Mohon tunggu...
TJIPTADINATA EFFENDI
TJIPTADINATA EFFENDI Mohon Tunggu... Konsultan - Kompasianer of the Year 2014 - The First Maestro Kompasiana

Lahir di Padang,21 Mei 1943

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Bagaimana Rasanya Hidup dalam Peperangan? (Kisah Sejati)

23 Agustus 2021   20:05 Diperbarui: 23 Agustus 2021   20:11 1460
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya Alami Sewaktu Masih Duduk Di SMP

Menyaksikan remaja di era digital ini asyik banget saat mereka main perang perangan dengan memanfaatkan tehnologi terkini. Bila ada lawan yang "mati" tertembak, semakin seru permainannya. 

Tetapi bagi mereka yang sudah pernah hidiup dalam suasana peperangan sesungguhnya maka perang itu sama sekali tidak mengasyikan, malahan mengerikan.

Namun sebelum melangkah kesana, izinkanlah saya memberikan ulasan tentang latar belakang peristiwa mengerikan ini yakni sewaktu Tentara Pusat menyerbu ke Kampung Halaman saya untuk membasmi "Pemberontakan PRRI".

Saya berikan diantara tanda kutip, karena sesungguhnya sama sekali tidak ada pemberontakan, melainkan daerah menuntut diadakan pemerintahan yang otomomi. 

Tapi untuk tidak mengorek ngorek luka lama, maka cukup hingga disini saja pembahasan mengenai istilah "Pemberontakan " dan "Pergolakan" Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia yang lebih dikenal dengan singkatan  PRRI  yang dideklarasikan pada 15 Februari 1958

Perang Saudara 

Walaupun saya tuliskan dengan istilah "Perang saudara" tapi yang namanya perang sama sekali tidak berbelas kasih.  Masing masing keluarga menggali lubang perlindungan bagi keluarganya. 

Bersyukur dalam keluarga kami sebagian besar laki laki. Maka setelah 2 hari secara gotong royong kami menggali tanah sedalam hampir 2 meter dengan luas 3 x 4 meter, maka lubang dipalang dengan kayu balok dan ditutupi dengan seng bekas agar tidak kehujanan. 

Bila terdengar tembakan mortil dari kapal tentara pusat, maka kami sekeluarga yang terdiri dari nenek, ayah dan ibu, serta kami sekeluarga bagaikan ikan sardencis duduk sambil berdoa dalam lubang perlindungan. 

Usai tembakan mereka, kami keluar untuk ke toilet dan ibu kami lari kedapur untuk memasak bubur bagi kami semua. Karena kuatir kalau dimasak nasi, persediaan beras tidak cukup untuk bertahan berbulan bulan . 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun