Mengapa Bisa Begitu?
Pagi ini saya baca tulisan sahabat Kompasianer Theresia Lin yang berkisah bahwa setiap hari Jumaat ada kegiatan sosial, bagi-bagi makanan di halaman gereja. Antrian begitu panjang hingga sampai ke jalan.Â
Saya jadi ingat di gereja St. Peter Simon yang lokasinya hanya sekitar 5 menit berkendaraan dari kediaman kami, setiap hari Minggu juga, meja di belakang gereja, tersusun roti aneka ragam. Bukan roti bekas melainkan roti yang masih baru dan terasa hangat. Eee hanya beberapa orang yang mengambilnya. Kami pernah "dipaksa " mengambil oleh yang bawa dan bilang: "Please take one". Ambillah satu, saya sudah bawa dari rumah, masih hangat, sayang sekali bila tertinggal dan terbuang.
Begitu juga di beberapa gereja lainnya, ada roti gratis, tapi orang enggan mengambil. Ada jeruk yang masih fresh, menumpuk di keranjang. Pastor sampai berdiri di pintu belakang dan menyarankan agar umat mengambil dan bawa pulang, demi menghargai orang yang sudah bersusah payah membawa ke gereja.
Ice Cream Gratis Juga SepiÂ
Bulan lalu kami jalan jalan ke mall, ada ice  cream gratis dibagikan. Kami bayangkan bakalan antrian panjang, tapi ternyata eee tak ada orang di sana. Sehingga dengan melenggang, kami datangi dan dikasih ice cream satu mangkuk seorang.  Awal bergabung dengan berbagai Senior Club, kami juga heran, ada Capucinno gratis dibagikan, tidak perlu pakai antrian atau minta minta. Cukup berjalan ke vending machine dan tekan tombol pilihan, mau coffee, moccha, chocolate atau capucccino. Karena udara lumayan dingin, yakni 11 derajat Celcius, maka kami ambil secangkir seorang. Tapi yang lain malahah pesan dan bayar 5 dollar.. Awalnya terpikir oleh saya, "Gengsi banget nih orang bule" , tapi belakangan baru tahu, bukannya mereka gengsi-gengsian, tapi cara berpikir yang berbeda.
Bagi mereka, bila bisa beli, mengapa ambil yang gratis? Biarlah orang lain yang lebih membutuhkan mendapatkan yang gratis. Hal ini agaknya sudah mendarah daging bagi mereka, karena sejak kecil sudah dididik: "Kalau bisa beli mengapa ambil yang gratis ".
Majalah Gratis Juga Tak Dilirik
Bukan hanya sebatas makanan dan buahan gratis,tapi majalah dan tabloid gratis juga tidak dilirik orang. Mengapa? Untuk menyelami filosofi hidup orang, tidak segampang menyelami dasar kolam. Tapi anehnya, secara tanpa sadar, kami berdua sudah tertular gaya hidup semacam ini. Kami sama sekali tidak tertarik mengambil roti gratis di gereja ataupun di mall. Karena pernah kami ambil sekali, tapi tidak habis dimakan karena kami lebih suka makan nasi dengan dendeng balado, ketimbang makan roti pakai keju.
Kalau majalah dan tabloid gratis, kalau kebetulan lewat, ya kami ambil untuk dijadikan bacaan. Hal ini membuktikan bahwa memang beda negeri beda budaya dan beda cara berpikirnya.Â
Pernah ada komunitas sosial ,adakan dapur umum untuk menyediakan makanan gratis bagi orang tidak mampu. Eee yang datang hanya satu dua orang, sehingga masakan banyak yang terpaksa dibawa pulang lagi. Akhirnya kegiatan sosial ini dihentikan, ternyata mau bagi bagi makanan gratis, tidak mudah di Australia. Karena setiap orang berpikir, "Saya mampu beli, biarlah orang lain yang lebih membutuhkan mendapatkannya."
Catatan: semua dokumentas pribadi tjiptadinata effendi
Tjiptadinata Effendi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H