"Ya, kalau membuat film hantu itu yang berbobot gitu lho. Yang menakutkan gitu," kata si Mbak ketus. Bibirnya agak mecucu, "Di Thailand saja film horornya terkenal sangat bagus lho. Misalnya, Shutter, 4 bia (Phobia), The Coffin, dan sebagainya."
Aku mengangguk-angguk.
"Kami, para hantu Indonesia, terus-terang malu kalau mengikuti konferensi hantu se-ASEAN. Hantu-hantu jiran, terutama dari Thailand itu, sering menertawai kami karena dianggap tidak becus menghantui Indonesia sehingga film-film hantu yang diproduksi pun lebih berkesan menjijikkan, daripada menakutkan."Â Â
Aku tersenyum-senyum mendengar celoteh si Mbak ini.
"Yang lebih gila lagi, film yang baru akan dirilis ini," sambung Kunti dengan ekspresi bersemangat, "Film itu mencemarkan sukubangsa kami, para kuntilanak. Masak kuntilanak kesurupan? Apa sudah kehabisan ide ya para pembuat film itu? Kalau begini terus, kami para hantu Indonesia pun menjadi tambah kehilangan muka apabila ada pertemuan para hantu sedunia."
"Terus maunya Mbak Kunti bagaimana?"
"Sampeyan 'kan kenal wartawan, seniman, penyair, dan orang film, Mas. Mbok ya disampaikan kepada mereka bahwa kami para hantu meminta dengan sangat agar nama kami tidak dicatut begitu saja dalam film-film horor enggak jelas itu."
"Enggak jelas gimana?"
"Coba deh lihat film-film horor belakangan ini. Itu film horor atau film seks? Jadi, mau fokus kepada kami, para hantu ini, atau mereka para aktor dunia esek-esek semacam Miyabi, Sora Aoi, dan Sasha Grey?"   Â
"Ya, wis, nanti tak sampaikan kepada teman-teman saya," kataku mencoba menutup pembicaraan, "Sudah sekarang pulang sana. Sudah mau subuh lho. Saya juga mau tidur."Â
Ya, sebaiknya ditutup daripada teman-teman dari dunia lain pada berdatangan ikut memrotes film Indonesia. Sudah terlihat sekelebat pocong dan genderuwo siap-siap mau melompat pagar di rumah mertua di kawasan Jakarta Timur itu.