Kebun?. Tentu ada. Terutama anak-anak petani termasuk saya.. hhehehae.
Musim liburan, setiap orang tentu memiliki agenda tersendiri untuk mengisi liburan tersebut. Ada yang ke pantai, ke kota, ke luar Negeri dan lainnya. KeTanggal (2/6/2019) dalam hitungan libur Lebaran. Kami sekeluarga ke kebun diantaranya Esterlina Naitonis (Istri), Iren Ruron (si sulung, 10 tahun, ), Karol Ruron (3 Tahun). Kamipun bergegas ke kebun. Hitung-hitung bertamasya di kebun. hheeaa.Â
Perjalanannyapun menyenangkan. Udara petang begitu lebay menyapa membuat rimbunan hati untuk tetap melangkah diapiti nyiur yang tak lelah melambaikan tangannya disetiap perjalanan.Â
Alam yang begitu mesrah memaduhkan cintanya pada bongkahan-bongkahan tanah, menawarkan humus pada setiap jengkalan petani ,memberi tunas lalu menegakan cita dalam rimbunan asa akan nafas kehidupan.
Kebun merupakan rumah kediaman dewi padi/ Nogo Gunu,Ema Hingi. Di kebun inilah darah perawan sang dewi padi/Nogo Gunu, Ema Hingi dicurahkan. Potongan-potongan tubuhnya pun menjadi tumbuhan produktif, seperti padi, jagung, jagung solor, jewawut dan lainnya yang menjadi paru-paru kehidupan manusia dan memberikan asupan gizi hidup demi sebuah kehidupan yang hakiki. Asupan-asupan inilah memberikan marwah bagi anak-anak petani sekaligus menanak impian untuk merajut kehidupannya.
Jarak dari rumah ke kebun kurang lebih satu kilo meter. Waktu tempuh orang dewasa kurang lebih 10 menit. Namun petang ini langkah kaki harus disesuaikan dengan si kecil Karol. Maklum si Karol umurnya menyambut tiga tahun di tanggal 1 juli 2019. Namun semangatnya menaklukan lelah juga tak mudah karang oleh lekak-lekuk tubuh tanah serta bebatuan yang ramai berkumpul di jejalan tiap tapak itu tak lekas membuat Iren dan Karol cengeng. Keduanya antusias amat.
Nubahala. Kebun yang menjadi tujuan dalam langkahan sang kaki. Tepatnya berbatasan langsung dengan desa tetangga yakni Riangkemie. Kebun dengan sejuta kenangan. Kebun di mana memberikan sinyal-sinyal Rupiah yang dikais oleh kedua orang tua saya Anton Ato Ruron dan Maria Nini Ruron. Dan tempat ini pula kurang lebih empat  puluh pohon kelapa yang di tanam oleh saya di tahun dua ribu lima sebelum memutuskan untuk kuliah di tahun dua ribu enam.
Mungkin momen yang tepat untuk bisa menyampaikan pada istri saya, Ester Naitonis. Tentunya ia tidak tahu saat tangan ini berlumuran dengan lelumpuran untuk menidurkan buah kelapa sebagai bibit kehidupan saat itu serta kedua anak saya yang kini sedang tumbuh. Bukan memamerkan namun setidaknya kenangan itu bisa dikenang dan boleh membangkitkan gairah pada kedua anak saya untuk tetap mencintai alam dengan segala isinya. Dan mau menegaskan bahwa dari kebunl inilah saya boleh memungut ilmu di Perguruan Tinggi.
Bukankah hidup perlu diwariskan? Menabur bibit semangat tentu tidak hanya dentingan-dentingan suara yang terkadang fals di dengar  namun nyata di pandang. Itu lebih berarti sehingga kita tidak lagi menjadi donatur kebohongan pada anak cucu kelak.
Kebun Nubahala luasnya kurang lebih empat ribu meter persegi. Di dalam kebun inilah padi, jagung, kelapa, pepaya, ubi-ubian dan pisang tumbuh dan hidup berdampingan, terkadang saling berhimpitan oleh karena berbagai tanaman hidup berada dalam taman kecil ini. Namun butir-butir cinta telah disematkan pada kehidupan ini. Larutannya begitu seksi sehingga membentuk warna kehidupan walau terkadang suram menyelimuti.
Nampak Iren dan Karol begitu bahagia berada di kebun. kebahagian yang tentunya tidak bisa dilukiskan dengan kalkulasi angkah. Ada keriangan nampak yang merupakan manifestasi dari kebahagiaan itu sendiri. Begitu polos disematkan. Mungkin di kebun, cinta itu tumbuh tanpa manipulatif atau sekedar bualan semata namun lahir dari hati yang tulus.Â
Tetaplah mencintai kebun, Nak. Jangan pernah melupakannya. Walaupun kemarau panjang sering menyerang hingga bulir-bulir padi tak berdaya hingga kelapapun enggan memberikan dagingnya. Janganlah mengeluh. Keluhlah dirimu, mungkin kamu tidak memperhatikan asupan gizinya,ataukah pura-pura lupa membersihkan dirinya. Nasihatku pada putra putri saya yang sedang menikmati buah pepaya masak.
Iren, Karol kalau masuk kebun harus memberi salam pada pisang, padi dan jagung e, Ucapku. Karol tak peduli. Ia begitu asik menikmati pepaya masak. Maklum ia belum paham. Iren menarik nafas dalam sebentar. Raut wajahnya heran.Tak berapa lama ia bertanya, Bapa, masa kita harus beri salam pada pohon-pohon. Nanti kita dibilang gila lagi. Karena omong-omong dengan pohon. Ester, istriku hanya senyum-senyum kecil. Kerutan dahi di Iren mulai nampak. Mungkin ia sedang berpikir.
Tiga menit saya mendiamkan diri tanpa kata dan membiarkan ia larut dalam pikirannya. sayapun menyampaikan padanya bahwa padi jagung,pisang,kelapa,ubi-ubian, Â juga makluk hidup. sama seperti kita manusia.Â
Bedanya padi jagung, pisang, kelapa tidak bisa bicara namun mereka memiliki kepekaan tersendiri yang kita tidak tahu. ini cara kita menghargai dan berterima kasih. Kita harus bersyukur karena dari padi, jagung, pisang, kelapa, ubi kita bisa bertahan hidup. dari padi, jagung, ubi, pisang, kelapa kita bisa tersenyum, bisa sekolah. Iren diam sejenak dan menganggukan kepalanya. Iya to ema, tanya iren pada mamanya.
Sang surya perlahan-lahan menenggelamkan dirinya di ufuk barat. Kami pun menyiapkan barang bawaan dan bergegas pulang ke rumah.
Kebun menjadi tempat berpagut rindu mengulas kisah, dan boleh menjadi tempat untuk menanak impian karena kita percaya bahwa kebun menjadi rumah kediaman ilahi dewi padi/Nogo Gunu, Ema Hingi. Untuk itu tetaplah bertamu walau terkadang sang tuan belum menyediakan kopi manis.
(Ruron Ritapuken)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H