Tips Kuno Yang Tetap Relevan
Dengan perasaan sedih dan terenyuh,kita saksikan satu persatu sahabat kita meninggalkan Kompasiana,yang konon katanya adalah "Rumah Kita Bersama" .Lho, kalau memang" rumah kita bersama",mengapa harus berpisah dengan cara yang menyedihkan? Kalau satu dua orang ,ya wajarlah ,mungkin ada pekerjaan lain yang lebih penting .Tapi ternyata, yang  pergi tanpa pamit sudah puluhan orang dan semuanya bukan Penulis "anak kemarin"  Ada beberapa Penulis yang  "to say good bye "sebelum meninggalkan "Rumah Kita Bersama' Meninggalkan pesan yang intinya:"hati yang terluka" .Â
Para sahabat kita pergi dengan meneteskan air mata. Â Boleh saja kita berpikir berlandaskan logika semata :" Satu orang keluar,maka akan ada seribu orang akan menggantikan" ibarat peribahasa:"Patah tumbuh,hilang berganti" Tapi mereka adalah sahabat sesama penulis di sini,bukan karyawan yang meninggalkan pekerjaan karena ada gaji yang lebih besar. Sahabat kita pergi dengan membawa luka dan duka dihati mereka masing masing.
Dan para Penulis,termasuk Admin Kompasiana,bukan terdiri dari robot,tapi manusia yang terdiri dari darah dan daging,yang juga punya rasa dan hati. Bahkan dikalangan Pebisnis,walaupun sudah dibekali dengan filofosi :"bussiness is bussiness" tetap saja ada peran hati dan rasa didalamnya,bilamana hubungan sudah berlangsung cukup lama. Saat salah seorang mitra bisnis saya di Singapore meninggal dunia,saya juga mengirimkan bunga duka ,walaupun hanya sebatas "teman dagang"
Begitulah cara berpikir orang tua,minimal diri saya pribadi. Maka saya mulai menelpon ,untuk mencari tahu mengapa sahabat yang selama ini sama sama menulis di Kompasiana,sudah lama sekali tidak pernah muncul? Ini adalah rasa hati yang setulusnya,bukan dibuat buat untuk memancing rasa simpati ataupun agar dibilang orang tua yang bijaksana.
Meninggalkan Kompasiana Karena Patah HatiÂ
Belasan penulis ,yang sempat saya hubungi,ternyata meninggalkan Kompasiana karena patah hati dan putus cinta. Curhatan pribadi tentu tak elok saya tuliskan disini. Pokoknya intinya adalah merasa bahwa keberadaan dirinya di Kompasiana,kini sudah tidak dianggap sama sekali,karena tulisannya banyak yang tanpa label . Padahal dulunya ,namanya cukup beken di kalangan penulis di Kompasiana. Â Berbagai motivasi dan ajakan sudah saya sampaikan,namun tidak mampu menyambung cinta yang sudah terputus antara sahabat kita dengan Rumah Kita Bersama.Â
Bahkan salah satu komentar yang paling tajam saya dapatkan adalah :"Maaf ya pak Tjip.saya merasa terhormat,pak Tjip mau mengunjungi saya via japri. Saya ingin kita tetap lanjutkan persahabatan kita,tapi mohon dengan sangat,jangan lagi membicarakan masalah Kompasiana! "
Saya terdiam dan merasa bersalah,seakan akan ajakan saya terasa bagaikan maksa maksa orang. Sejak itu saya menahan diri untuk tidak lagi menghubungi siapa siapapun, demi menghargai privasi orang .
Cara Mengantisipasi Agar Jangan Ikut Menjadi Penulis Patah Hati
- lupakanlah bahwa dulu kita pernah jadi "anak emas " di Kompasiana
- jangan berharap tulisan kita akan di Headlinekan ,karena itu adalah hak preogatif dari Admin
- boleh jadi "kaca mata" yang kita gunakan beda warna dengan yang digunakan Admin
- Jangan lupa zaman sudah berubah,yang dulu dipuja,boleh jadi kini tidak lagi dibutuhkan
- Era petata petiti kini sudah basiÂ
- jangan kalkulasikan K reward dengan pengeluaran untuk bayar pulsa internet
- tulis ,posting dan lakukan blog walking - tugas selesai
- ingatkan diri,bahwa kita menulis bukan untuk kepentingan siapa siapa ,tapi demi diri sendiri