Mohon tunggu...
T M Farhan Algifari
T M Farhan Algifari Mohon Tunggu... Freelancer - Perenung Profesional

Partisan dalam Ideologi

Selanjutnya

Tutup

Otomotif Pilihan

Profesi Ojek Daring dalam Fenomena Prekariat

15 Oktober 2019   12:54 Diperbarui: 15 Oktober 2019   13:00 431
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pusat Kajian Komunikasi Universitas Indonesia (Puskakom UI) di bulan mei 2017 menemukan kalau penghasilan rata-rata ojek daring berada di kisaran 1,9 juta rupiah, jauh dibawah UMR DKI Jakarta yang mencapai tiga juta rupiah.

Ketimpangan tersebut sejalan dengan pandangan Bernstein, yang menganggap pekerjaan yang tidak stabil dari segi upah maupun keamanan kerja menjadi trend ekonomi kontemporer.

Untuk menguatkan dugaan tersebut, saya melakukan wawancara sederhana dengan beberapa pengemudi ojek daring di beberapa kota diantaranya Malang dan Jakarta.

Melalui Wawancara singkat dengen pengemudi, saya menemukan fakta-fakta pahit yang harus dihadapi oleh mitra ojek daring. Jam kerja yang tidak terbatas, hak-hak yang tidak terpenuhi, ancaman pemutusan kerja sepihak, dan sebagainya.

Belum lagi risiko yang harus dihadapi pengemudi ojek daring seperti kecelakaan, konflik dengan penyedia jasa transportasi konvensional, dan legalitas yang belum jelas. Kerentanan tersebut mendorong lahirnya kelas precariat pada kelompok pengemudi ojek daring. 

Pengemudi ojek daring merupakan potret precariat yang ada di kota-kota besar. Mike davis dalam bukunya The Planet of Slums menduga bahwa kondisi semacam ini lahir akibat miliaran orang di dunia berjubel memadati kota-kota megapolitan negeri negeri pinggiran seperti Mexico CitySao Paolo, Mumbai, Jakarta, Buenos Aires, Manila, Lagos dan Istanbul, hidup dalam rumah-rumah semi permanen, tanpa akses air dan sanitasi memadai serta ketidakpastian hak tempat tinggal yang terus mengintai kedamaian keluarga mereka. Surplus populasi relatif menumpuk khususnya terkonsentrasi di kota-kota besar.

Marx berargumentasi bahwa akumulasi kapital mesti berurusan dengan persoalan hambatan alamiah dalam bentuk populasi pekerja yang bisa dieksploitasi. Ekspansi kapital mustahil tanpa diiringi meningkatnya jumlah pekerja yang siap untuk diserap dalam akumulasi kapital.

Dalam perspektif ini, kapital tidak bisa menggantungkan dirinya pada pertumbuhan penduduk alami untuk menghasilkan populasi pekerja yang dibutuhkan akumulasi.

Kerentanan yang dihadapi oleh pengemudi ojek daring tidak linier dengan peningkatan mitra baru. Meskipun berbagai jaminan dan hak-hak ketenagagakerjaan diabaikan, dalam kondisi surprus populasi relatif yang tinggi perusahaan memiliki posisi tawar yang sulit diimbangi bahkan oleh serikat sekalipun. Surplus populasi relatif menyediakan fungsi upah, berlimpahnya surplus relatif punya peran menekan permintaan kenaikan upah dari pekerja aktif. Tuntutan kenaikan upah pekerja aktif dapat diabaikan sepanjang masih banyak barisan pekerja yang tersedia untuk menggantikan pekerja aktif yang tidak mudah diatur.

Semakin besar proporsi surplus populasi relatif dibanding pekerja aktif, maka semakin rendah upah yang diterima pekerja aktif yang berimplikasi pada pemotongan ongkos produksi dan kian optimumnya profit yang diperoleh kapital.

Argumen tersebut sangatlah relevan, dalam beberapa kasus tertentu surplus populasi relatif terbukti dari kekhawatiran pemutusan hubungan kerja yang dialami oleh pengemudi ojek daring bersamaan dengan maraknya penjualan akun aplikasi ojek daring yang memiliki angka permintaan relatif tinggi. Fenomena tersebut menguatkan argumen penulis bahwa pengemudi ojek daring merupakan bagian dari kelas precariat dengan gambaran kerentanan yang telah disebutkan sebelumnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Otomotif Selengkapnya
Lihat Otomotif Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun