Tidak dapat dipungkiri, perkembangan teknologi digital dewasa ini telah menyasar ke segala aspek kehidupan, termasuk bahasa. Teknologi digital  menyediakan ruang penggunaan bahasa yang semakin luas tanpa sekat antar individu, komunitas dan bahkan negara. Sedemikian dinamis dan progresifnya berkomunikasi di ruang digital memudahkan orang untuk mengeksploitasi beragam bentuk bahasa. Demikian halnya, Bahasa Indonesia telah digunakan secara luas dalam komunikasi digital. Namun, di satu sisi para pengguna media sosial harus cermat dalam berbahasa Indonesia di media sosial, sedangkan di sisi lain berkontestasi dengan bahasa asing. Lalu, bagaimana potret penggunaan bahasa Indonesia di ruang digital dewasa ini?
Secara umum, penggunaan bahasa Indonesia di ruang digital sangat variatif. Dari segi bentuk, bahasa Indonesia yang digunakan di media digital masih jauh dari kaidah bahasa  yang benar. Kebanyakkan tidak sesuai dengan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI). Kasus ini banyak ditemukan dalam gaya bahasa anak remaja ketika berbahasa Indonesia di media sosial. Misalnya, kata "memang" dihilangkan huruf depannya menjadi "emang", kata "begini" menjadi "gini", atau penggunaan singkatan seperti "sy (saya), knp (kenapa), bibinya (bx), ap2 (apa-apa). Bentuk-bentuk bahasa Indonesia seperti ini dikategorikan ke dalam ragam bahasa gaul atau tidak baku. Setidaknya ada tiga alasan mengapa eksploitasi bentuk linguistik tersebut selalu muncul dalam komunikasi anak remaja dalam percakapan media digital. Pertama, penutur lebih mengedepankan efisiensi dalam penggunaan kata-kata sehingga dipandang lebih ringkas. Akan tetapi, bentuk yang singkat tentu tidak selalu menjamin efektifitas dalam komunikasi, terutama penyampaian makna. Kedua, penutur ingin menunjukkan keakraban dengan lawan bicaranya. Meskipun, keakraban mengaburkan makna dan pesan yang hendak disampaikan. Ketiga, fungsi komunikatif lebih diutamakan daripada bentuk bahasa. Pada hal, secara linguistik ada hubungan yang kuat antara bentuk dan makna (lsiko-semantik dan leksiko-gramatika). Jika kebiasaan berbahasa Indonesia yang tidak benar  dibiarkan saja, maka kesalahan bahasa akan terfosilisasi dalam kognisinya. Lambat-laun akan merusak dan menggeser Bahasa Indonesia yang baku.
Berbahasa Indonesia disertai serpihan kata atau istilah bahasa asing, seperti bahasa Inggris. Ciri ini juga paling jamak ditemukan dalam komunikasi digital pada semua tingkatan penutur Bahasa Indonesia. Percampuran unsur Bahasa Indonesia (kata, frasa  atau kalimat) dengan kata atau istilah dari bahasa asing. Ada yang menyebutnya dengan istilah "Indoglish" atau "Englonesian". Fenomena ini memang tidak bisa hindari dalam komunikasi global dan masyarakat dunia yang multilingual. Gaya bahasa ini menjadi populer karena dipandang moderen. Misalnya, "by the way, kamu sudah kerja ya?, aku biasa saja, which is aku tidak benci sama kamu, kalau gue sih lebih prefer makan di resto". Bahkan pada masa pandemi Covid-19, banyak dijumpai kasus percampuran Bahasa Indonesia dengan istilah Bahasa Inggris (Oktavia &Hayati,2020), antara lain, "masyarakat harus menerapkan social distancing (jaga jarak) dan physical distancing (pembatasan fisik)". Memang kedengarannya asyik, tetapi apakah maknanya tersampaikan pada kalangan masyarakat awam. Pada hal sudah dibuat semacam glosari padanan istilah terkait Covid-19. Bentuk percampuran dua bahasa tersebut akan menghilangkan orisinalitas Bahasa Indonesia dan secara perlahan memengaruhi struktur bahasa. Situasi kebahasaan ini dipicu bukan karena kuriositas penutur bahasa, tapi lebih kecerobohan dalam berbahasa.
Banyak ragam bahasa Indonesia diwarnai oleh kasus interferensi bahasa asing dalam komunikasi digital. Interefensi adalah bentuk penyimpangan bahasa yang disebabkan oleh unsur bahasa lain. Interferensi akan selalu terjadi karena adanya persentuhan dua bahasa yang berbeda. Biasanya terjadi pada penutur dwibahasawan atau penutur multilingual. Fenomena ini perlu dicermati karena dapat berdampak negatif pada penggunaan Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Bentuk interferensi bisa terjadi secara reseptif dan produktif. Untuk kasus  intereferensi Bahasa Indonesia lebih banyak disisipi unsur bahasa asing. Menurut Soewito (1983), Bahasa Indonesia hanya menjadi penerima dan tidak menjadi pemberi. Kondisi demikian boleh jadi karena dominasi dan status bahasa dari dua bahasa yang berbeda. Bagi kaum milineal, menyisipkan unsur bahasa asing, seperti bahasa Inggris, ke dalam Bahasa Indonesia lebih pada produksi bahasa gaul. Tapi bila itu terjadi pada kalangan akademisi atau politisi, motifnya pasti berbeda, yaitu supaya kedengaran berpengetahuan dan berwawasan luas. Terlepas dari itu, interferensi bahasa memiliki dampak buruk pada bahasa dan penuturnya. Pada bahasa, interferensi berpotensi menimbulkan perubahan struktur bahasa sedangkan untuk penuturnya akan memengaruhi kelancaran damenn profisiensi.
Penggunaan Bahasa Indonesia yang tidak baik  di ruang digital sering menimbulkan konflik dan ketersinggungan bagi individu dan kelompok tertentu. Bentuk bahasa yang dieksploitasi melanggarkan aspek kesantunan dan etika budaya. Hal ini tercermin dalam kasus berita bohong (haoks), ujaran kebencian, dan penghinaan pada orang atau golongan tertentu. Misalnya, "ya, emang kafir si, kafir ga kasar". Ujaran ini menimbulkan kebencian bagi golongan agama tertentu. Dalam kasus tersebut, jelas Bahasa Indonesia yang digunakan tidak etis dan tidak santun. Selain itu, ujaran tersebut tidak mencerminkan budaya masyarakat Indonesia yang ramah dan santun. Berbahasa Indonesia yang baik perlu mempertimbangkan aspek kesantunan dan etika dengan mengutamakan prinsip saling menghargai. Maka tidak cukup kalau berbahasa Indonesia yang benar, penutur perlu mempertimbangkan nilai-nilai etis dan budaya.
Bagaimana seharusnya berbahasa Indonesia di ruang digital? Hemat penulis, ada beberapa cara yang bisa dilakukan. Pertama, penutur harus menggunakan Bahasa Indonesia  yang baik dan benar. Berbahasa yang baik harus beretika dan santun. Bahasa mencerminkan budaya. Penutur harus lebih cermat dalam pemilihan kata dan kalimat agar tidak menyinggung perasaan atau merendahkan pihak lain. Kedua, penutur harus memperhatikan penggunaan Bahasa Indonesia yang benar sesuai dengan kaidah yang berlaku. Penggunaan bahasa yang benar merupakan wujud sikap dan kebanggaan kita terhadap Bahasa Indonesia sebagai identitas bangsa. Ketiga, literasi di sekolah perlu ditingkatkan agar siswa belajar berbahasa yang baik dan benar di media sosial
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H