Walaupun Hanya Satu Semester
Saya dilahirkan di kota Padang tercinta pada era dai Nippon yakni tahun 1943. Berarti sebelum Indonesia merdeka. Pada masa itu,sebagai orang Padang, saya mengacu pada falsafah hidup: "Dima bumi dipijak,disinen langik dijunjuang" (Dimana buagmi dipijak,disana langit dijunjung) Kata "toleransi" belum pernah saya dengar pada waktu itu. Dan karena belum pernah mendengar, tentu saja saya tidak tahu apa artinya kata: "Toleransi".
Kelak semasa sudah duduk dibangku SMA don Bosco,saya baru mengenal kata Toleransi ,tapi hanya memahami artinya secara samar samar,yakni  saling bertengang rasa,terhadap orang yang berbeda paham dan berbeda budaya.Â
Karena dalam keluarga besar kami terdiri dari berbagai latar belakang yang berbeda, seperti kakek buyut berasal dari Tiongkok, sedangkan nenek buyut asli dari Pulau Nias dan seorang lagi nenek buyut, berasal dari Payakumbuh. Di rumah, sehari harian sejak dari kecil,kami berbahasa Padang. Dan sama sekali tidak tahu berbahasa Mandarin.Â
Ikut Mata Pelajaran Agama Islam
Saya sempat kuliah di Fakultas Hukum Unand, yang pada waktu itu, masih menggunakan  Gedung Pancasila ,yang lokasinya berhadapan dengan Lapangan Dipo dan hanya berjarak beberapa ratus meter dari Muara Padang. Untuk mata pelajaran agama, saya mengikuti mata pelajaran Agama Islam, yang waktu itu dosennya adalah Prof A. Wahid Salahan SH. Orangnya humoris dan suka bercanda,termasuk dalam memberikan mata pelajaran..Â
Pada waktu saya minta izin untuk ikut mata pelajaran Agama Islam, jawaban dari Prof. A. Wahid Salayan SH: "Emangnya ada yang melarang anda?" Tentu saja saya agak kaget, mendengarkan todongan ini. Tapi karena diucapkan dengan tertawa, saya sadar bahwa dosen saya lagi usil.Â
Dan langsung menjawab: "Ya enggak ada yang melarang pak,tapi masa iya saya menyelonong saja masuk kelas?" Dan kami ketawa bersama. Saya ikut mata pelajaran Agama Islam dengan kemauan sendiri, tanpa ada iming iming ataupun intimidasi. Tujuan saya adalah agar semakin mantap saya mengaplikasikan hidup bertoleransi, bila setidaknya saya sudah paham secara mendasar.
Salah satu humor beliau yang saya tidak akan pernah lupakan, adalah mengenai boleh tidaknya, umat Islam makan dirumah makan "Pagi Sore " yang Pemiliknya non Muslim, yang terkenal dengan ayam gorengnya. Â Penjelasan beliau adalah: "Bila ayam tersebut dipotong atas nama Dewa Yupiter, ya jelas sebagai Muslim kita dilarang makan.Â
Tapi kalau ayam disembelih "Atas nama perut kenyang" gimana? Boleh nggak? Yang hadir semua terdiam. Karena tidak ada yang menjawab, maka beliau langsung menjawab sendiri: "Bila ayam disembelih atas nama perut kenyang, yang nggak masalah dimakan". Â Dan kami semuanya tertawa dan tidak berani bertanya,ini sebuah candaan atau jawaban serius?