Mohon tunggu...
Totok Suhardijanto
Totok Suhardijanto Mohon Tunggu... profesional -

Saya seorang biasa yang punya kegemaran membaca dan menulis. Menyukai banyak topik seputar kebudayaan, transportasi publik, tata kota, ICT dan bahasa. Pernah bekerja sebagai pengajar dan peneliti di beberapa universitas di Jepang. Saat ini saya sedang melakukan kajian terhadap perilaku manusia, khususnya dalam berkomunikasi, di dalam media sosial atau media terbangkitkan pengguna (user-generated media)--sebagai lawan dari media konvensional yang dikuasai konglomerasi dan industri. Melalui Kompasiana, saya ingin melatih kemampuan menulis saya.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tahun Baru dan Petasan: Solusi yang Patut Dicoba

1 Januari 2012   00:53 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:30 191
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selamat tahun baru 2012. Ini hari pertama kita menghirup udara di tahun 2012. Mudah-mudahan semua harapan kita terwujud pada tahun ini.

Pada malam pergantian tahun, sudah jamak kita mengaitkannya dengan petasan. Tidak ada petasan, tidak ada kemeriahan tahun baru. Semalam, nyaris semua teman, terutama yang tinggal di Jakarta, melalui twitter mengeluhkan hal yang sama: betapa tak putus-putusnya bunyi dan suara petasan menjelang dan menyambut tahun baru 2012. Hal yang sama juga dikeluhkan teman melalui grup chat di sebuah aplikasi yang mampu menjembatani telepon pintar dari pelbagai merek. Suaranya tidak berhenti-henti dan memekakkan telinga. Sungguh tidak nyaman untuk dinikmati, kecuali tentu saja yang memainkannya.

Ketika malam lebaran tahun lalu, rombongan mahasiswa Jepang yang belajar di Yogyakarta menyampaikan kekaguman dan sekaligus keheranan mereka kepada saya. Ketika mereka naik pesawat dari Yogyakarta ke Jakarta, mereka melihat banyak luncuran kembang api atau petasan di udara di bawah pesawat mereka. Itu juga nyaris tidak putus-putus dari Yogyakarta sampai ke Jakarta. Jadi hiburan tersendiri bagi mereka yang akan meninggalkan Indonesia kala itu.

Banyak teman, baik melalui jaringan pertemanan Facebook atau Twitter, mengeluhkan betapa banyak uang terbuang dan terbakar percuma akibat petasan. Selain itu, bermain kembang api atau petasan juga bisa mendatangkan marabahaya. Jika begitu, apakah sebaiknya dilarang sama sekali? Saya kira dengan melihat fenomena di atas, tak bisa disangkal kembang api dan petasan begitu populer di Indonesia.Kembang api atau petasan dengan pelbagai ukuran tersedia dan dijual bebas di Indonesia; bahkan untuk kategori dan ukuran yang sebenarnya berbahaya untuk dimainkan oleh sembarangan orang.

Saya kira membakar petasan untuk menyambut sesuatu peristiwa adalah tradisi yang sudah sangat tua yang mungkin sudah banyak orang tahu. Sulit untuk menghilangkan begitu saja karena itu tidak hanya populer di Indonesia, tetapi juga di negara lain. Jadi, saya tidak akan mengomentari apakah sia-sia atau tidak membakar atau memainkan kembang api atau petasan. Di sini, yang ingin saya soroti ialah solusi untuk mengurangi pemakaian kembang api atau petasan, khususnya yang berukuran besar, secara perorangan atau sporadis di Indonesia.

Sementara di Indonesia terkesan bebas dan tidak diatur secara ketat, di Jepang, atau di negara maju lainnya, kembang api atau petasan dengan ukuran tertentu tidak untuk konsumsi umum. Tidak sembarangan orang bisa memainkannya; hanya mereka yang bersertifikat yang boleh mengoperasikannya.  Hanya kembang api dengan kapasitas dan ukuran kecil yang dijual dan bisa dimainkan oleh orang banyak. Namun, saya kira di Indonesia, peraturan mengenai petasan atau kembang api itu bukannya tidak ada, melainkan-seperti nasib peraturan lainnya-hanya ada di dalam kertas, tidak ada di dunia nyata. Saya kira untuk mengurangi penggunaan petasan, selain dengan terus mengintensifkan pengawasan tentang pembuatan dan penjualan kembang api atau petasan, ada cara lain yang mungkin bisa dilakukan. Satu hal yang saya tangkap di sini adalah orang Indonesia pada dasarnya kurang atau butuh hiburan yang lain daripada yang lain.

Nah, belajar dari kampus tempat saya belajar di Jepang, pada even-even tertentu, khususnya festival kampus, mereka membuka kotak sumbangan. Untuk apa? Ternyata itu dilakukan untuk mengadakan acara pesta kembang api. Dari jumlah uang yang terkumpul itulah mereka membeli perangkat kembang api dan sekaligus dengan operasional penyalaannya. Makin banyak uang terkumpul, makin meriah pesta kembang apinya.

Jadi, untuk kasus Indonesia, jika semua uang yang digunakan untuk membeli petasan di satu wilayah, misalnya Jakarta Selatan atau Jakarta Timur dikumpulkan, saya kira pasti kita bisa membiayai sebuah festival kembang api yang mahal, spektakuler, dan malah akan berimplikasi baik terhadap roda perekonomian dan wisata kita. Bagi mereka yang tinggal di luar negeri tentu kita sering mendengar pesta kembang api yang sangat terkenal, misalnya Festival Kembang Api Sumidagawa-Tokyo, Singapore Fireworks, Guy Fawkes Night di Inggris, Thunder Over Louisville di Kentucky, Amerika, dan lain-lain.

Nah, jadi bisa dibayangkan betapa potensi yang bisa dikumpulkan apabila uang untuk membeli kembang api atau petasan se-Jawa untuk satu tahun dikumpulkan. Mungkin kita bisa melakukan festival kembang api yang sangat spektakuler dan bisa diberi nama Indonesian Fireworks Festival yang bisa dilakukan menjelang 17 Agustus atau tahun baru. Tentu saja itu akan menjadi atraksi wisata tersendiri. Jadi, ibarat melakukan serangan, daripada sporadis atau sendiri-sendiri yang efeknya kurang membahana, bagaimana kalau kita padukan saja dan diorganisasi secara baik? Barangkali dengan begitu keinginan untuk menyalakan petasan atau kembang api sendiri di masyarakat akan berkurang lambat-laun.


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun