Siang itu cukup terik. Langit kota Larantuka tidak bersahabat dengan penghuninya. Saat itu tahun 2018 hari dan tanggalnya saya sudah lupa, saya bersama dengan istri saya, Esterlina Naitonis ke Kota Larantuka untuk sebuah urusan. Saat itu saya masih bertugas di SMPN Satu Atap Riangpuho Kecamatan Tanjung Bunga.
Setelah menemani istri belanja di Pasar Baru Larantuka kami berdua pulang dengan menunggangi kuda tunggangan si Revo. Banyak hal yang diceritakan sepanjang perjalanan kami berdua. Terkadang tertawa, senyum dan harus mengerutkan dahi oleh karena suam aspal akibat sengatan sang terik.
Tiba di Desa Lamawalang tepatnya di bawah pohon Reo samping Lapangan Bola Kaki kami bertemu dengan saudara Maksimus Masan Kian teman seperjuangan di Agupena Flotim yang saat itu melakukan perjalanan pulang dari Kecamatan Demong Pagong. Kurang lebih sepuluh menit kami bercerita, bersenda gurau bersama-sama. Tiba-tiba ada telepon masuk yakni Saudari Meri Sukun. Dibalik suara itu saya mendengar ada isak tangis kecil katanya, No...kamu di mana sekarang? Kami di Lamawalang jawabku. Ada apa? Jantung saya mulai berdetak tak karuan. Pasti ada terjadi sesuatu dengan orang rumah, gumamku dalam hati sedangkan Meri belum menyampaikan informasi tersebut. Saya sedikit mendesak. Dan Meri pun menyampaikan katanya; No..Bapa Anton jatuh dari pohon. Mendengar itu badan saya langsung lemas. Pikiran kacau seketika. Saya pun langsung menyampaikan kepada istri dan saudara Maksi akan informasi tersebut dan langsung berpamitan untuk pulang. Dalam perjalanan pulang pikiran saya sudah menerawang jauh akan musibah yang terjadi pada bapa ini. saya menyampaikan kepada istri untuk berdoa dan langsung menyampaikan kepada istri saya bahwa Bapak tidak akan meninggal. Saya yakin itu. istri saya hanya diam.
Kecepatan lari si Revo saya atur dengan baik tanpa harus gegabah. tiba di Lewo hati saya berkecamuk. Riuh pikiran hadir namun nurani saya tetap mengatakan Bapak pasti merasakan sakit namun tidak meninggal.
Setelah memarkir si Revo tepatnya di bawah rerumpunan Petung saya bersama dengan istri menuju rumah. Langkah kaki saya percepat dan saya melihat banyak orang sudah berkumpul di rumah. Saya dan istri langsung masuk rumah dan menuju kamarnya.
Melihat saya dan istri, Bapak langsung menangis. Saya langsung memeluk Bapa dan disitu sudah ada Oa Ela Ruron anak dari Ba Sipa Ruron, se Wale Ruron, istri dari aka Frans Keboja Ruron, se Tin Koten, istri dari Bapak Lamber Boli Ruron, Ade Belia, Ota, oa Ela Tapo Sukun sitri dari Bapak Pajo Ruron bersama dengan keluarga lainnya sementara membersihkan luka dan mengobati luka.
Bapak jatuh dari Pohon Bao saat itu bersama dengan beberapa keluarga untuk memotong petung yang akan dibawakan untuk memperbaiki rumah kecil yang ada di Welo. Ia jatuh saat memotong petung yang tergelantung akibat berhimpitan di dahan Beringin.
Ia terjun bebas ke tanah persis di gundukan dedaunan. dan Tuhan masih merawat umurnya. Betapa tidak, persis disamping Bapak tergeletak, ada kayu sangat runcing. Saya yakin Tuhan masih mencintainya dan kami semua sebagai anak, cucu dan keluarga besar kami.
Badannya sakit namun bapak tetap bertahan. Sesekali ia menangis tak kuasa menahan sakitnya. Mama begitu setia merawat dan menemaninya.
Saat itu beberapa orang menyarankan kepada saya untuk bawa bapak ke rumah sakit untuk diperiksa lebih lanjut. Namun setelah bertanya pad bapak terkait letak sakitnya saya memutuskan untuk tidak bawah ke rumah sakit dan mengutamakan tukang urut untuk mengurut bapak. Darah mengalir di lututnya, pinggangnya tergores dan merintih sakit akibat benturan serta tulang rusuknya.
Selain urut saya juga membeli obat cina untuk luka dalam. Setelah semua kondisinya mulai membaik,mama menyampaikan kepada saya untuk membawa bapak ke salah satu pendoa di Larantuka. Dengan oto Galaxi yang dikemudikan oleh Saudara Lukas Melur kami semua ikut. Saya bersama istri, Anak Iren, Karol, Linda, Anjas dan Yoman.
Ada beberapa hal yang terjadi pada diri Bapak yang menurut kami janggal. Terutama luka di bagian bekas operasi saat itu. kulit bekas operasi tersebut seperti kembali mengangah. Tiba di rumah pendoa tepatnya dijalan bagian bawah kelurahan Weri. Setelah mengamati Bapak, pendoa tersebut menyampaikan kepada kami semua terkait musibah yang dialami oleh Bapak. Bahwa sesungguhnya ada kecemburuan sosial terjadi.
Pendoa tersebut langsung memandikan bapak di laut. Bapak sampai menggigil. Sebelum pulang pendoa tersebut memberikan resep obat untuk dikosumsi Bapak terkait luka yang diderita dan menyampaikan bahwa luka didekat bekas operasi ini kalau sakitnya buatan maka akan sembuh dengan sendirinya namun luka ini akibat benturan maka besok luka itu masih ada.
Kami pulang kurang lebih jam 19.00 Wita. Tiba di rumah bapak langsung istirahat. Malam itu bapak tidur nyenyak dan pulas. Keesokan harinya luka dekat bekas operasi tersebut sudah tidak kelihatan lagi.
Kurang lebih dua kali kami bertemu dengan pendoa tersebut. Namanya saya sudah lupa. Ia bekerja sebagai perawat di unit gawat darurat RSU. Hendrikus Fernandez Larantuka dan berasal dari Adonara Kecamatan Ile Boleng.
(Tobias Ruron)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H