Mohon tunggu...
TJIPTADINATA EFFENDI
TJIPTADINATA EFFENDI Mohon Tunggu... Konsultan - Kompasianer of the Year 2014 - The First Maestro Kompasiana

Lahir di Padang,21 Mei 1943

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

Kejadian di Bulan Ramadan 1965 yang Tak akan Pernah Terlupakan

7 April 2022   20:27 Diperbarui: 7 April 2022   21:17 1511
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Belajar Hidup Berbagi Dari Orang Miskin

Persisnya tanggal berapa kejadiannya,sungguh saya tidak ingat lagi.Yang saya ingat adalah dipertengahan bulan Januari  tahun 1965,bertepatan dengan umat Muslim menjalankan Ibadah Puasa. Saya tidak ingat, apakah sudah pernah menuliskannya di Kompasiana atau belum,tapi kalau di dalam salah satu buku karya tulis ,saya sudah pernah  menceritakannya. 

Saya berusaha menulis to the point pada inti pesan moral yang saya peroleh dari kejadian pada waktu itu,agar tulisan saya tidak membosankan ,karena terlalu panjang . Pada waktu itu ,kami baru menikah ,tepatnya pada tanggal 2 Januari 1965. 

Seminggu setelah menikah,kami langsung pindah ke Medan dan menumpang di rumah tante kami di Jalan Gandhi no.39 F ,tepatnya dipersimpangan jalan Asia di kota Medan.  

Karena sudah mendapatkan tumpangan gratis,maka tentu saya merasa risih,kalau hidup kami berdua membebani tante kami,yang juga punya anak dua orang. Karena  itu saya  nekad untuk mencoba dagang antar kota ,dari Medan ke Padang.

 Dari Medan,saya membawa permen yang langsung diambil dari pabrik dengan harga yang lebih murah,ketimbang beli dari agennya. Karena tante kami kenal baik dengan pemilik pabrik,maka saya boleh membawa barangnya dan baru dibayar setelah kembali dari Padang.

Tapi malamnya saya demam dan tidak bisa tidur. Entah karena pengaruh faktor psikologi,karena belum pernah berbisnis antar kota dan sekaligus rasa berat meninggalkan isteri saya dalam masa yang seharusnya masih honeymoon. 

 Paginya dengan kepala masih sakit dan demam,saya memaksa diri untuk tetap berangkat ke Padang, Karena tidak ingin tiket bus ALS yang sudah dibeli hangus. Selain itu,saya sudah mengambil beberapa kardus permen dari Pabrik dan berjanji dalam waktu seminggu akan dilunaskan. Maka dengan perasaan campur aduk,saya diantarkan isteri dengan menumpang Beca ke perhentian bus ALS.

Isteri Saya Menyaksikan Keberangkatan Bus Dengan Air Mata  Berlinang

Setibanya di perhentian bus ALS,saya langsung naik dan duduk disamping jendela,sesuai nomor tertera di tiket.Sewaktu bus mulai bergerak,saya melambaikan tangan kepada isteri saya .Saya sungguh tidak tega menyaksikan isteri saya menghapus air matanya.

 Saya duduk disamping seorang ibu yang sudah tua,yang membawa seorang cucunya. Saya hanya mengangguk dan kemudian mencoba tidur. Tapi suasana hati yang gelisah dan demam,menyebabkan tubuh saya menggigil. Ibu yang duduk disamping saya ,bertanya:" Anak sakit?" Dan dengan suara hampir tidak kedengaran saya menjawab :"Benar bu"

Kemudian saking mengantuk dan kelelahan ,saya tidak tahu apakah saya tertidur atau pingsan. Saya baru terbangun,saat pundak saya ditepuk perlahan lahan dan terdengar suara wanita :"Nak,bangunlah,ini ada ubi masih hangat,makanlah  nak"  Dan saya membuka mata dan ternyata ibu yang duduk disamping saya. 

Dengan tangan gemetaran,saya terima ubi rebus yang masih terasa hangat dan memakannya. Saking kelaparan dan sakit, saya merasakan betapa nikmatnya sepotong ubi rebus yang diberikan kepada saya. 

Dan melihat kondisi ibu tersebut yang tampaknya tidak lebih baik kondisinya dibandingkan saya,maka saya merogo dompet dan mengeluarkan selembar uang ,serta memberikan kepada ibu yang baik hati tersebut. Tetapi saya mendapatkan jawaban,yang tak akan pernah saya lupakan seumur hidup. 

"Nak,nama ibu Halimah.ibu juga mau ke Padang mengantarkan cucu. Ibu memang miskin,tapi ibu memberikan dengan ikhlas untuk anak " 

Mata saya basah dan hanya mampu menyalami bu Halimah dan mengucapkan terima kasih. Rasanya mau saya memeluk wanita tersebut,yang memperlakukan saya dengan penuh kasih sayang,seakan akan diri saya adalah anaknya sendiri.

Kejadian ini sudah berlalu 57 tahun yang lalu,tapi seakan akan baru kemarin terjadi . Sebuah pelajaran sangat berharga,tentang memaknai hidup berbagi. 

Inilah salah satu alasan,mengapa setiap bulan puasa,saya selalu ingat untuk berbagi sesuatu pada orang yang tidak punya,berkat pelajaran moral yang diberikan bu  Halimah dengan contoh teladannya.

Sungguh sebuah contoh teladan,jauh lebih berharga ketimbang seribu kotbah tentang hidup berbagi

Tjiptadinata Effendi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun