Mohon tunggu...
Totok Suhardijanto
Totok Suhardijanto Mohon Tunggu... profesional -

Saya seorang biasa yang punya kegemaran membaca dan menulis. Menyukai banyak topik seputar kebudayaan, transportasi publik, tata kota, ICT dan bahasa. Pernah bekerja sebagai pengajar dan peneliti di beberapa universitas di Jepang. Saat ini saya sedang melakukan kajian terhadap perilaku manusia, khususnya dalam berkomunikasi, di dalam media sosial atau media terbangkitkan pengguna (user-generated media)--sebagai lawan dari media konvensional yang dikuasai konglomerasi dan industri. Melalui Kompasiana, saya ingin melatih kemampuan menulis saya.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Protes dari Dunia Lain

26 April 2011   10:32 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:22 288
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sehabis menonton film "?" besutan Hanung Bramantyo, aku menyesal karena sampai hari ini terus-menerus bertanya, kira-kira judul apa yang cocok untuk film itu? Sedang enak-enak melamun di teras rumah mencari-cari ide judul film--siapa tahu dapat hadiah 100 juta--sekelebat bayangan putih tiba-tiba bergerak ke arahku. Jam menunjuk pada angka 2. Gandrik. Sudah jam dua dini hari.

Ternyata yang datang adalah Kuntilanak. Rambutnya panjang terawat seperti rambut Titi Sjuman yang bintang iklan sampo itu. Kain putih yang digunakan pun cukup bersih dan wangi. Kelihatannya habis dicuci di laundry samping kuburan dekat pos satpam itu.

"Kok munculnya mengagetkan, Mbak?" Sapaku.

"Iya, maaf kalau begitu. Biasanya orang keburu lari ngelihat saya. Biar sampeyan enggak lari, saya cepat-cepat berkelebat duduk di kursi sebelah sampeyan," katanya sambil mesam-mesem. Di kalangan kuntilanak mungkin si Mbak ini termasuk yang blasteran. Wajahnya mirip Rianti Cartwright. Hihihihihihi.

"Ada apa tha, Mbak, kok sampe keluar di luar jadwal? Biasanya malam Jumat Kliwon, 'kan? Tumben," kataku.

"Terus terang saya tersinggung, Mas," katanya sambil merapikan kain yang menutupi lengan tangannya,"Saya mewakili dunia hantu, yakni para dedemit, wewe, genderuwo, sundel, pocong dan segala macamnya ingin mengirimkan somasi kepada para produser dan sutradara yang telah memanfaatkan nama kami hanya untuk mengeruk keuntungan."

"Lho, bukannya malah terkenal karena namanya tercantum dalam banyak film, Mbak?" Tanyaku agak heran, "Kemarin si Briptu Norman saja terkenal lho, padahal hanya karena satu file video di YouTube. Nah, sampeyan yang namanya dicatut dalam banyak sekali film di Indonesia, pasti lebih terkenal 'kan?"

"Iya, Mas. Tetapi bukan itu masalahnya. Kami itu 'kan kodratnya menakutkan, bukan?"

Aku mengangguk. Bulu kudukku merinding teringat bahwa di hadapanku ini seorang eh, sesosok kuntilanak.

"Lha, dalam film-film itu, kok kami ditampilkan dengan cara yang gegabah. Acapkali dengan cerita yang ora nggenah. Masak ada hantu suster yang senang keramas? Lalu, masak ada juga hantu puncak yang sedang datang bulan? Dunia hantu tidak mengenal itu istilah datang bulan segala."

"Hmmmmm ...," aku mengernyitkan alis sambil berpikir, "lantas maunya Mbak itu bagaimana?"

"Ya, kalau membuat film hantu itu yang berbobot gitu lho. Yang menakutkan gitu," kata si Mbak ketus. Bibirnya agak mecucu, "Di Thailand saja film horornya terkenal sangat bagus lho. Misalnya, Shutter, 4 bia (Phobia), The Coffin, dan sebagainya."

Aku mengangguk-angguk.

"Kami, para hantu Indonesia, terus-terang malu kalau mengikuti konferensi hantu se-ASEAN. Hantu-hantu jiran, terutama dari Thailand itu, sering menertawai kami karena dianggap tidak becus menghantui Indonesia sehingga film-film hantu yang diproduksi pun lebih berkesan menjijikkan, daripada menakutkan."  

Aku tersenyum-senyum mendengar celoteh si Mbak ini.

"Yang lebih gila lagi, film yang baru akan dirilis ini," sambung Kunti dengan ekspresi bersemangat, "Film itu mencemarkan sukubangsa kami, para kuntilanak. Masak kuntilanak kesurupan? Apa sudah kehabisan ide ya para pembuat film itu? Kalau begini terus, kami para hantu Indonesia pun menjadi tambah kehilangan muka apabila ada pertemuan para hantu sedunia."

"Terus maunya Mbak Kunti bagaimana?"

"Sampeyan 'kan kenal wartawan, seniman, penyair, dan orang film, Mas. Mbok ya disampaikan kepada mereka bahwa kami para hantu meminta dengan sangat agar nama kami tidak dicatut begitu saja dalam film-film horor enggak jelas itu."

"Enggak jelas gimana?"

"Coba deh lihat film-film horor belakangan ini. Itu film horor atau film seks? Jadi, mau fokus kepada kami, para hantu ini, atau mereka para aktor dunia esek-esek semacam Miyabi, Sora Aoi, dan Sasha Grey?"    

"Ya, wis, nanti tak sampaikan kepada teman-teman saya," kataku mencoba menutup pembicaraan, "Sudah sekarang pulang sana. Sudah mau subuh lho. Saya juga mau tidur." 

Ya, sebaiknya ditutup daripada teman-teman dari dunia lain pada berdatangan ikut memrotes film Indonesia. Sudah terlihat sekelebat pocong dan genderuwo siap-siap mau melompat pagar di rumah mertua di kawasan Jakarta Timur itu.

Jam sudah menunjukkan pukul 03:10 pagi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun