Mohon tunggu...
Tobi J. Doseng
Tobi J. Doseng Mohon Tunggu... Guru - Biarlah gelas yang kuminum cukup setengah penuh.

Kehormatan terbesar dalam hidup saya adalah jika saya total mencintai diri, keluarga, sesama, dan profesiku. Untuk itu, segala yang bernada positif adalah tamu pertama yang kupersilakan memasuki pikiranku.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Refleksi adalah Nadi Kami

23 Februari 2023   20:11 Diperbarui: 23 Februari 2023   20:14 415
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Di ruang guru kami mengevaluasi dan berbagi apa yang sudah dilakukan dan menyusun tindakan untuk  langkah yang dipilih (Dokpri)

Awal Kisah

Kurikulum Sekolah Penggerak. Itulah nama pertama sebelum populer dikenal dengan Kurikulum Merdeka  di dua tahun terakhir ini. Mengetahui arah apalagi filosofisnya di awal-awal –semenjak sekolah kami dinyatakan sebagai Sekolah Penggerak (SP)–   ibarat mencari jarum di atas tumpukan jerami. Yah! Ada kekurangan referensi di satu sisi namun ada target yang harus mulai dilakukan di sisi yang lain.

Pengetahuan yang diperoleh selama sepuluh hari dengan sistem  LMS (Learning Management System) bersama narasumber dari Kemdikbudristek, lalu dilanjutkkan dengan IHT (In House Training) di tingkat satuan pendidikan; ternyata belum memberikan rasa nyaman untuk kepala sekolah dan para guru.

Namun demikian, perubahan kurikulum 2013 (K13) ke Kurikulum Merdeka (KM) sudah final. Dan SP dipercayakan sebagai katalisator pertama untuk KM itu. Dengan demikian, tantangan yang dihadapinya bukan saja soal kurikulum tetapi juga masalah ekosistem sekolah, guru, pedagogik, dan sistem penilaian.

Ingin membahas semuanya, namun ruang ini tak cukup. Untuk itu, dengan metode narasi deskriptif, saya coba mengelaborasi kelimanya dengan komponen guru sebagai pusat perhatian utama. Pilihan ini diambil pun dipicu oleh tiga pernyataan dari Ki Hajar Dewantara, yaitu (a) “Sekolah adalah taman”, (b) “Biarkan siswa berkembang sesuai dengan kodratnya”, dan (c) “Siswa adalah tuan, guru adalah tamu”.

Jadi, tiga statemen tersebut saya gunakan sebagai teropong untuk melihat dan  mengevaluasi kondisi penerapan KM di sekolah. Selain untuk menghidupkan terus pertanyaan reflektif ini: “Sudahkan saya menjalankan peran sebagai guru?”.

Dua Sisi yang Berbeda

Pembelajaran di kelas X atau fase E dalam terminologi KM dimulai. Ada keriuhan yang mewarnai untuk empat ruang kelas. Guru-guru pun tampak berdiri depan kelas dengan gagah dan penuh ceria. Sedikit banyak buku yang dibawanya. Tak mengagetkan. –Karena materi yang akan diajarkannya baru sebuah racikan berdasarkan terjemahan dari capaian pembelajaran.

Peserta didik pun terlihat senang. Mereka menjawab dengan suara bertenaga saat gurunya menyapa selamat pagi. Tak hanya itu. Tangan yang diangkat sehabis guru mengajukan pertanyaan stimulus begitu banyak. Bila gurunya memberikan kesempatan untuk menjawab, mereka mulai membahasakan pikirannya dengan bahasa Indonesia ala kadarnya. Tidak baku. Kadang juga dicampur dengan Bahasa Manggarai. Guru membiarkannya begitu santun sembari mengucapkan kalimat ‘kamu bisa!’.

Saya sumringah menikmatinya. Betapa tidak, karekater dari pernyataan Bapak Pendidikan tersebut di atas mulai mewarnai suasana kelas. Tambahan lagi, semuanya hampir berjalan seturut skenario saat IHT. Sungguh, awal tahun pelajaran program SP begitu asyik saya menikamti “bulan madunya”.

Apa yang kualami dan kulakukan ini adalah hasil catatan di luar ruang kelas. Bukan saat saya duduk seperti peserta didik melototi guru yang lagi mengajar di dalam kelas. Metode yang mungkin guru sendiri tidak tahu bahwa saya sedang mensupervisi kelas mereka. Jadi, saya hanya memaksimalkan semua indra yang saya miliki. Kemudian, bila saya kembali ke ruang kerjaku, saya mencatat semua apa yang telah saya rasakan.

  • Yang Tertinggal

Waktu terus berjalan. Peran saya sebagai supervisior saya efektifkan. Monitoring dari luar ruang kelas rutin dilakukan. Pilihan untuk memasuki kelas tertentu dalam durasi empat puluh lima sampai dengan sembilan puluh menit juga dilaksanakan. Semua apa yang dilihat dan yang dirasakan sepanjang kegiatan, dicatat rapi dalam leptopku. 

Bila malam tiba, kubaca kembali semua yang dicatat itu. Ada rasa gembira namun juga ada rasa jengkel. Gembira karena beberapa guru menjalankan pembelajaran dibawah spirit MK begitu konsisten. Jengkel karena perbandingan antara yang mengajar dengan spirit KM tidak seimbang jika dibandingkan dengan yang konvesional.

Apa indikator sampai saya menyebutnya masih konvesional? Arus K13 rupa-rupanya masih begitu kuat menghempas para guru untuk terus berada dalam pusarannya. Tuduhan ini meski terkesan melempar tanggung jawab tetapi hal yang tidak bisa dinafikan adalah K13 telah memosisikan guru sebagai pelaksana kurikulm bukan pemilik atau pembuat kurikulum. Tidak saja itu, ia yang memosisikan guru sebagai satu-satunya sumber pengetahuan bukan sebagai fasilitator dari berbagai sumber pengetahuan.   

Asumsi ini tampak jelas dari kondisi kelas yang dimasuki oleh guru yang berada pada kategori konvesional berikut ini. Pertama, suasana kelas yang kaku dan guru-sentris. Anak-anak diposisikan satu arah. Pandangan mereka terpusat pada satu titik, yaitu meja guru. Mereka begitu kikuk kala guru memasuki kelasnya. Hal ini diperparah oleh senyum keceriaan yang seharusnya diberikan oleh “tamu” untuk “tuan rumah" tidak begitu tampak.

Di titik lain, guru terus berbicara. Sesekali ia menulis di papan. Pertanyaan singkat selalu dilemparnya, “Bisa mengerti?”, setelah ia memberikan penjelasan. Sangat jarang pertanyaan muncul dari siswa. Bahkan beberapa siswa membuka mulut lebar-lebar disertai setitik air mata. Mereka mengantuk. Saat lonceng dibunyikan tanda berakhirnya les, guru pun meninggalkan kelas tanpa kesimpulan apalagi refleksi.

Kedua, materi pembelajaran tidak kontekstual. Ada kegembiraan saat guru begitu bagus memaparkan materi ajarnya. Konten yang disampaikan pun tuntas untuk semua materi yang dia dapat dari buku pegangannya. Ia begitu patuh dengan rancangan pembelajaran yang dimilikinya.

Tetapi itu menyimpan soal. Tanda diam dari peserta didik tidak dibaca oleh guru sebagai sinyal akan sulitnya materi palajaran yang didapatnya. Bahwa apa yang diberikan oleh gurunya masih terlalu jauh dari pengalaman hariannya. Bahwa tidak semua peserta didik memiliki daya tangkap yang sama. Singkatnya, kemasan materi yang disampaiakn guru belum memperhatikan potensi dan karakter dari anak didiknya.

Sayang, semua situasi tersebut belum disadari oleh guru (konvesional) sebagai kondisi tertinggal.

Ambil Tindakan: Refleksi!

Membiarkan situasi yang dikategorikan tertinggal sebagaimana digambarkan di atas,  sama halnya mengucapkan salam perpisahan untuk K13 tetapi serentak tetap memeluk erat karakternya. Oleh karena itu, agar paradigma K13 bergeser cepat ke paradigam KM maka refleksi adalah jalan taktis yang kami ambil. 

  • Kapan, Apa, dan di Mana Harus Dilakukan?

Di akhir IHT pada Juli 2021, ada satu butir komitmen yang lantang diucapkan oleh kepala sekolah dan para guru SMAN 3 Poco Ranaka (smantipora), yaitu pembelajaran berkualitas adalah tujuan. Komitmen tersebut sebagai kristalisasi dari penjabaran konsep pembelajaran berorientasi pada peserta didik. Hanya soal: apakah anggota komunitas smantipora sudah mewujudkannya?

Pertanyaan inilah yang mengundang kami untuk menjadikan ruang guru di setiap Jumat dalam pekan sebagai tempat untuk memaknai kembali kegiatan pembelajaran hari-hari sebelumnya. Kami saling bercerita dan mendengarkan. Kami berefleksi. Saya selaku kepala sekolah berlaku sebagai fasilitator.

Mula-mula catatan awal tentang perjalanan KM selama sepekan datang dari saya. Setelah itu, kepada para guru diajukan pertanyaan ini: “Bagaimana perjalanan KM di kelas? Apa suka duka yang dialami? Apa solusi yang sudah diambil? Praktik baik apa pernah dilakukan?”.  

Kami menceritakan semuanya dengan lugas. Aneka perasaan tercurah. Ada penyesalan bahkan putus asa. Namun ada tawa dan tepukan tangan saat sesuatu yang tidak terduga terjadi dalam kelas yang dinilai guru tertentu menjengkelkan.

Kepada guru yang dengan semangat menceritakan metode sederhana dalam pembelajarannya namun berkesan dan membuat siswa terlibat penuh; kami memberikan apresiasi tinggi. Darinya, kami memetik poin penting yaitu keterbatasan jangan menghilangkan inovasi. Itulah praktik baik.

Tempat dilakukan refleksi tersebut tidak saja di dalam ruang guru. Di bawah pohon yang tumbuh di halaman sekolah, di depan pintu kantin, dan di luar kantor sekolah adalah pilihan kedua kami. Kami memanfaatkannya dalam waktu tidak tentu. Situasinya pun kami kemas agar jauh dari rasa formal. 

  • Hasil yang Didapat

Ruang refleksi yang reguler dan tak reguler tersebut menghantar kami secara bertahap untuk mengetahui bahwa kami sudah sampai pada level mana. Ia yang membangkitkan kesadaran kami, bahwa sekolah sebagai kegiatan yang menyenangkan bukan hanya tugas. Ia pulalah yang selalu menggoyangkan kami bahwa guru adalah pemilik kurikulum dan fasilitator. Bukan hanya pelaksana kurikulum dan satu-satunya sumber pengetahuan yang pembelajarannya taat asas dan pentingkan ketuntasan konten.

Refleksi membongkar kebiasaan lama kami bahwa duduk atau berdiri pada satu titik sambil berceramah sangat tidak efektif untuk mengetahui daya tangkap peserta didik. Berkatnya, kami sadar bahwa hanya dengan relasi yang baik, tahu kondisi, dan adanya rasa empati kepada peserta didik membangkitkan gairah belajarnya.   

Peserta didik semakin percaya diri untuk terlibat penuh dalam pembelajaran (Dokpri)
Peserta didik semakin percaya diri untuk terlibat penuh dalam pembelajaran (Dokpri)
Refleksi membawa kami untuk mengetahui kelemahan dan peluang dari kegiatan yang telah dilaksanakan. Sharing praktik baik dan curhat kesulitan (pedagogik) di antara kami, menjadikan kami tahu: mana hal-hal yang perlu dibenah, mana yang perlu dipertahankan, dan mana yang perlu ditingkatkan.  Proses ini pun membentuk kami bahwa setiap titik tantangan yang dihadapi ada nilai yang bisa dipetik.

Refleksi membantu kami agar orientasi pembelajaran bukan hanya pengetahuan dan kegiatan akademik. Tetapi harus membangkitkan semua potensi pada anak dan pengembangan karakternya. Untuk itu, rancangan pembelajaran yang kami berikan harus dekat dengan pengalaman harian mereka, media pembelajaran yang digunakan tidak selalu mewah, dan ritme pembelajaran disesuaikan dengan daya tangkap mereka.

Refleksi benar-benar tempat di mana kami harus berbenah. Tempat untuk melihat kembali apa yang sudah dilakukan serentak menyusun langkah taktis untuk kegiatan berikutnya. Refleksi benar-benar menjadi ruang pemaknaan semua proses yang kami lalui, titik untuk mengevaluasi atas pencapaian, momentum untuk pengembangan diri dan komunitas kami.

 

Akhirnya…

Kurikulum merdeka membawa kepak keleluasan bagi sekolah untuk membangun komunitasnya dalam ruang keselerasan pendidikan di rumah dan keluarga. Ia menghendaki guru menjadi pemilik dan pembuat kurikulum. Ia tidak memosisikan guru sebagai satu-satunya sumber pengetahuan. Baginya, guru adalah fasilitator dari berbagai sumber pengatahuan.

Dalam menggapai itu semua, kerja individual bukan jalan yang tepat. Berbangga karena diklaim usaha orang tertentu saja tak patut dirayakan.  Tetapi team work. Semangat kolaborasi. Spiritualitas komunitas. Paradigma ini nadinya ada dalam refleksi.

Refleksi adalah tempat untuk melihat apa yang telah dibuat. Ruang untuk untuk menilai berhasil atau tidak dari sebuah aksi. Ia adalah waktu untuk saling belajar antarkami. Waktu untuk saling mendengarkan setiap pengalaman susah senang selama menjalankan kurikulum merdeka. Refleksi adalah nadi kami.**

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun