Sayangilah Anak Didik Sebagai Anak Sendiri
Saya mulai mengajar tahun 1967 di SD RK II Santu Fransiscus di Kota Padang. Gaji guru pada waktu itu adalah 16.000 rupiah (terbaca: enam belas ribu rupiah) Plus tunjangan in natura dalam bentuk beras sebanyak 9 kilogram. Semuanya ini hanya cukup untuk makan selama dua minggu.Â
Tapi hal ini bukanlah alasan untuk mengajar dengan setengah hati,karena saya yang memilih menjadi guru dan tidak ada yang memaksa. Untuk Mencukupi kebutuhan hidup,kami berdua dan plus satu orang anak pertama, isteri saya juga mengajar di SMP Murni. Kami berdua pada waktu itu menjadi guru disekolah yang berbeda dan berbeda juga background pendidikan. Istri saya jurusan ilmu pasti dan saya jurusan sosial . Setiap hari kami naik sepeda untuk mengajar.Pada masa itu,mana ada guru yang naik sepeda motor mengajar .Â
Dokpri
Hal mendasar yang kami tanamkan dalam diri adalah menjadi guru, bukan hanya mengajarkan ilmu tapi juga sekaligus mendidik anak anak. Kami mengajar anak anak dengan rasa kasih sayang dan tidak pernah membentak bentak, apalagi sampai memukul.Â
Kalau mereka salah, sewaktu anak anak lain turun main, yang bersalah tinggal didalam kelas dan saya berbicara dari hati ke hati. Tidak saya bentak bentak apalagi sampai memukul. tapi setelah saya nasihati, mereka menangis dan mohon maaf.Â
Dokpri
Rumah kami terbuka bagi murid murid yang mungkin mau bertanya tentang PR atau datang hanya sekedar main main disore hari. Mereka sama sekali tidak membayar apapun serta tidak membawa oleh oleh, tapi kami menyayangi mereka seperti anak kami sendiri.Pada waktu itu,kami tinggal di belakang pabrik kecap di Pulau Karam dalam . Lokasi di pinggir kali kecil dan setiap kali hujan lebat atau air pasang naik,maka seluruh halaman rumah tergenang air. Sulitnya menjalani kehidupan,tidak membuat perasaan kami menjadi gersang dan garang terhadap murid murid.
Saat Saya Pindah Mengajar, Murid murid MenangisÂ
Setelah mengajar selama tiga tahun di SD, saya ditugaskan oleh yayasan untuk mengajar di SMP Pius, masih dalam lingkungan Yayasan Prayoga di Padang. Ketika saya sampaikan kepada murid murid, mereka menangis dan memeluk saya. Tak ubahnya bagaikan anak anak mengantarkan ayahnya berangkat.Â
Hingga kini, 55 tahun sudah berlalu dan murid murid SD yang dulu berusia belasan tahun kini rata rata sudah berusia 65 dan 66 tahun, tapi setiap kali ada kesempatan pulang kampung, ternyata mereka datang untuk makan bersama kami berdua. Bahkan saya tidak diisinkan untuk membayar tagihan makanan.Â
Ada yang memberikan saya baju batik yang mahal bahkan angpau  dalam nilai yang besar.Hal ini menghadirkan rasa haru dalam diri saya,bukan karena dapat hadiah dan angpau,tetapi mendapatkan kasih sayang dari mantan murid murid saya lebih dari setengah abad yang lalu.
Bahkan salah seorang yang kini jadi pengusaha sukses mengajak kami berdua jalan jalan ke Bukittinggi dan bilang "Bapak ibu, untuk menginap di Bukittinggi dan jalan jalan di Sumatera Barat semua biaya saya yang tanggung jawab."Â
Yang lain mengatakan "Kalau urusan makan bersama di Jakarta, saya yang bertanggung jawab."Â
Mendapatkan kasih sayang yang begitu besar,sungguh menghadirkan rasa haru dan bahagia dalam diri kami berdua.
Agar disayangi murid murid hingga kita menua, maka sayangilah mereka seperti menyayangi anak anak kita sendiri. Disiplin perlu diterapkan,tapi jangan lupa dijiwai dengan kasih sayang. Murid murid di kelas saya,lulus seratus persen .
Kalau kita hanya terpancang pada disiplin kaku, kelak begitu mereka lulus jangankan menyapa, menengok kita saja mereka enggan.Â
Esensialnya "Bila ingin disayangi murid murid hingga kelak kita menua, maka didiklah mereka dengan penuh kasih sayang" Â Saya sudah membuktikannya.
Selamat Hari Guru NasionalÂ
Tjiptadinata Effendi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H