Apa itu FoMO?
Fear of Missing Out atau dikenal dengan istilah FoMO, adalah fenomena sosial yang pada era modern ini banyak terjadi seiring dengan berkembangnya penggunaan media sosial. Menurut Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), jumlah pengguna internet di Indonesia pada tahun 2024 mencapai 221,56 juta orang. Angka ini setara dengan 79,5% dari total populasi Indonesia yang mencapai 275,77 juta jiwa. Dengan banyaknya pengguna internet di Indonesia tidak dapat dipungkiri bahwa media sosial dapat mempengaruhi lingkup pertemanan dan lingkup sosial masyarakat.
Menurut Przybylski (2013: 1481) FoMO merupakan perasaan gelisah yang timbul karena takut akan kehilangan momen kegembiraan dan kesenangan yang dilakukan oleh orang lain. FoMO berasal dari keinginan untuk tetap relevan, terhubung, dan diterima secara sosial. Media sosial membuat kita melihat sisi kehidupan orang lain yang sudah dipoles sedemikian rupa. Hal ini menciptakan standar yang tidak realistis tentang gaya hidup dan menyebabkan rasa tertekan untuk jangan sampai tertinggal tren yang sedang berlangsung.
Selain itu FoMO juga dipengaruhi oleh faktor psikologis. Beberapa gejala seperti ketergantungan media sosial, selalu ingin tahu kehidupan orang lain, dan lebih peduli dengan media sosial daripada kehidupan nyata. Gejala tersebut dapat membuat kita menjadi depresi, mengalami kecemasan, dan tidak dapat mengendalikan keinginan diri.Â
Hubungan FoMO dengan perilaku konsumtif
FoMO berpengaruh langsung terhadap sifat konsumtif, karena mempengaruhi individu untuk mengeluarkan uang pada sebuah produk atau pengalaman yang sebenarnya tidak terlalu mereka butuhkan. Banyak di antara pengguna internet dan media sosial yang bahkan rela melakukan pengeluaran lebih besar dibandingkan pendapatan mereka hanya untuk menjadi eksis. Ketika seseorang dikendalikan oleh tekanan FoMO maka orang tersebut cenderung akan bertindak secara impulsif tanpa mempertimbangkan kegunaan jangka panjang dan apakah mereka benar benar membutuhkannya atau tidak. Seperti yang baru-baru ini sedang menjadi tren, yaitu boneka labubu. Banyak sekali orang mengantre hingga membentuk kerumunan hanya untuk membeli boneka labubu tersebut.
Pembelian boneka labubu merupakan salah satu contoh dari pembelian impulsif yang terjadi karena FoMO. Hal tersebut hanya dilakukan karena ingin tetap mengikuti tren yang berlangsung, padahal mereka yang membeli sebenarnya tidak membutuhkan barang tersebut. Jika hal ini terus-menerus berlanjut pembelian yang didorong oleh FoMO akan meningkatkan gaya hidup konsumtif ke angka yang lebih tinggi, apalagi pembelian yang dilakukan didasari oleh orang yang memiliki rasa gengsi tinggi dan tidak mau tertinggal tren.
Cara menghindari perilaku konsumtif karena FOMO
Mengurangi penggunaan media sosial dapat membantu mengurangi stress dan menjadikan diri kita lebih fokus dalam mengerjakan sesuatu. Dengan mengurangi penggunaan media sosial individu dapat melakukan hal yang lebih positif dan menjadi lebih produktif. Melakukan hobi atau kegiatan yang digemari menjadi salah satu solusi untuk menghindari dampak media sosial. Mengurangi konsumsi konten media sosial yang mempengaruhi perilaku konsumtif juga sangat penting dilakukan untuk menghindari FoMO.
Pola hidup dan perilaku konsumtif juga dapat dihentikan dengan mengatasi pengaruh psikologis yang memicu kepada pembelian impulsif. Salah satu caranya adalah melatih diri dan menetapkan tujuan pribadi dan melepas dari ketergantungan validasi media sosial. Membuat rencana keuangan juga akan membantu untuk menentukan skala prioritas, yang akan membuat kita lebih mementingkan apa yang sudah kita rencanakan daripada keinginan hati. Hal ini membuat kita menjadi lebih bijaksana terhadap pengeluaran yang akan kita lakukan. Semua langkah tersebut dilakukan karena dapat mengurangi paparan terhadap perbandingan maupun tekanan yang ditimbulkan oleh media sosial.
Simpulan