Kemunculan figur baru dalam dunia politik selalu menjadi topik hangat untuk diperbincangan. Apa lagi kalau figur itu adalah orang muda, yang dalam bahasa sekarang disebut tokoh milineal. Itulah yang terjadi di ruang diskusi publik akhir-akhir ini.Â
Ramai orang membincangkan "mas Gibran" baik sisi positif maupun negatifnya. Semakin panas dan seru ketika dicalonkan sebagai Cawapres dari Prabowo Subianto.Â
Sesuatu yang tidak pernah diprediksi! Kehadirannya seolah-olah mendisrupsi kenyamanan bagi para politisi senior. Kurang lebih hiruk pikuknya sama ketika membicarakan disprusi teknologi digital. Mengapa diperbincangan secara luas dan bahkan dipertentangkan dengan para politisi?
Kita perlu melihat siapa itu "mas Gibran". Kalau dia hanya orang biasa, mungkin tidak ada perdebatan. Tapi, dia anak presiden Joko Widodo yang sedang berkuasa saat ini. Jadi, publik melihat keberadaannya sebagai anak presiden dan menghubungkan dengan Bapaknya sebagai orang nomor satu di Indonesia.Â
Di sini, suka atau tidak suka publik menilai ada semacam intervensi kekuasaan yang menghendaki figur Gibran menjadi the next leader! Intervensi kekuasaan memiliki "political force" yang lebih kuat untuk penokohan seseorang. Ada pengaruh langsung dari pemegang kekuasaan untuk mendukung langkah politik dari figur "mas Gibran".Â
Di atas panggung politik, dia berperan sebagai tokoh utama yang didukung oleh latar politik kekuasaan istana. Maka, hemat penulis, ada benarnya juga kali lalu orang ramai-ramai mengkritik keras politik "cawe-cawe" presiden Jokowi.Â
Menjadi bahan omongan publik ketika "mas Gibran" dicalonkan sebagai Cawapres oleh Prabowo Subianto. Keberadaanya sebagai anak presiden dimanfaatkan untuk meningkatkan keterpilihan di Pilpres 2024.Â
Lalu mengapa heboh? Ya, sederhana saja melihatnya tanpa perlu analisis yang ribet. Prabowo Subianto membangun relasi dengan pihak istana melalu figur "mas Gibran". Secara tidak langsung menarik kekuasaan istana masuk dalam koalisi Indonesia Maju (KIM).Â
Harapannya popularitas presiden Jokowi dapat menaikan nilai tawar politik dan elektabilitas dari pasangan Capres/Cawapres nomor 2 pada Pilpres 2024 nanti. Saya sangat yakin tanpa predikat anak presiden yang melekat pada diri "mas Gibran" tidak mungkin diusung oleh koalisi besar ini.Â
Kita tahu dalam koalisi KIM ada banyak politis senior yang berpengaruh dari tujuh parpol yang berpengaruh, seperti Erlangga Hartarto (Golkar) dan  AHY (Demokrat). Kedua tokoh ini sangat mumpuni baik kemampuan, prestasi maupun pengalaman. Hanya satu yang mereka tidak miliki yaitu  status anak presiden. Label tersebut menjadi "golden ticket" yang menghantar "mas Gibran" menjadi Cawapres. Ini jelas bukan hasil kontestasi politik yang demokratis dalam koalisi, melainkan lebih pada kesepakatan transaksional di antara para Ketua Parpol.
Perbincangan lain tentang pencalonan "mas Gibran" dilihat dari faktor usia. Usianya masih terlalu mudah untuk menjadi Cawapres. Tentu soal pencalonan seseorang menjadi Capres dan Cawapres diatur dalam undang-undang.