Peribahasa Minang Yang Tepat Melukiskan Kondisi KompasianaÂ
Belakangan ini,entah sudah berapa tulisan yang intinya adalah mempertanyakan :"What happened  with Kompasiana?" Walaupun terasa ada rasa pahit dan kecewa,tapi bersyukur ,semuanya ditulis dalam batas koridor kesantunan. Tidak ada satupun artikel yang isinya marah marah nggak karuan ,kayak orang yang habis minum tuak. Hal ini menunjukkan bahwa rata rata para Penulis di Kompasiana,tidak hanya sudah dewasa menurut takaran usia,tapi juga dewasa dalam berpikir  dan bertindak. Hal ini dapat dibuktikan dengan membaca setiap tulisan yang ditujukan kepada Kompasiana sebagai sebuah institusi ,dimana kita semuanya bernaung.
Esensial dari beberapa artikel yang isinya mencurahkan uneg uneg,pada umumnya sarat memberikan masukan dan sekaligus bertanya :"Apa yang terjadi dengan Kompasiana,sehingga cita rasanya kog beda amat dengan yang selama ini dicicipi? Kalau diibaratkan dengan undangan makan,dulu setiap orang diundang untuk mencicipi kue yang ada ,walaupun sepotong seorang. Mengapa kini,kuenya terasa sangat keras,sehingga para penulis yang sudah all crack dan giginya sudah mulai ompong,tidak mampu lagi merasakan nikmatnya kue bersama tersebut ?
Kalau Boleh Dianalogikan Dengan Peribahsa Minang
Karena saya dilahirkan di kota Padang,Sumatera Barat,maka sudah tentu saya hanya mampu menulis tentang peribahasa yang sudah sejak masih pakai celana monyet,sudah saya hafal diluar kepala. Kalau diminta saya menuliskan tentang peribahasa Batak atau bahasa Jawa,mana pula saya bisa.Â
Nah,menurut pendapat pribadi ,kondisi Kompasiana terkini ,bukanlah sesuatu yang luar biasa ,karena sesungguhnya sudah merupakan gejala yang sangat alami. Hal ini ditunjukkan lewat peribahasa :"
Sakali Aie Gadang,Sakali Tapian Baranjak
- Sakali   - Setiap kaliÂ
- Aie      - air
- gadang  - besar - pasang naik
- tapian   - tepi  (sungai)
- baranjak -berpindah - bergeser
Arti harafiah ,sekali air pasang naik,maka pinggiran sungai akan berubah dari semula.Misalnya ,kalau biasanya kita masih bisa berpijak dipinggiran sungai,tapi setelah air pasang naik,( sakali aie gadang),maka tepian sungai akan berubah .Dan tempat dimana kita dulunya masih bisa berpijak,sejak aie gadang ,tidak bisa lagi berpijak disana,karena sudah digenangi air.
Hal ini dikiaskan atau di refleksikan bahwa :"Setiap terjadi pergantian pimpinan,maka pasti akan terjadi berbagai perubahan dan kebijakan baru . Sehingga menciptakan rasa bingung dan gamang bagi ,yang sudah terbiasa pada aturan dan kondisi kepemimpinan yang lama.Â
Ada banyak tafsiran yang dapat dikedepankan ,sehubungan dengan peribahasa ini. Tapi kalau menurut pendapat saya peribadi karena saya terlahir dan dibesarkan di Padang,maka peribahasa ini melukiskan kondisi Kompasiana terkini.