Dokpri
Rasanya kita memang nggak harus marah jika ada orang asing yang mengatakan orang Indonesia bodoh gegara terlalu berkiblat pada budaya luar, padahal kita adalah bangsa yang kaya akan budaya. Dan memang itulah kenyataanya, banyak dari kita yang tidak sadar akan luar biasanya kekayaan budaya Nusantara, sementara budaya luar diimpor habis-habisan dan memperkaya negara yang bersangkutan.
Satu contoh kecil adalah tradisi perisaian di Lombok, sebenarnya saya sedih harus memberi judul tulisan ini dengan meminjam istilah kendo, karena menunjukan betapa kita masih menganggap budaya kita inferior disbanding budaya lain. Tetapi sudahlah, kendo saya gunakan sekedar untuk memudahkan penjelasan gambaran bahwa perisaian hampir mirip dengan kendonya orang jepang sama-sama pakai tongkat pengganti pedang, kalau perisaian pakai rotan sedangkan pada kendo memakai bambu. toh kenyataanya kendo memang sudah mendunia.
Baiklah, mari kita mulai ceritanya. Sore kemaren ketika ngopi di teras rumah mertua (maklum istri orang Lombok..he..he..) terdengar mobil keliling dengan pengeras suara mengumumkan bahwa akan ada lomba perisaian piala bupati di lapangan nasional kecamatan Selong Lombok timur. Wow bagi saya, yang setiap kali mudik ke Lombok belum pernah nemui acara perisaian ini.
Hal ini tentu tidak akan saya sia-siakan. Dan benar besoknya di Lapangan Nasional Selong digelar arena perisaian, dengan HTM Rp. 10.000, kita sudah bisa menyaksikan pertarungan jawara-jawara perisaian antar kecamatan di Lombok. Pertarungan ini digelar sehabis sholat ashar, dan diikuti para jagoan-jagoan se Lombok Timur meski ada yang jagoan tamu dari kabupaten Lombok Tengah. Perisaian adalah tradisi permainan asli masyarakat sasak.
Sebuah permaianan saling pukul menggunakan tongkat rotan sepanjang kurang lebih satu meter, dengan perisai dari kulit sebagai pelindungnya. Bagi saya yang orang Jawa, perisaian terlihat sadis karena para pemain terlibat saling menyabetkan tongkat rotan dengan tanpa pelindung tubuh sama sekali, hanya perisai kulit satu-satunya pelindungnya dan kelincahan menghindar dari pemainnya yanga akan menyelamatkan. Dan kepala bocor berdarah adalah hal biasa, sementara bilur-bilur merah ditubuh sang jawara layaknya lukisan indah simbol keberanian. Terlihat para pemain adalah memang orang yang sudah terbiasa dengan permainan ini, terlihat bekas luka-luka lama di tubuhnya, yang saya yakin kalau itu bekas luka sabetan rotan.
Sore itu, dengan diiringi gamelan khas sasak yang hamper mirip dengan bali ( pakaian dan musik tradisional suku sasak hampir mirip dengan Bali) Lapangan Nasional Selong memanas, di dalam ring kotak berpagar bambu ukuran 10 x 10 m, jawara-jawara saling adu kelincahan untuk mendaratkan pukulan rotan ke tubuh lawan diiringi sorak sorai penonton. Jika ada yang kena dan berdarah penonton semakin semangat menyorakinya.
Permainan baku pukul dengan rotan biasanya dibagi dalam tiga ronde. Setiap ronde hanya sekitar 5 menitan. Dan kalah menang biasanya ditentukan oleh wasit. Pemain dianggap kalah kalau sudah menyatakan menyerah atau tongkat pemukul terjatuh atau terjadi pendarahan luka yang hebat . Bahkan, walaupun tubuh sesudah penuh bilur-bilur merah, kalau pemain belum menyerah maka permainan akan terus dilanjutkan sampai salah satu menyerah. Aturan permainan ini sebenarnya sederhana, yaitu yang boleh dipukul adalah dari pusar ke atas sampai kepala. Tak boleh menendang. Yang unik di permainan perisaian adalah julukan para pemainnya yang lucu-lucu, ada yang berjuluk Tumenggung Ranggalawe, Galau Bersambung, Rumpun Tak terjawab, yang membuat penonton tertawa memecah ketegangan.
Acara pertandingan diawali dengan menampilkan jagoan-jagoan yang masih pemula. Biasanya anak-anak umur 12 tahunan. Luar biasa anak-anak ini, mereka saling menyabetkan rotan tanpa takut sakit sedikitpun, kemudian para jagoan pemuda-pemuda dan puncaknya adalah jagoan-jagoan pilih tanding, yang merupakan partai pertandingan paling ditunggu oleh penonton. Partai puncak ini, para pemainnya adalah jagoan-jagoan senior yang memang sudah lama malang melintang di dunia perisaian, terlihat tubuhnya penuh bekas luka bilur-bilur sabetan rotan.