Â
Buku Kolaborasi "150 Kompasianer Menulis "Menghadirkan Komentar Mengharu Biru
Sesungguhnya sudah sejak buku "150 Kompasianer Menulis" ini mulai dibantu mendistribusikan oleh pak Ikhwanul Halim, sudah ada puluhan komentar yang masuk via  WA kepada saya. Kalaulah isi komentar hanya sebatas ucapan terima kasih yang merupakan pengulangan ritual yang mungkin sudah dianggap basi, tentu tidak perlu saya menghabiskan waktu yang tak ternilai untuk menuangkannya dalam bentuk tulisan. Tapi komentar yang saya terima sungguh sarat dengan rasa haru dan sekaligus menghadirkan rasa haru biru dalam hati saya. Karena tidak ada yang melihat, maka secara diam diam,saya biarkan air mata saya jatuh menetes di atas tuts laptop saya. Tapi sama sekali tidak terpikirkan oleh saya untuk menuangkannya dalam bentuk artikel.
Baru setelah membaca tulisan dari sahabat Kompasianer Agustina Purwantini, dengan judul: "Hikmah Pandemi: Mengenal Para Kompasianer Lain Melalui Pak Tjip-Bu Lina" saya terinspirasi dan termotivasi untuk menyalin puluhan komentar tersebut, tentunya tanpa perlu menyebutkan nama nama pengirimnya. Karena pesan lewat WA, merupakan pesan yang bersifat privasi dan tidak etis kalau saya bagikan dengan menyebutkan nama orangnya, maupun nama penanya.Â
Buku yang Menjembatani Antar Sesama Kompasianer
Intisari dari tulisan mbak Agustina Purwantini dalam artikel tersebut, saya coba rekam tulis dalam bahasa dan gaya saya sendiri, yakni "bahwa buku 150 Kompasianer Menulis merupakan sebuah titian atau jembatan yang telah menghubungkan antar sesama Penulis di Kompasiana yang selama ini, walaupun berada di bawah atap yang sama, tapi masih belum saling sapa ataupun saling berkunjung. Hal ini tentu saja menghadirkan rasa syukur dalam hati kami berdua.
Selanjutnya izinkanlah saya menuliskan beberapa komentar yang saya terima via WA, atas buku yang sudah diterima oleh masing-masing Penulis dan sesuai etika bahwa pesan via WA merupakan pesan privasi, maka saya hanya menyalin komentarnya dan hanya menuliskan nama samaranÂ
Impian Untuk Menerbitkan Buku Menjadi Kenyataan
"Alhamdulilah.. Subhanallah, impian saya sejak dulu untuk dapat membukukan tulisan saya menjadi kenyataan. Terima kasih Opa dan Oma, dalam setiap doa, selalu tak lupa saya sampaikan hasrat hati, agar suatu waktu tulisan saya dapat menjadi salah satu halaman dari buku yang diterbitkan. Sebagai seorang guru  honorer di Madrasah di desa kecil, rasanya  impian ini terlalu muluk. Tapi saya yakin dan percaya, kalau Allah mengizinkan, tiada yang mustahli. Ternyata melalui Opa dan Oma impian saya jadi kenyataan. Buku ini saya pamerkan di sekolah, bukan hanya di hadapan murid murid saya, tetapi juga di hadapan majelis guru. Saya bangga, tulisan saya ada dalam buku berbobot tersebut. Semoga Opa dan Oma selalu di Rahmati Allah Subhanallah"
Salam takzim ananda DillaÂ
Hadiah dari Opa dan Oma Mengubah pandangan hidup saya
"Dengan memanjatkan rasa syukur kehadirat  Allah, saya sampaikan dengan takzim bahwa buku "150 Kompasianer Menulis" sudah berada di tangan saya. Opa dan Oma, saya sungguh sangat terharu, sebuah buku yang berbobot, tebal, dan cover yang semarak. Dengan setulus hari, saya mohon ampun kehadapan Allah dan mohon maaf kepada Opa dan Oma karena selama ini, dalam hati saya menggangap bahwa Opa dan Oma itu adalah sosok "orang kaya yang tinggal di Australia. Mana mungkin tulisan saya akan mendapatkan tempat dalam buku bergengsi ini.Â
Tapi demi hasrat hati yang mengebu gebu ingin agar tulisan saya dapat diabadikan dalam buku, maka saya beranikan untuk menulis tentang Opa dan Oma. Itupun sama sekali tidak memuji-muji Opa dan Oma, melainkan hanya sebuah tulisan yang datar-datar saja. Tetapi saya sampai meneteskan air mata, sewaktu pulang dari mengajar ada paket dimana tertulis nama saya. Ibu Kost saya menyampakan langsung kepada saya dengan mengucapkan "Selamat". Ternyata ibu kost saya adalah murid Opa dan Oma, karena pernah ikut belajar tekhnik terapi diri sewaktu diadakan di Tegal, Entah bagaimana saya mau meluapkan rasa syukur dan terima kasih sebesar-besarnya kepada Opa dan Oma. Saya bukan siapa-siapa, hanya seorang guru desa dan seorang ibu yang harus menjadi single parent membesarkan putri saya, ternyata tulisan saya menjadi bagian dari buku bergengsi dari Opa dan Oma yang tinggal di Australia. Sungguh seumur hidup, inilah hadiah paling berharga yang pernah saya terima. Semoga Opa dan Oma selalu dalam limpahan kasih sayang Allah." Salam takzim dari ananda Dewi.
KIlas Balik
Saya dan isteri sempat terpana membaca komentar demi komentar yang sangat mengharu biru. Padahal sesungguhnya, kami  yang berterima kasih, para sahabat Kompasianer telah memberikan hadiah tak ternilai sebagai  hadiah di Hari Ulang Tahun Pernikahan kami yang ke 56. Ternyata yang terjadi sebaliknya, justru  para Kompasianer yang menulis artikelnya, merasa bahwa justeru kami berdua yang telah menghadiahkan sesuatu yang tak ternilai bagi mereka, yakni telah mewujudkan impian agar tulisannya ada dalam buku tersebut.
Saya dan isteri harus bersabar, agar dapat membaca buku tersebut, bila kami sudah boleh pulang kampung ke Indonesia. Karena kalau buku tersebut dikirimkan dari Jakarta ke alamat kami di Burns Beach, menurut adik kami, ongkos kirim lebih dari 1 juta rupiah. Kami berdua sudah bersyukur kepada Tuhan, karena buku 150 Kompasianer Menulis ini, ternyata sangat berharga di mata para Kompasianers.
Tjiptadinata Effendi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H