas atau kekuatan untuk kembali ke bentuk semula setelah ditempa/ditekan. Ketika dihubungkan dengan profesi guru, maka ia didefenisikan (Payong, ed., 2024) sebagai kemampuan guru untuk bertahan, beradaptasi, dan tetap teguh dalam situasi yang sulit karena komitmen dan tanggung jawab yang dimilikinya.
Batasan ini menggarisbawahi apa yang sudah tampak dilakoni oleh guru seni dan budaya di atas. Hal tersebut dikarenakan ia dengan mudah menyesuaikan diri dengan perubahan dan memiliki kemampuan mengatasi kesulitan atau tantangan dalam proses pembelajaran. Selain itu, ia mampu mengelola emosi dengan baik dan membangun relasi yang menyenangkan dengan peserta didik. Efek domino lanjutannya adalah terbentuknya komunitas dan team work yang kuat dan akhirnya mampu menciptakan lingkungan belajar yang positif dan produktif.