Di setiap tikungan jalan, di semua jalan bercabang, di tempat-tempat nongkrong, dan di pohon-pohon selalu ada gambar wajah mereka. Indah memang. Namun terkadang menggelikan jika melihat wajah keseharian mereka.
Deretan kata-kata ini begitu mengganggu pikiranku saat mendengar celetukan dari sahabatku yang baru kujumpai sebelum Natal 2018 tiba. Ini pun hanya sebuah penggalan dari sebuah cerita panjang berjam-jam tentang riuhnya propaganda pemilu 2019 kala itu. Anehnya, irisan kata-kata ini seolah tidak pernah pudar dalam siklus lima tahunan pada ruang pesta demokrasi di negara kita ini. Termasuk tahun 2024 ini.
Nah, tulisan sederhana ini tidak menitikberatkan pada apa yang kelak terjadi pascapemilu 2024. Ia tak lebih sebagi sebuah “kedipan cahaya dari seekor kunang kecil” yang mengajak kita untuk melihat dan menyadari bahwa ada sesuatu yang lupa dilakukan para calon tersebut dan yang alpa kita perankan sebagai rakyat. Untuk itu, secara deskriptif, saya coba menguarai fenomena baliho yang menjamur beberapa bulan terakhir ini sembari memproklamirkan alternatif strategisnya.
Pesona Baliho
Wajah para calon legislatif begitu memesona. Sudut bibir mereka merekah senyuman begitu menggoda. Binaran matanya begitu tajam memana. Garis lipatan dahi hilang tanpa bekas. Flek hitam sebagai tanda tua bermetamorfosis putih kinclong. Wajah asli dipoles habis. Mereka betul-betul tampil bak artis layar kaca.
Jika pun ingin menambah kekontrasan warnanya, beberapa kata tertulis di sana. Mereka menyebutnya sebagai visi serentak misi. –Meskipun muatannya lebih pendek dari gelar akademis yang tidak sedikit orang meragukan kesungguhan kompetensi ilmunya.
Andai ditanya berapa biayanya, maka bukan jutaan yang jumlah digitnya hanya enam nol yang disebut. Tidak sedikit yang polos menjawab dengan iringan ringkihan tawa terpaksa, bawasan bisa tembus ratusan juta. Itu untuk level caleg kabupaten.
Sayangnya, semua yang mereka lakukan itu tak lebih dari kepulan asap dalam memori sasaran pemilihnya. Para pemilih justru menilainya secara ganda. Satu sisi mereka menyebutnya sebagai media propaganda modern, tetapi sisi lain lebih satiristis. Bahwa baliho-baliho itu menjadi teman pengusir rasa takut bila malam tiba, hiasan pinggiran jalan untuk membatasi jalarnya dahanan-dahanan kayu ke badan jalan, dan sebagainya.
Penilaian tersebut bukan tidak sampai ke telinga para calon. Jawaban yang ditimpalnya pun bukan kategori keliru. Sebab mereka mengulangi refrein yang sudah dihafal baik dan banyak di antara kita mengamininya, yaitu “semua caleg melakukannya”.
Namun adakah kita menyadari bahwa jawaban tersebut meninabobokan kita ke rasionalisasi moral sesat ini: sebuah kekeliruan yang dilakukan terus-menerus (oleh banyak orang) lama-lama akan menjadi kebiasaan dan dianggap benar? Sadarkah kita bahwa jawaban tersebut sebagai strategi para caleg untuk memperisai dirinya dari tuntutan masyarakat ‘apa idealisme sehingga ingin menjadi caleg’?
Pertanyaan-pertanyaan gugatan seperti di atas selayaknya terus dilayangkan dan didengungkan. Ini adalah jalan yang harus dilakukan oleh masyarakat (intelek) di tengah rendahnya daya kritis pemilih kita, di tengah miskonsepsi bahwa pemilu hanya untuk kalangan berduit, dan di tengah kubangan busuk bahwa suara pemilih bisa dibeli dengan rupiah.