Masa terus menggulirkan dirinya. Dari hari ke minggu, minggu ke bulan, bulan ke tahun. Episode kehidupan pun terus dilalui. riang, murung,kesal,sedih,damai, suka cita tetap mewarnai akan eksistensi dalam mengarungi samudera raya kehidupan ini.
Pada pojok malam sepih ini, ku ingin menggoreskan dawat kasih untuk orang terkasih dialah " Anton Ruron" Ayah kekasih jiwaku". Walaupun tidak semua benih kasihnya kuukir dalam notes mini ini namun kehadiran barisan kata-kata ini setidaknya sebagai kenangan yang bermakna sekaligus bahan reflektif dikemudian hari dalam mengarungi bahtera keluarga. Dan juga sebagai tanda terima kasih atas syukur oleh darahnya bahwa sesungguhnya Ia adalah pencetus raga dan penerang jalan kehidupan yang telah dilalui ini.
Ia seorang petani tulen. Namanya Antonius Ato Ruron. Anak ke tiga dari delapan bersaudara dari Ayah Alm. Penana Ruron dan Mama Alm. Belia Hewen. Lahir enam puluh lima tahun yang lalu dan biasa disapa dengan nama yang cukup singkat yakni"Ato".
Lima saudaranya yang lain sudah mendahului menghadap sang khalik dan meninggalkan tiga orang bersaudara diantaranya Antonius Ato Ruron, Yakobus Sawa Ruron menikah dengan pemudi dari Tapulangu Kecamatan Nagawutun Kabupaten Lembata dan Lusia Bunga Ruron menikah dengan seorang pemuda dari Desa Wailolong Kecamatan Ile Mandiri, Suban Daton namanya.
Antonius Ato Ruron bersama saudara saudarinya tumbuh dalam keluarga yang cukup terhimpit secara ekonomi. Ayah mereka seorang petani dan pengiris tuak. Namanya Penana Ruron (Alm) dan memiliki ibu penyayang lagi penyabar Belia Hewen (Alm).
Himpitan ekonomi inilah membuat Antonius bersaudara tidak bisa sekolah sampai di jenjang yang lebih tinggi. Rata-rata mereka tamat SD dan Drop Out (DO) di SD.
Memahami kondisi dalam keluarga, Antonius Ato pun memutuskan untuk tidak melanjutkan sekolah di tingkat SD dan memilih bekerja membantu orang tua. Ia bersama dengan Ayahnya Penana bekerja di kebun saat ia berumur kurang lebih 10 tahun. Umur yang amat belia untuk kerja yang boleh dikatakan cukup berat. Namun ia tetap bekerja dan setia mendampingi ayahnya Penana Ruron ke kebun.
Pergi pagi pulang sore begitulah rutinitas hariannya. Lelah, letih, suka cita mewarnai jalan hidup. Namun ia tak peduli. Yang ada dipikirannya hanya bagaimana bekerja membantu orang tua agar asap didapur tetap mengepul serta tidak kelaparan.
Hidup terasa sulit saat itu. Untuk makan minum harian Ato bersaudara harus mencari makanan di hutan seperti daun Khue, Buah Balam (Weo), kacang hutan dan lainnya. Terkadang mereka tidak makan untuk beberapa hari karena persediaan makanan habis hanya minum tuak manis (Marak).
Terkadang Belia Hewen sang ibunya menangis melihat Ato pulang dari kebun. Menangis karena melihat semangat kerja dari Anton Ato dalam bekerja.
Keterbatasan serta kondisi ekonomi dalam keluarga membuat Antonius bersaudara menjadi materi ocehan dari orang-orang yang dianggap mampu secara ekonomi.
Suara sumbangpun selalu dilayangkan baik secara langsung maupun tidak langsung dan mentasbihkan kecongkakan dengan menakar pada situasi ataupun kondisi yang terjadi. Harga diri orang lemah secara ekonomi begitu murah meriah sehingga label miring selalu hinggap di ranting ranggas hidup. Kata mereka, miskin tak punya apa-apa, rumah saja lihat dari depan tembus belakang dan begitu banyak darasan kata-kata cercaan yang hinggap.
Segala cercaan maupun suara minor ditujukan kepada keluarga, Antonius Ato bersaudara menanggapi dengan santai. Setiap hinaan dijadikan motivasi dan penyemangat untuk tetap bekerja. Prinsipnya "Keria kia baru teka. Sele dene ewu tite". Kerja dulu baru nikmati. Banyak sedikit yang penting hasil keringat sendiri.
Tahun 1983 Anton Ato mengambil keputusan untuk merantau mengaduh nasib di malaysia tepatnya di Kuari,Tawau dan bekerja sebagai penjaga mesin giling batu dan operator mesin penembak batu.
Di tanah rantau ini pula ia bertemu sang pujaan hatinya dan meminang seorang pemudi"Maria Nini Ruron"anak dari Alm. Fransiskus Nuho Ruron dan Alm. Monika Muko Sukun dan dikarunia tiga orang anak, diantaranya Tobias T. Ruron, Theresia B. Ruron dan Faleria B. Ruron. Tobias Ruron dan Theresia B. Ruron lahir di Rumah sakit Tawau malaysia dan si bungsu Faleria B. Ruron lahir di klinik Waibalun.
Sebagai pencari ringgit tentu apa pun pekerjaan entah sukar sekalipun Anton Ato berani mencoba. Modalnya hanya "berani mencoba". Karena dilihat dari pendidikan formal apalagi berkaitan dengan mesin sebelumnya ia sama sekali tidak dalami.
Kerja keras, rasa ingin tahu yang tinggi serta berani mencoba Anton Ato pun bisa menguasai dan mengoperasikan mesin pemecah batu/penembak batu dalam skala besar.
Bekerja sebagai karyawan, operator mesin penggiling /penembak batu resikonya besar. Karena kita dihadapkan dengan mesin serta kabel-kabel bermuatan listrik. Taruhanya nyawa, Beber Ato Ruron. Maka dalam bekerja ia selalu mengandalkan Tuhan dan Lewotanah. Karena bekerja sebagai karyawan atau operator mesin kesalahan sedikitpun nyawa bisa melayang. Baik dilakukan secara sengaja ataupun tidak sengaja. Dengan demikian kita harus "Toi ata dike di mae meha"/berbuat baik dengan siapa saja, Ungkapnya. Kalau tidak maka bukan Tuhan yang mengambil nyawa kita melainkan teman sendiri yang menggelapkan nyawa kita. Karena yang kerja di situ bukan saudara kandung ataupun keluarga saja melainkan dari beberapa suku yang ada di Indonesia dan Filipina. Jadi bisa saja teman menjadi racun yang mematikan, Tandasnya lagi.
Anton Ato bekerja di penggilingan/penembak batu kurang lebih lima belas tahun. Majikannya bernama John yang biasa di sapa dengan nama" Toke John". Kerja keras serta disiplin yang ia jalani, Ato Ruron menjadi anak kepercayaan sang majikan. Ia sering diperlakukan istimewa oleh majikan diantara teman-temannya yang lain. Perlakukan istimewa yang diberikan lantas tak membuat Anton Ato tinggi hati. Ia menyampaikan ketidaksukaanya pada sang majikan. Katanya,
Kalau toke, sayang nyawa saya maka tolong jaga saya dengan tidak mengistimewakan saya diantara teman-teman saya. Saya tidak suka. Kalau tidak, maka saya keluar dari tempat ini, Ungkap Ato Ruron.
Kenapa Anton? Tanya sang majikannya kembali. Begini, semakin toke perlakukan istimewa pada saya maka toke sendiri menghasut serta menghadirkan duri antar kami sesama pekerja di tempat ini. Karena sifat iri hati pasti ada di antara teman-teman. Apalagi kerja ini taruhan nyawa. Saya belum mau mati, Anak saya masih kecil, Ungkap Ato.
Sang majikan memahami maksud Anton Ato. Beberapa tahun kemudian ia memutuskan untuk pulang kampung bersama istri anaknya. Majikannya enggan melepaskan Anton Ato namun ia tetap pulang kampung. Sampai di kampung pun majikan selalu meminta kembali untuk tetap bekerja ditempatnya via surat atau titip pesan orang- orang kampung. Namun Anton Ato tidak mau dan hanya titip pesan bahwa "netak kajut goe maja kae jadi melarat pas kae" Kebun telah panggil saya. Untuk merantau sudah cukup, Katanya.
Dalam bekerja ia selalu menganut prinsip Ata rae ra'e, tite tite. Eka rae mari tite. Milik orang tetap menjadi milik orang,milik kita tetap menjadi milik kita. Janganlah mengklaim milik orang menjadi milik kita. pee nala nedi nae bele/ dosa besar yang tetap melekat. hal ini juga ia sampaikan pada kami anak-anaknya. walaupun hidup susah jangan sesekali mencuri atau mengambil barang orang lain.
Kata-kata ini layaknya kata sakti yang selalu disampaikan dari dulu sampai detik ini. Baik saat kami dalam asuhannya sampai dengan saat ini kami anak anak sudah berkeluarga. Kata-kata ini selalu disampaikan saat di meja makan ataupun berkumpul bersama-sama.
Untuk memotivasi kami sebagai anak dalam mengarungi bahtera kehidupan terutama sekolah Bapak selalu mengingatkan " Anak kita ini orang susah. Kalau sekolah,sekolah yang benar. Uang ada atau tidak ada itu urusan kamu. Tugas kamu sekolah dan untuk uang sekolah dan kebutuhan lainnya itu menjadi tanggung jawab kami sebagai orang tua. Tugas kamu "sekolah". Saya tidak mau kamu juga bodoh seperti Bapa. Sekolah itu penting buat kamu. Juara itu orang punya namun semangat kamu untuk sekolah itu yang bapa butuhkan, Ungkap Anto Ruron".
Ia begitu keras terutama bila mendapatkan kami tidak sekolah. Walaupun sakit ia tetap memaksa kami untuk ke sekolah. Kalau tidak sekolah maka siap-siap kena hukum. Hukum rotan, hukum tidak makan dan tidak boleh tidur di rumah itu wajib dijalani oleh saya dan adik-adik.
Teringat tahun 1999 saat itu di SMPS St.Isidorus Lewotala bersama dengan teman-teman isap rokok dan ketahuan. Ada beberapa jenis rokok kala itu populer diantaranya Rokok AB(Ado Bijang) MR, Bentoel Biru. Mendengar informasi tersebut Anton Ato marah dan menghukum saya dengan membakar sebatang rokok lalu membakar mulut saya.
Kata Bapak, kamu beli rokok ini pakai uang saya. Mau isap rokok kecuali kamu sudah bisa menghasilkan uang sendiri. Saya dihadapkan dua pilihan. Pilih Rokok atau sekolah. Memilih rokok berarti tidak sekolah siap kerja kebun. Dengan nada yang cukup gemetar oleh karena rasa takut dan saya memilih sekolah. Dan mulai saat itu sampai dengan kuliah semester sepuluh saya tidak merokok. Kalau sekarang?...hheeaa...
Anton Ato tipe pekerja keras. Apa saja yang bisa ia kerja, ia tetap lakukan terutama berkaitan dengan tugas pokoknya sebagai petani. Hal ini dapat dilihat dari kebun yang digarapnya. kurang lebih sepuluh kebun yang kini digarap dan semuanya telah ditanam tanaman produksi. mulai dari kelapa, menteh, kemiri, coklat, kopi,pisang dan lainnya. dilihat dari rasio perbandingan antara lahan garapan dengan bebam kerja, amat tidak ideal. Karena satu orang harus rawat sepuluh kebun. Namun Anton Ato menyatakan bahwa saya sudah rasakan bagaimana hidup susah. Dan saya tidak mau anak istri saya meninggal atau susah hanya karena kita tidak bekerja. maka iapun tetap semangat untuk menanam apa saja selagi ada ruang untuk bisa ditanam.
Untuk menanamkan jiwa semangat dalam bekerja pada kami anak-anaknya, ia selalu membawa kami kala itu untuk selalu ke kebun kecuali ada kegiatan/les sore di sekolah. Mulai dari membersihkan rumput,tanam menteh,petik sayur dan lainnya. Walaupun saya anak laki-laki tunggal Bapak tidak menganakemaskan saya dalam keluarga. Semua diperlakukan sama bahkan selalu mendapat hukuman bila semua yang ditentukannya tidak dikerjakan oleh ade-ade saya.
Masih teringat dengan jelas saat di SDN Lamatou setiap ke sekolah saya dan adik adik membawa barang jualan untuk dijual. katanya sebagai uang jajan. saya tidak beri kamu uang jajan di sekolah, kamu cari sendiri tetapi dengan catatan hasil jualan tersebut selain jajan juga di simpan dalam celeng, Kata Bapa Anton.
Celeng saat itu terbuat dari bambu. semua uang diceleng nanti diperiksa oleh bapak sendiri. Siapa yang jumlah isi celengannya lebih banyak maka diberi bonus. Saya menjual gula batu dan gula Union harganya kala itu 1 gula Union harganya Rp. 25 sen dan adik adik menjual pisang goreng dan jambu bangkok yang di tanam di pekarangan rumah. Sampai detik ini juga jambu bangkok masih ada namun buahnya tidak selebat dan sebesar dahulu.
Untuk aktivitas di rumah kami dibuat roster mingguan dan wajib hukumnya untuk dijalani. Mulai memberi babi makan, cuci piring, sapu halaman, ambil air,masak nasi dan lainnya di bawah pengawasan bapak sendiri. Setiap sore saat pulang dari kebun yang pertama-tama ia perhatikan adalah roster kerja. kalau ada yang tidak beres/ada yang tidak kerja maka siap mendapat panggilan dan ceramah kurang lebih satu jam bahkan disiksa tidak makan malam saat itu.
Memiliki rambut ikal,telinga berlubang, wajah yang cukup serius serta memiliki suara yang cukup keras membuat beberapa teman-teman enggan untuk bertemu atau sekedar basa basi dengannya. Walaupun begitu hatinya baik. Masih teringat di tahun 2008 bapak menjenguk saya di Kupang tepatnya di Kelurahan Oepura,beberapa teman kampus datang ke kos. Melihat bapak seorang teman bertanya dengan berbisik pada saya. Obi, (sapaan saat kuliah) lu pu bapa ni mantan preman ko? kenapa teman? Saya balik bertanya. Tidak soalnya saya ada lihat lu pu bapa pu telinga ada lubang na...hhee..saya hanya senyum sebentar dan memberikan penjelasan bahwa lubang telinga itu tradisi kami orang Flores Timur terkhusus Kecamatan Lewolema bahwa setiap anak laki-laki dulu telinga wajib berlubang dengan tujuan memberi tanda. Telinga lubang itu bukan preman. Walaupun tampangnya begitu, bapak saya orang baik-baik ko, Jelasku...hheaaaa
Walaupun tidak mengenyam pendidikan formal dan berbahasa Indonesia yang terkadang blasteran Indonesia dan daerah, Ia sering diandalkan keluarga untuk menjadi juru bicara berkaitan dengan urusan adat diantaranya baik adat nikah , orang meninggal ataupun adat lainnya, walau tidak ada bukti fisik berupa sertifikat/piagam penghargaan untuk juru bicara adat terbaik atau sejenisnya yang diberikan.Heaaaaaa
Menjadi juru bicara berkaitan dengan adat nikah di beberapa daerah pernah dilakoninya, baik di daratan Flores Timur, Adonara, Solor, Sikka, Lembata dan Kefamenanu. Loyalitas Bapak Anton Ato dalam urusan adat ataupun urusan yang berkaitan dengan Lewotanah tidak diragukan. Ada tiga nilai kehidupan yang sering Bapak dengungkan agar kehidupan/morit itu tetap baik diantaranya:
1.Gelekat Lewo
2.Gelekat atadike/saling membantu
3. Keria dore rara, eka seko beko/jujur
Selain itu Bapak Anton Ato juga dikenal sebagai pemburuh hutan yang hebat. Mulai dari memanah, memanjat pohon dan memasang jerat. Bersama dengan adik kandungnya Yakobus S. Ruron mereka berdua selalu diandalkan untuk memanjat pohon apabila binatang buruan seperti kera berada di atas pohon yang cukup tinggi. Menurut pengakuan beberapa orang "Tite hewa noo Ato pe tite di klea siu. Suri pe nae preta tite lau rae pe tite uluwuk hena. Apalagi umaluta pe dahe. tite dore di klea siu. Wewa ra nae pe hama keteke gero p../ Kita kalau berburuh bersama Ato itu, kita juga cepat. Apalagi binatang buruan sudah didekat mata. kita ikut juga cepat. Suara dia punya itu seperti tokek tu. Namun seiring usia tak lagi mudah, aktivitas berburuh ini perlahan ditinggalkan.
Ada cerita lucu namun membutuhkan nyali yang kuat dilakukan oleh Anton Ato diantaranya suatu ketika ia bersama dengan dua rekannya berburuh di hutan namun tidak mendapat apa-apa. Dalam perjalanan pulang mereka bertemu dengan pemburuh lain dari Desa tetangga sedang membakar dan memasak hasil buruan itu di pondok mereka. Tanpa basa basi Anton Ato mendekat dengan nada yang perlahan-lahan meninggi dan membentak pemburuh dari desa tetangga tersebut yang jumlahnya kurang lebih sepuluh orang. Katanya, Kera yang kamu tangkap dan dagingnya sementara masak ini milik orang Lamatou. Kamu tadi berburuh masuk dalam kami punya wilayah. Kamu curi kami punya binatang hutan. Jadi hasil buruan dan daging yang sementara kamu masak ini beri kami. Kami dari Lamatou. tanpa meminta persetujuan yang bersangkutan Anton Ato mengambil periuk yang sementara masak daging tersebut dan membawa pergi. Pemburuh dari desa tetangga tersebut hanya bergumam kecil dan daging yang ada di periuk sudah di bawah Anton Ato.
Cerita yang samapun ini pun dilakukan oleh Adik kandung Anton Ato yakni Yakobus S. Ruron. Kala itu Kobus Sawa nama panggilannya bersama sang istri dari Lamatou ke Welo. Dalam perjalanan Kobus Sawa bersama istri bertemu dengan pemburuh hutan dari Desa tetangga sambil beristirahat di tengah jalan. Hasil buruan kurang lebih lima ekor monyet mereka gantung di atas pohon. Merasa terganggu karena melihat beberapa orang duduk di tengah jalan yang dilaluinya, Yakobus Sawa marah. Katanya, kamu tidak tahu diri. sudah berburuh di kami punya wilayah duduk juga sembarang. Kera itu milik kami orang Lamatou. Jadi mau atau tidak, suka atau tidak kera itu saya bawa satu. Tanpa menunggu jawaban Kobus Sawa langsung mengambil satu ekor kera dan membawa pergi.
Memiliki karakter keras namun Bapak Anton Ato tipe orang penyabar. Setiap prahara yang terjadi baik dalam keluarga maupun yang terjadi pada dirinya ia tetap sabar. Nilai nilai kejujuran, kerja keras, menghormati yang lebih tua, tegur sapa selalu ia sampaikan. Khusus untuk tegur sapa Bapa Ato sering berkata "Kita boleh miskin namun tak boleh miskin dalam menyapa orang, Ungkapnya. Jadi setiap ketemu orang harus sapa. Tegasnya.
Pernah dalam satu kesempatan, saat itu masih di SDN Lamatou kelas Empat saya salah menegur pada opu saya yang saat itu baru ketemu ketika liburan di Dusun Welo. Saya memanggilnya dengan "Mama" (panggilan untuk om). Lewat beberapa minggu baru ketahuan dan opu tersebut menyampaikan pada Bapa akan sapaan yang disematkan padanya. Mendengar penyampaian tersebut bapak pun menjelaskan dan menguraikan satu persatu nama orang setiap suku dengan sapaanya masing-masing sampai larut.
Begitu banyak kasih dan petuah yang telah Bapak sematkan pada kami anak-anaknya terutama tentang menjalani roda kehidupan ini. Satu hal yang selalu disampaikan bahwa" Anak, kita ini orang susah!". Jadi jangan buat hidup ini tambah susah karena ulah kita. Buatlah baik semua orang walaupun ada begitu banyak yang tidak suka akan diri kita. Janganlah membalas kejahatan dengan kejahatan. Diam dan kerja itu yang terbaik.
Bapak, Terima kasih banyak atas cintamu. Sekeras apapun seorang Bapak, Bapak memiliki cinta yang dalam pada kami anaknya. Bapak kamu kompas sejati untuk kami anak-anakmu. Kami mencintaimu dengan tulus hati. Mohon maaf kami belum membahagiakan kamu seutuhnya.
(Tobias Ruron)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H