Mohon tunggu...
T M Farhan Algifari
T M Farhan Algifari Mohon Tunggu... Freelancer - Perenung Profesional

Partisan dalam Ideologi

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

KPK OTT Wali Kota Medan, Reformasi Birokrasi Semu atau Unjuk Gigi KPK?

16 Oktober 2019   17:45 Diperbarui: 16 Oktober 2019   18:26 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejak reformasi telah ada tiga Walikota Medan yang tersandung kasus korupsi. Dua walikota sebelumnya telah menjadi terdakwa dan menjalani masa kurungan. Sementara yang terbaru masih berstatus sebagai terperiksa. Fenomena tersebut memunculkan paradoks mengenai upaya pencegahan tindak pidana korupsi dan upaya reformasi birokrasi.

Proses penyidikan Dzulmi Eldin masih berlangsung dengan status terperiksa. Akan tetapi bukan tidak mungkin ia akan berakhir sama seperti para pendahulunya. 

Di satu sisi penangkapan tersebut seakan mengamini citra Sumatera Utara yang sering diplesetkan menjadi Semua Urusan Memerlukan Uang Tunai. Berbagai kasus korupsi yang menyandera pimpinan di Sumatera Utara seakan menguatkan label provinsi korup.

Di sisi lain adanya OTT tersebut mencerminkan kegagalan reformasi birokrasi dan upaya mitigasi KPK yang tidak maksimal. Semestinya sistem yang transparan dan senantiasa terawasi tidak memiliki celah dilakukannya tindak pidana korupsi. 

Terlebih Sumatera Utara memiliki historis panjang terkait kasus korupsi yang harus diakhiri. Sehingga wajar apabila saya mempertanyakan perkembangan reformasi birokrasi bahkan semangat revolusi mental yang tidak diserap para pimpinan tersebut.

Saya sebagai masyarakat Sumatera Utara tentu berharap tidak ada lagi ruang tindak pidana korupsi bagi pejabat tinggi di Sumatera Utara. Tentu memalukan apabila sumatera utara terus-terusan menjadi provinsi pencetak koruptor. Pemerintah pusat mesti serius melakukan upaya pencegahan dan pengawasan berkala, bukan hanya penangkapan melalui KPK saja.

OTT, Bumerang bagi KPK?
Masyarakat saat ini dengan beragam cara membela mati-matian pelemahan terhadap KPK. Bahkan beberapa nyawa mesti hilang dalam perjuangan aksi massa menyelamatkan KPK.

Tinggal menghitung hari menjelang Revisi UU KPK efektif dilaksanakan. Tentu KPK harus berbenah diri untuk menunjukkan pada masyarakat bahwa Lembaga anti-rasuah tersebut memang layak untuk dibela. Akan tetapi apakah peningkatan intensitas penangkapan merupakan jawaban atas keresahan masyarakat?

Saya beranggapan peningkatan intensitas penangkapan oleh KPK beberapa waktu terakhir dapat menjadi bumerang bagi KPK. 

Saya memiliki beberapa alasan di antaranya: 

(1) Setiap penangkapan oleh KPK mengandung risiko tinggi, artinya apabila di kemudian hari ternyata KPK gagal melakukan pembuktian tindak pidana korupsi tersebut tentu akan menjadi catatan buruk dan berisiko kehilangan empati masyarakat yang tengah mati-matian memperjuangkannya. 

(2) Peristiwa penangkapan tersebut dapat memunculkan persepsi lain. Persepsi yang dimungkinkan hadir dari serangkaian proses penangkapan itu yakni hal tersebut hanya sebatas upaya politis KPK untuk mempertahankan citra positif KPK. 

(3) Peristiwa tersebut dapat pula menjadi bumerang dikarenakan KPK telah mempertontonkan kegagalannya dalam mencegah tindak pidana korupsi. Khususnya di Medan yang notabene walikotanya Hattrick terlibat dalam kasus korupsi. Tentu sebagian masyarakat mempertanyakan peran pencegahan korupsi KPK.

Harapan itu Masih Ada
Tentu tidak ada satupun dari kita yang mendukung tindak pidana korupsi. Kita tentu menginginkan negara yang bebas korupsi dan meresap hingga ke tingkat bawah, termasuk kita semua. 

Untuk mencapai hal tersebut tentu kita harus mampu terbuka dan kritis melihat berbagai peristiwa penegakan pemberantasan korupsi. Jangan sampai KPK sekedar menjadi Komisi Pemberantasan Koruptor.

Harapan itu masih ada, akan tetapi pemberantasan korupsi tidak hanya bisa dilimpahkan kepada KPK semata. Harapan ada di tangan civil society untuk melakukan pengawasan pada berbagai upaya tindak pidana korupsi serta mengawal tindak tanduk lembaga anti rasuah agar tidak offside.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun