Mohon tunggu...
Kurniawan Wawan
Kurniawan Wawan Mohon Tunggu... -

pengen bisa lebih baek

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Nonton Pertarungan Berdarah Selepas Ashar, Perisaian Kendo Ala Lombok

1 Desember 2015   23:04 Diperbarui: 2 Desember 2015   05:03 581
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokpri

Rasanya kita memang nggak harus marah jika ada orang asing yang mengatakan orang Indonesia bodoh gegara terlalu berkiblat pada budaya luar, padahal kita adalah bangsa yang kaya akan budaya. Dan memang itulah kenyataanya, banyak dari kita yang tidak sadar akan luar biasanya kekayaan budaya Nusantara, sementara budaya luar diimpor habis-habisan dan memperkaya negara yang bersangkutan.

Satu contoh kecil adalah tradisi perisaian di Lombok, sebenarnya saya sedih harus memberi judul tulisan ini dengan meminjam istilah kendo, karena menunjukan betapa kita masih menganggap budaya kita inferior disbanding budaya lain. Tetapi sudahlah, kendo saya gunakan sekedar untuk memudahkan penjelasan gambaran bahwa perisaian hampir mirip dengan kendonya orang jepang sama-sama pakai tongkat pengganti pedang, kalau perisaian pakai rotan sedangkan pada kendo memakai bambu. toh kenyataanya kendo memang sudah mendunia.

Baiklah, mari kita mulai ceritanya. Sore kemaren ketika ngopi di teras rumah mertua (maklum istri orang Lombok..he..he..) terdengar mobil keliling dengan pengeras suara mengumumkan bahwa akan ada lomba perisaian piala bupati di lapangan nasional kecamatan Selong Lombok timur. Wow bagi saya, yang setiap kali mudik ke Lombok belum pernah nemui acara perisaian ini.

 

Hal ini tentu tidak akan saya sia-siakan. Dan benar besoknya di Lapangan Nasional Selong digelar arena perisaian, dengan HTM Rp. 10.000, kita sudah bisa menyaksikan pertarungan jawara-jawara perisaian antar kecamatan di Lombok. Pertarungan ini digelar sehabis sholat ashar, dan diikuti para jagoan-jagoan se Lombok Timur meski ada yang jagoan tamu dari kabupaten Lombok Tengah. Perisaian adalah tradisi permainan asli masyarakat sasak.

Sebuah permaianan saling pukul menggunakan tongkat rotan sepanjang kurang lebih satu meter, dengan perisai dari kulit sebagai pelindungnya. Bagi saya yang orang Jawa, perisaian terlihat sadis karena para pemain terlibat saling menyabetkan tongkat rotan dengan tanpa pelindung tubuh sama sekali, hanya perisai kulit satu-satunya pelindungnya dan kelincahan menghindar dari pemainnya yanga akan menyelamatkan. Dan kepala bocor berdarah adalah hal biasa, sementara bilur-bilur merah ditubuh sang jawara layaknya lukisan indah simbol keberanian. Terlihat para pemain adalah memang orang yang sudah terbiasa dengan permainan ini, terlihat bekas luka-luka lama di tubuhnya, yang saya yakin kalau itu bekas luka sabetan rotan.


Sore itu, dengan diiringi gamelan khas sasak yang hamper mirip dengan bali ( pakaian dan musik tradisional suku sasak hampir mirip dengan Bali) Lapangan Nasional Selong memanas, di dalam ring kotak berpagar bambu ukuran 10 x 10 m, jawara-jawara saling adu kelincahan untuk mendaratkan pukulan rotan ke tubuh lawan diiringi sorak sorai penonton. Jika ada yang kena dan berdarah penonton semakin semangat menyorakinya.

Permainan baku pukul dengan rotan biasanya dibagi dalam tiga ronde. Setiap ronde hanya sekitar 5 menitan. Dan kalah menang biasanya ditentukan oleh wasit. Pemain dianggap kalah kalau sudah menyatakan menyerah atau tongkat pemukul terjatuh atau terjadi pendarahan luka yang hebat . Bahkan, walaupun tubuh sesudah penuh bilur-bilur merah, kalau pemain belum menyerah maka permainan akan terus dilanjutkan sampai salah satu menyerah. Aturan permainan ini sebenarnya sederhana, yaitu yang boleh dipukul adalah dari pusar ke atas sampai kepala. Tak boleh menendang. Yang unik di permainan perisaian adalah julukan para pemainnya yang lucu-lucu, ada yang berjuluk Tumenggung Ranggalawe, Galau Bersambung, Rumpun Tak terjawab, yang membuat penonton tertawa memecah ketegangan.

Acara pertandingan diawali dengan menampilkan jagoan-jagoan yang masih pemula. Biasanya anak-anak umur 12 tahunan. Luar biasa anak-anak ini, mereka saling menyabetkan rotan tanpa takut sakit sedikitpun, kemudian para jagoan pemuda-pemuda dan puncaknya adalah jagoan-jagoan pilih tanding, yang merupakan partai pertandingan paling ditunggu oleh penonton. Partai puncak ini, para pemainnya adalah jagoan-jagoan senior yang memang sudah lama malang melintang di dunia perisaian, terlihat tubuhnya penuh bekas luka bilur-bilur sabetan rotan.

Pertandingan senior ini biasanya berlangsung lama bahkan lebih dari tiga ronde. Karena memang sudah senior maka para pemain terlihat lincah dalam saling pukul dan tangkis. semakin lama semakin memanas aura pertandingan, penonton semakin semangat menyoraki. Meski tubuh sudah penuh bilur-bilur dan berdarah para pemain jagoan senior jarang yang cepat menyerah.

Bahkan, untuk menambah semangat biasanya para penonton mengumpulkan saweran untuk para pemain, bukan taruhan tapi sekedar saweran untuk menyemangati pemain agar lebih semangat bertanding. Dan pertandingan berdarah penutup sore itu tak ada yang menang atau kalah alias draw dari keduanya. Karena meski luka sudah di sekujur tubuh tak ada yang mau menyerah, dan saweran semakin menumpuk.

Sementara waktu sudah hamper maghrib, meski semakin memanas permainan harus segera dihentikan. Para petarung saling berangkulan diakhir pertandingan untuk menunjukan tidak ada dendam diantara mereka, meskipun telah saling melukai satu sama lain, karena ini hanya permainan.

Apakah nanti ada yang dendam diantara mereka? Mengingat ini adalah pertandingan antar jagoan kecamatan, saya khawatir terjadi bentrokan ketika pulang dari arena, karena merasa luka belum terbalaskan. Apalagi mereka pulang dengan berombongan menggunakan pickup bak terbuka dengan baju seragam paguyuban masing-masing. Ah ternyata dugaan saya keliru. “Belum pernah ada terjadi bentrok di luar arena, semua di selesaikan di dalam arena,” Jawab seorang Bapak, sebut saja namanya Ama’ Jakir, yang saya lontarkan pertanyaan tersebut kepadanya seusai acara. “Kalaupun ada dendam diselesaikan pada arena selajutnya. Semuanya menyadari kalau itu adalah sekedar permainan,” imbuh Ama’ Jakir.

Lalu bagaimana sebenarnya sejarah permainan perisaian ini bermula? Menurut Ama’ Jakir, sejarahnya kurang begitu diketahui, sebagian ada yang mengatakan bahwa ini adalah ajang latihan ketangkasan untuk para pengawal raja jaman dahulu, ketika Lombok masih berbentuk kerajaan.

Ada juga yang mengatakan perisaian adalah arena untuk menyelesaikan persaingan midang bagi para jejaka yang memperebutkan kembang desa. Midang adalah acara ngapel atau memikat kembang desa, kadang seorang kembang desa diperebutkan oleh banyak jejaka dari baerbagai desa, untuk menyelesaikan siapa yang paling berhak mempersunting si kembang desa diadakanlah arena perisaian. “Dan semuanya diselesaikan secara sportif dan ksatria, tanpa ada dendam setelahnya,” ungkap Ama’ Jakir.

 

Begitulah, tradisi Lombok memang eksotis se eksotis alamnya. Rasanya terlalu banyak tradisi Nusantara yang luput dari perhatian kita, sementara kita begitu tergila-gila pada budaya bangsa lain. Semoga kita tidak semakin bodoh, seperti yang dikatakan orang asing. Tabik.

 

Lombok Timur, 30 November 2015

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun